11: Gemetarnya sang Raja

10 5 0
                                    

Empat hari setelah pertarungan itu, Raja benar-benar datang ke Benteng Dagashkar dan dikawal oleh Jenderal Abbas. Jenderal Umma langsung menemuinya dan mengantarnya ke menara untuk bertemu Tuan Ilham. Keduanya datang dengan 200 pasukan berkuda, 200 pemanah, dan 300 infantri. Mereka membawa perbekalan yang sangat banyak karena ini musim kemarau.

"Jenderal Umma, bagaimana nasib di garda depan?" Raja Jahingir terduduk di depan Tuan Ilham yang terbaring. Ia melongok ke arah luar dari jendela menara yang menghadap alun-alun benteng. Ia ingat saat di perjalanan, sungai sangat kering dan ia yakin prajurit-prajuritnya pasti kehausan.

"Sudah tiga hari ini belum ada penyerangan dari pihak lawan. Kami beristirahat dan fokus menyembuhkan yang sakit. Ketapel tempur pun sudah kami siapkan, Yang Mulia."

"Bagus. Dan persediaan lainnya?"

"Sejauh ini prajurit tidak kelaparan. Banyak binatang di hutan yang lari ke sini."

"Lari?"

"Kami membakar hutan untuk menghalau mereka, Yang Mulia. Sejauh ini kami hanya bisa bertahan dengan trik api."

Raja Jahingir mengerutkan dahinya. "Dari siapa ide itu?"

Mendengar itu, Jenderal Umma segan untuk mengatakannya. Ia menahan lidahnya mengingat surat Perdana Menteri Khimar yang ia terima 5 hari yang lalu. Ia tidak yakin apakah harus dikatakan atau ia pendam saja.

Namun, keraguannya reda saat Tuan Ilham mengambil kertas surat yang ia selipkan di bantalnya. Itu kemudian diserahkan pada Jahingir untuk dibaca.

"Perdana Menteri Khimar mengirim semua perlengkapan. Mungkin Yang Mulia bisa membaca surat ini." Tuan Ilham memperjelas. Wajah Jahingir benar-benar serius dalam membaca surat itu. Ia memang pernah berpikir Perdana Menteri Khimar sudah menyusun strategi perang dan segala keperluannya di baliknya. Dan surat itu menjawab pertanyaannya.

Jahingir paham betul mengapa Perdana Menteri Khimar tidak membiarkannya berunding. Ia pasti tidak akan setuju bila dua anak Atnan akan dikorbankan. Dan itu yang terjadi sekarang. Ia sebenarnya cukup kesal dengan cara Perdana Menteri Khimar, namun ia harus menunggu keberhasilan strategi kawannya itu.

"Lalu, apakah dua anak itu sudah pergi, Jenderal Umma?" Jahingir bertanya lagi.

"Siap, Yang Mulia. Sudah empat hari mereka menyamar pergi berduaan ke kemah musuh, dan kami belum mendapat kabar apa-apa dari mereka. Dan sesuai janji mereka, kami disuruh bertahan selama tiga hari. Namun, hingga kini musuh juga tidak bergerak sama sekali."

Aneh, pikir Jahingir. Empat hari mereka pergi, tiga hari pula musuh diam saja. Apa yang mereka berdua lakukan sampai musuh "terlumpuhkan" seperti itu?

Namun, pertanyaannya terjawab saat genderang perang ditabuh. Itu tanda mereka harus pergi berperang. Jenderal Umma pun segera mengambil busur dan panahnya.

"Peringatan musuh mendekat sudah berkumandang, Yang Mulia. Saya izin berperang."

"Laksanakan, Jenderal Umma. Tuhan melindungimu."

Jenderal Umma pamit lebih dulu ke medan perang. Ditemani Jenderal Abbas, Jahingir pun ikut ke atas benteng untuk melihat lebih dekat ke medan perang.

Dari atas benteng, ia melihat Jenderal Umma siap di atas kuda dengan busurnya. Ia terlihat sangat gagah. Tak terasa, air matanya pun menetes. Di bawahnya, di sekitarnya, mereka yang mengelilingi Jenderal Umma adalah prajurit yang membelanya. Mereka rela meninggalkan anak dan istri mereka dan menukar nyawa untuk melindungi tanah Yoda serta dirinya.

"Raja Jahingir melihat kita! Apakah kalian tidak sadar mengapa seorang Raja bisa menginjakkan kakinya di medan perang? Itu karena ia tidak meninggalkan kita dalam kesusahan! Ia menjamin keselamatan anak dan istri kita! Semoga Tuhan melindungi kita dalam kesengsaraan ini!"

Pidato Jenderal Umma lantang terdengar. Tak jarang prajurit yang menangis mendengarnya. Raja benar-benar ada di samping mereka. Jelas itu sangat menaikkan moral mereka. Banyak dari mereka yang awalnya depresi karena merasa sengsara dalam perang, ketakutan, dan merasa membela raja yang tidak jelas, sekarang menjadi semangat dan adrenalinnya memuncak.

Kebaikannya benar mengambil hati mereka yang hampir putus asa.

Hari ke-14 bulan ke-7, pasukan Koalisi Ardagh-Nash berkumpul di depan benteng dengan 4 ketapel perang. Bila saja pertahanan garda depan bisa ditembus dan ketapel-ketapel itu diberi jalan, tamat sudah riwayat pasukan Yoda. Benteng bisa saja hancur terkena bongkahan batu yang mereka lontarkan dan itu sangat membahayakan Raja Jahingir.

Namun, Jahingir tidak takut. Ia percaya Jenderal Umma bisa menumpas pasukan lawan sebelum hal buruk itu terjadi.

"Raja, sebaiknya Anda kembali ke kamar Tuan Ilham karena senjata mereka bisa mengancam kita yang ada di atas benteng." Jenderal Abbas berbisik pada Jahingir.

Kepalanya menggeleng tidak setuju. "Aku yakin mereka tidak akan bisa menyentuh kita yang ada di benteng. Tuhan ada di pihak kita."

"Tapi, demi keselamatan Anda..."

"Aku bingung, Jenderal Abbas. Mengapa kalian tidak percaya denganku? Padahal aku menaruh kepercayaan pada kalian. Busur dan panahku sudah siap untuk menumpas mereka. Aku benci dengan pembunuh macam mereka."

"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia." Jenderal Abbas menunduk malu. "Saya hanya khawatir dengan keselamatan Anda, menimbang ketapel mereka dekat."

"Percaya padaku. Tuhan mendengar doa kita."

Lagi, kepulan asap dari hutan mengarah ke medan perang. Itu menandakan pasukan lawan mencoba mengepung mereka dari arah kanan. Dan dengan aba-aba itu, Jenderal Umma memerintah pasukannya untuk melancarkan formasi tepung dan panah berapi seperti kemarin. Namun nahas, masing-masing kavaleri dan infantri musuh membawa perisai yang bisa menahan serangan api itu.

Pertahanan lawan sangat ketat, menyebabkan Jenderal Umma kehabisan akal. Namun, ia menemukan kejanggalan. Mengapa pasukan lawan lebih sedikit dari biasanya? Mengapa bendera yang dikibarkan hanya berwarna biru?

"MUNDUR! MUNDUR! KAVALERI MEREKA MEMBAWA TOMBAK!"

Angkara KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang