3: Anak Remaja

12 4 2
                                    

“PERHATIAN! PERHATIAN! Sayembara untuk para wanita di tanah Yoda! Barangsiapa yang bisa membuat Raja Jahingir terkesan, maka ganjarannya akan diperistri oleh Yang Mulia! Barangsiapa yang bisa...”

Sayembara itu terus bergaung di tengah kerumunan warga. Warga-warga serentak euforia dengan sayembara itu. Mereka yang miskin bermimpi menjadi kaya, mereka yang kaya bermimpi agar diberikan kekuasaan. Itulah manusia, tidak pernah akan bisa puas.

“Raja, Nyonya Rhamana ingin melihat Anda.” Jenderal Abbas yang berdiri di depan pintu membungkuk ke arah Jahingir yang duduk menyilang kaki. Ia sedang membaca buku di depan jendela ruang kerjanya.

Ia melirik ke Rhamana yang hadir menggandeng anak perempuannya, Chandini. “Yang Mulia, bagaimana kabarmu?”

“Nyonya Rhamana, selamat datang. Kau ingin membahas tawaran anak saudagar dan bangsawan lagi? Oh...selamat datang juga, Nona Chandini.” Jahingir segera menutup bukunya dan bangkit. Rhamana yang kini menjabat menjadi Perdana Menteri itu mendorong putrinya ke arah Jahingir.

“Bukan itu Yang Mulia, maafkan kelancangan anak saya. Tapi, ia kemarin mengambil kuda Yang Mulia untuk berburu di hutan Naraka dan kuda Yang Mulia masuk ke perangkap warga hingga tewas. Saya sebagai ibunya sangat malu! Tolong hukum anak saya!”

Anaknya, Chandini hanya bisa menunduk dengan wajah yang pucat. Ia yakin karir ibunya bisa hancur atau malah nyawanya yang habis karena kesalahannya. Ia tidak tahu, kuda putih yang terikat di depan rumahnya itu milik Jahingir yang baru saja menjadi Raja selama 2 tahun.

Jahingir tertawa dan menggeleng. Ia menepuk pelan pundak Rhamana sambil melirik anaknya yang membatu di samping ibunya. “Nyonya Rhamana, kau sudah seperti ibuku sendiri. Dan anakmu...sudah seperti saudaraku. Tidak usah malu, walaupun aku menyayangi kudaku seperti anak sendiri, mungkin sudah takdirnya ia mati. Tuhan yang akan menggantikannya. Tidak perlu aku menghukummu, Nyonya.”

“Tapi Yang Mulia-“

“Akan tetapi, sebagai gantinya, Nona Chandini harus mengakui kesalahannya.” Dengan senyum, Raja muda itu melirik gadis remaja yang sejak tadi menunduk. Gadis itu kemudian menengadah dan menatap mata Jahingir sebelum dengan cepat menunduk lagi.

“M-Maafkan hamba, Yang Mulia. H-Hamba hanya tidak tahu kalau itu kuda Yang Mulia dan hamba langsung menungganginya karena Kakak yang menantangku! H-Hamba-“

“Nona Chandini, panggilan “hamba” hanya untuk rakyat yang meminta. Kau adalah putri Perdana Menteri Rhamana, bagaimana bisa kau panggil dirimu sendiri “Hamba”? Lagipula, umur kita sama.”

“Maaf Yang Mulia. S-Saya benar-benar tidak tahu kalau itu punya Yang Mulia! Saya pikir itu punya kakak saya! Dan kuda Yang Mulia menginjak perangkap hingga mati.”

Jahingir tersenyum sebelum menunjuk kaki gadis itu yang dibalut perban. “Dan kau? Pasti kakimu luka, Nona. Nyonya Rhamana, apa ia sudah mendapat pertolongan medis yang memadai? Kita tidak boleh membiarkan anak gadis mempunyai bekas luka, bukan?”

Senyuman Raja muda itu membuat gadis ini malu. Ia membuang muka, dan menarik pelan gaun ibunya yang berada di depannya. Ibunya hanya terus mengomel, membuat Raja muda itu tertawa. Namun, yang bisa gadis muda ini pikirkan hanya perasaan malunya.

Satu bulan setelah kudanya mati, Jahingir dihadiahi kuda putih berambut coklat. Ia memberinya nama “Bahr” yang artinya lautan. Ia dengan senang menyisir rambutnya, padahal pelayan-pelayannya sudah menawarkan dengan segera.

“Bahr, kesayanganku...tumbuhlah menjadi sohibku. Injaklah kakimu di sepanjang dataran Yoda, dan deraplah menuju kemenangan.” Nyanyiannya membuat para pelayan di sana tersenyum. Memang, Raja Jahingir mempunyai hati yang lembut serta pemaaf. Bahkan, kepada hewan saja ia sayang.

Namun, saat ia sedang asyik menyisir Bahr, Chandini yang datang membawa satu keranjang apel membangunkan lamunannya.

“Nona Chandini, lama tak jumpa! Kau sudah lihat Bahr di sini? Dia kuberi nama Bahr.” Dengan riang Jahingir menyapanya. Nona muda itu tersenyum sambil membungkuk. Ia kemudian mendekatinya dan memberi Bahr sebuah apel untuk dimakan. “Hei, itu apel milik Nona Chandini! Kau tidak sopan!”

“Tidak, Yang Mulia. Saya memang membawakan apel ini untuknya. Ia kuda yang sangat manis.”

“Ah, berkat Nona Chandini, Bahr bisa ada di sini. Terima kasih.”

Chandini menggeleng, “Tidak Yang Mulia! Karena sebelumnya saya telah membuatnya celaka-“

“Itu takdirnya, Nona Chandini. Seperti aku, Tuhan telah mentakdirkanku untuk hidup kembali di tanah ini, membangun negeri Yoda menjadi seperti ini. Dan mungkin takdirmu diberi kejadian malu karena telah memakai kuda orang lain tanpa izin, agar kau belajar. Bukan begitu, Nona?"

"Sekali lagi saya minta maaf."

"Jujur saja, aku suka Bahr. Aku dengar dari ibumu, kau yang memilihnya. Ia peranakan kuda liar, hm? Pantas ototnya besar. Saat ia datang, ia sangat gagah. Derapannya pun juga cepat. Tapi sayang, ia belum terbiasa denganku. Jadi, mau berburu bersama sekarang?"

Ajakan sang Raja jelas membuat Chandini terbelalak kaget. Ia hampir saja menjatuhkan keranjang di tangannya, sebelum benar-benar jatuh saat tangannya ditarik oleh Jahingir. 

"Pelayan! Cepat bawakan dua busur panah dan anaknya! Aku akan mengajak Nona Chandini berburu sekarang!"

Derapan dua kuda yang saling bersahutan menggema di sepanjang lembah dekat gunung Dagashkar. Dua muda-mudi itu saling tertawa berlomba menunggang kuda.

"Yang Mulia! Bahr memang sangat cepat!" Chandini yang menyahut dari belakang mempercepat laju kudanya. Bahr memang sangat cepat, kuda perang yang ia pinjam dari salah satu prajurit tidak bisa mengimbanginya.

"Tuhan, Bahr memang pilihan terbaik! Aku bisa merasakan liarnya dia! Ayo, kejar elang itu!" 

"Hati-hati, Yang Mulia!"

Mereka berdua terus melaju dengan girang, sebelum akhirnya berhenti di seberang sungai kecil di hutan. Mereka membiarkan kuda-kuda mereka minum dan beristirahat. Pikirnya, kasihan bila kuda mereka terus berlari mengitari lembah yang luas.

Chandini duduk di atas batu kali besar dengan anak panah di tangannya. Senyumnya tak pernah luput sejak tadi. Dalam sekejap, ia merasa lebih terbuka dengan pria sepantarannya.

"Mengapa kau tolak lamaran anak-anak bangsawan itu?” Chandini bertanya sambil memainkan kakinya di air. Jahingir hanya menatapnya sedikit terjekut. “Maaf, bila pertanyaan saya lancang, Yang Mulia.”

“Tidak, aku suka itu.”

“Maaf?”

“ Aku suka pertanyaanmu.” Jahingir bangkit kemudian berjongkok di samping Chandini sambil melihat ke air. “Simpel, mereka itu bodoh. Mereka hanya ingin kekuasaan saja. Dan kehadiran mereka adalah malapetaka buatku.”

“Maksudku, kami dari para klan juga bangsawan.”

“Aku tahu itu. Dan kalian, para klan mempunyai struktur, yang telah lama membantu negeri. Sedangkan mereka yang mengaku bangsawan yang menguasai kota-kota kecil dan bisnis dengan penuh korupsi. Walaupun pasti dalam sebuah sistem, ada saja oknum yang jahat. Namun, sekarang, siapa yang lebih bisa dipercaya?”

Chandini hanya diam mendengarkannya. Ia tahu pasti bagaimana nasib Jahingir yang menjadi yatim-piatu, dan dipaksa membuat negerinya sendiri sejak 2 tahun yang lalu. Ia yakin, Jahingir pasti sulit mempercayai orang lain selain klan-klan yang telah mendukungnya.

Angkara KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang