Jenderal Umma menarik mundur pasukannya. Pukulan mundur pasukan musuh pun berhasil membuat Jenderal Umma mendekat ke arah gerbang benteng. Jelas, itu membuat Raja Jahingir mengencangkan tali tarkas di dadanya. Situasi menjadi gawat.
"Raja, bersiaplah. Kita ada di antara pasukan berpanah." Jenderal Abbas memberi aba-aba. Dari teropongnya terlihat jelas ketapel batu milik musuh mendekat. Dan jumlahnya tidak sedikit.
"Sedikit lagi, Jenderal Abbas. Sedikit lagi pasukan mereka ada di jangkauan kita." Cengkeramannya pada busur kayu berukir itu sangat erat. Ini perang perdananya, ia sebenarnya sangat takut. Namun, ia adalah Raja. Seorang Raja tidak boleh takut menghadapi musuh yang ada di depannya. Bahkan dengan musuh yang menyentuh lehernya.
"Tuhan bersama kita, Tuhan melindungi kita! Engkau Maha Pelindung, Maha Pengasih, Maha Bijaksana. Tolonglah kami. Izinkan kami memenangkan ini."
Jahingir terus berkomat-kamit saat derapan pasukan Jenderal Umma mendekat. Kepulan debu dari pasir yang bercampur partikel tepung yang mereka bawa membuat matanya sedikit gatal. Namun, itu tidak sebanding dari tangisannya yang sejak tadi mengalir.
"PEMANAH! SIAPKAN ANAK PANAH!" Suara Jahingir begitu lantang. Ibarat guntur yang bergemuruh di telinga mereka yang ada di atas benteng. Ini pertama kalinya mereka mendengar perintah Raja.
"SERANG!"
Mereka yang mendengarnya seakan terbius. Ratusan panah yang menghujani medan perang beberapa mengenai pasukan musuh, membatasi mereka dari pengejaran terhadap pasukan Jenderal Umma.
"SIAP! SERANG!" Berkali-kali Jahingir memerintah, berkali-kali pula mereka mengikuti dengan baik. Pasukan Jenderal Umma benar-benar sudah aman dan masuk ke dalam benteng. Jenderal Abbas segera mengambil pedangnya sambil sesekali melihat ke teropong.
"Ketapel perang akan dilontarkan, Yang Mulia. Kita harus bersiap."
"Aku tahu. Dan Tuhan bersama kita. Tuhan bersama kita, Jenderal Abbas. TUHAN BERSAMA KITA! SERANG!"
Ratusan anak panah yang dilontarkan sukses membuat kavaleri musuh mundur dan gerbang benteng berhasil tertutup rapat. Pasukan musuh sempat mundur dan berakhir berdiam diri. Di depan mereka, Jenderal Damas duduk di atas kudanya dengan tegak.
"RAJA KERAJAAN YODA, RAJA JAHINGIR! SAYA TAHU ANDA DI SANA! IZINKAN SAYA, JENDERAL DAMAS, UNTUK MENYAMPAIKAN PESAN!" Jenderal Damas pun turun dari kudanya. Pemandangan itu sangat aneh di mata Jahingir. Apa yang akan terjadi?
Namun, tidak lama dari itu, seorang pembawa pesan lari tergopoh-gopoh dari bawah, menyerobot ratusan pasukan yang memenuhi tangga ke atas benteng.
"Lapor! Ada pesan merpati dari lawan!"
Pembawa pesan merpati membungkuk di hadapan Raja. Jahingir mempersilakan dan pemuda itu segera membuka segel suratnya. Segel Kerajaan Nash, kerajaan tempat ia lahir yang dikudeta oleh kakaknya, Narenda.
"Perdana Menteri Farhan telah gugur dan Kerajaan Nash menyatakan kalah dari perang! Pasukan dimundurkan dan hanya tersisa Kerajaan Ardagh! Komando dipindahtangankan kepada Jenderal Damas dari kerajaan Ardagh!"
Surat itu begitu mengejutkan. Apa yang terjadi? Mengapa Perdana Menteri Farhan bisa gugur? Apakah dua anak Atnan yang Jenderal Umma itu bilang benar berhasil menggugurkannya? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Kirimkan pesan pada Jenderal Damas untuk berhenti menyerang dan menyampaikan maksud dari kedatangan mereka. Bila saja maksud penyerangan mereka untuk mengambil Benteng Dagashkar, kami akan bertahan. Namun, maksud kami sesungguhnya untuk berdamai. Dan saya, Raja Jahingir, akan membuka jalur perdagangan untuk Kerajaan Ardagh sebagai ganjarannya."
Pernyataan Jahingir yang terkesan terburu-buru itu membuahkan hasil yang positif. Ardagh dengan cepat menarik pasukannya. Dan dalam 3 hari, perkemahan mereka juga sudah beres dibersihkan. Itu sangat aneh bagi banyak orang, termasuk Jenderal Abbas, Jenderal Umma, dan Tuan Ilham. Mereka pikir Kerajaan Ardagh yang gila perang tidak mungkin setuju hanya dengan diiming-imingi perdagangan. Namun, tidak dengan Jahingir.
Hari ke-18 bulan ke-7 tahun ke-319, perang benar-benar sudah usai. Pasukan Yoda pun kembali ke Ibu Kota. Sorakan warga menyambut kemenangan mereka bertahan di Benteng Dagashkar. Tuan Ilham segera dirawat di bangsal kesehatan, Jenderal Umma diberikan hadiah busur kebanggaan Raja, dan keduanya mendapat penghargaan.
Inilah kemenangan pertama mereka! Akibat kedatangan Raja yang membuat moral mereka melambung tinggi. Goresan luka di tubuhnya menjadi kebanggan bagi prajurit yang dalam dirinya berjanji akan terus membela sang Raja. Bagi mereka, mereka adalah pahlawan yang ceritanya bisa tersebar ke anak-cucu mereka. Namun, bagi yang gugur, kuburan adalah rumah kembali-nya.
Dan mereka yang gugur adalah pahlawan yang sesungguhnya.
Hanya saja, di balik itu semua, banyak orang yang menentang keputusan Raja yang terkesan impulsif dan tak berdasar. Membuka jalur perdagangan dengan musuh itu sama saja membuang harga diri prajurit yang gugur!
"Tuan Khimar, aku tidak mengerti mengapa orang-orang menentangku. Saat perang kemarin, aku ingin berdamai dengan Ardagh karena bagiku kita tidak pernah punya masalah dengan mereka. Lagipula, bukankah kita diuntungkan dengan ganjaran perdamaian dari mereka?" Jahingir kembali duduk di ruang tahta bersama Perdana Menteri Khimar di sampingnya.
Perdana Menteri Khimar yang sibuk melihat gulungan hasil pajak melirik sedikit ke arah raja muda itu.
"Kita tidak bisa menyatukan hati manusia, Yang Mulia. Ada yang dendam karena kerabatnya gugur dalam perang, dan ada pula yang merasa sia-sia membela Yoda bila akhirnya kita harus berdamai juga."
"Lalu, apakah langkahku salah?"
"Tidak salah juga. Apabila kita meneruskan perang itu, akan semakin banyak prajurit yang gugur pula. Namun, kuakui langkah Yang Mulia terlalu tergesa-gesa. Lebih baik dirundingkan dulu dengan komandan yang ada di sana."
"Lalu, bagaimana dengan kematian Perdana Menteri Farhan? Apa yang terjadi dengannya? Kau tahu?"
Perdana Menteri Khimar diam saja. Ia sibuk membolak-balikan laporan-laporan yang ada di tangannya. Melihatnya terdiam, Jahingir menghela napas kecewa.
"Kurasa Raja seharusnya sudah tahu apa yang terjadi. Dan tenang saja, mereka juga sudah pulang."
Mendengar jawaban Tuan Khimar, Jahingir berubah sumringah. Ia menjadi tenang karena apa yang ia khawatirkan tidak terjadi. "Aku akan sangat marah padamu bila mereka kau tumbalkan. Dan aku akan memasang patung mereka di taman kota sebagai pengingat atas jasa mereka. Terima kasih banyak, Tuan Khimar."
Perdana Menteri Khimar tertawa, "Tidak perlu seperti itu, Yang Mulia. Dari peristiwa kemarin, kita belajar bahwa taktik dalam berperang itu sangat penting. Terlebih lagi, kekuatan intelijen yang kuat itu adalah kunci supaya taktik itu berhasil. Perdana Menteri Farhan bisa ditaklukan karena kita tahu penjagaan di kemahnya sangat tinggi, namun bercelah besar untuk wanita. Rasa simpatinya lah yang membunuhnya."
"Bukankah hal itu bisa mengadu domba mereka? Mengapa mereka tidak mengira pembunuh Perdana Menteri Farhan adalah golongan Ardagh?"
"Yang Mulia, semua pasukannya sudah tahu di antara wanita yang ia tiduri pasti ada mata-mata dari Yoda. Namun, mereka tidak bisa menunjuk yang mana mata-mata itu saking banyaknya wanita yang ia tiduri dalam satu hari. Bila mana itu rencana Ardagh, mereka sudah seharusnya membunuhnya dari awal. Mereka satu kemah, satu dapur, bahan pangan pun sama. Mereka akan lebih mudah meracuninya dibandingkan kita."
Mendengar penjelasan masuk akal Perdana Menteri Khimar, Jahingir mengerti juga. Ia jenius! Benar-benar jenius, pikirnya. Namun, dalam hatinya masih ada yang mengganjal. Apa respon kakaknya saat kehilangan Perdana Menteri Farhan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkara Karma
Historical Fiction"Bila kau terus memikirkan siapa penerus tahta kita, maka perangilah adik kesayanganmu itu. Mengapa kau selalu berpikir rumit kalau menyangkut masalah Jahingir?" Kalimat itu adalah gambaran dari Angkara Karma. Kisah tentang dua orang Raja yang terla...