Tampaknya misi yang diberikan Perdana Menteri Khimar benar adanya. Keesokan pagi, dua anak klan atnan itu menghadap ke Jenderal Umma dengan pakaian compang-camping. Jenderal Umma sempat khawatir namun, ia menahan lidahnya untuk tidak bicara.
"Jenderal Umma, kami akan meminjam dua kuda paling lamban dan sakit-sakitan untuk menjalankan misi ini. Kami akan menempuh perjalanan dari atas bukit dari Timur untuk menyelinap ke kemah mereka. Perjalanan kami berlangsung selama tiga hari dan kami mohon untuk bertahan selama kami bermisi."
Salah satu wanita klan Atnan itu bicara. Jenderal Umma yang memegang kendali kebingungan. Apa maksudnya naik kuda paling lambat untuk ke kemah mereka? Ia mengerti, para gadis ini menyamar jadi gelandangan. Namun, bukanlah lebih baik ia beri kuda tercepat untuk mengurangi waktu tempuh mereka?
Namun, pertanyaannya terjawab saat melihat kaki mereka berdarah dan dirantai. Mereka bukan menyamar menjadi gelandangan, mereka menyamar menjadi budak yang lari dari tuannya. Lalu, mengapa harus menjadi budak?
"Kudengar Tuan Farhan mempunyai rasa kasihan dengan budak, karena dulu ibunya juga budak dari bangsa Timur. Ayahnya selalu menyiksa ibunya dan berakhir dibuang ke sungai. Maka dari itu kami menyamar jadi budak wanita yang minta pertolongan. Bila Tuhan takdirkan rencana kami berhasil, Jenderal Umma akan membawa kemenangan atas perang ini. Dan jangan hiraukan kami, Tuan Khimar sudah membuat rencana agar kami selamat. Bila Tuhan juga menyelamatkan kami."
Pertanyaannya terjawab lagi. Jenderal Umma yang sejak tadi diam mendengarkan menepuk pundak keduanya sambil menitikkan air mata. Ia yakin dan ia berjanji akan menyelamatkan mereka kelak. Mereka telah mengorbankan tubuh mereka, mengapa ia harus takut menghadapi medan perang di depan matanya?
"Semoga Nona selamat dan Tuhan menyertai kalian. Aku yakin kekuatan Ilahi itu ada, dan pasti kau akan pulang ke ibu kota dengan selamat." Jenderal Umma mendoakan. Ia kemudian menyuruh prajurit yang ada di dekatnya untuk mengabulkan permintaan kedua anak dari klan Atnan. Dalam hatinya, doa selalu dipanjatkan atas keselamatan mereka.
Mereka berdua pun pergi.
Siangnya, lilin yang ada pada tali tambang itu hampir habis dan pasukan banyak yang gugur. Walaupun jumlah pasukan koalisi snagat banyak, namun, sampai detik ini mereka tidak bisa menerobos benteng walaupun hanya di gerbang. Mereka juga tidak bisa mengepung pasukan dari samping karena sungai kering itu berubah menjadi lumpur dan itu sangat memperlambat pasukan mereka. Dari sebelah kanan pun ada hutan yang akarnya sangat rimbun, dan di sana dipenuhi pemanah yang aktif menembaki mereka diam-diam.
Pasukan koalisi Ardagh-Nash pun sampai kagum mengapa pasukan sekecil itu dapat bertahan hingga kini.
"Jenderal Umma! Jenderal Umma! Surat dari Raja datang!" Seorang prajurit datang dengan wajah paniknya. Tangannya berdarah karena terkena panah, namun ia tetap menyampaikan pesan dari Raja Jahingir. Jenderal Umma segera mengambil dan membacanya. Itu benar surat dari Raja dan isinya sangat mengejutkan.
"RAJA AKAN DATANG! RAJA AKAN DATANG KE MEDAN PERANG!"
Genderang perang pun ditabuh kencang. Api yang membatasi mereka sudah sepenuhnya padam. Jenderal Umma dengan kudanya melaju berhadapan dengan musuh. Pedang di pinggangnya dan ia sibuk memanah siapa saja yang menghadangnya. Dengan adanya kabar bahwa Raja akan datang, semangatnya jadi membara.
Dari jauh ia bisa melihat Jenderal Damas dari kejauhan yang sedang berduel dengan salah satu prajuritnya. Tampaknya prajurit muda itu bisa mengimbangi kehebatan Jenderal Damas, dan ia yakin ia akan mengangkat pangkatnya kelak. Namun, apa yang terlintas dipikirannya adalah dua anak Atnan yang sudah pergi tadi pagi. Ia harus membuat rencana mereka berhasil dan ia tidak boleh mati.
"Siapkan kereta! Pemanah api bersiap! Pasukan berkuda maju!" Jenderal Umma berteriak. Kavaleri yang muncul dari arah barat membalapnya, membuat pagar dan berkeliling memisahkan Jenderal Umma dan pasukan musuh. Kuda mereka tertutup kain dan mereka membawa karung-karung berisi tepung. Tanpa pikir panjang, mereka menebarkan tepung-tepung itu ke hadapan ratusan pasukan, membuat kepulan partikel itu bak badai pasir.
"SERANG!"
Kepulan yang dihujani panah berapi itu meledak. Benar-benar ajaib! Bahkan pasukan berkuda Yoda sampai banyak yang terjatuh dari kudanya. Apa itu bola api barusan? Apa itu sihir? Pikir mereka.
"J-Jenderal! Kuda-kuda kita! Apakah kita harus terus menyerang seperti itu?" Komandan pemanah berapi itu bergidik ngeri. Ia tidak pernah melihat bola api sebesar itu sebelumnya.
"Bersiaplah, kita hanya butuh tiga hari untuk memenangkan ini. Pasukan kuda maju! Pemanah api bersiap!"
Ronde ke-2 dimulai dan kuda-kuda itu terus berderap melempari tepung sebelum mereka mundur dan membiarkan kepulan asap itu dihujani panah berapi yang mereka buat dari peralatan yang Perdana menteri Khimar berikan. Ternyata kemarau sangat menguntungkan mereka. Panasnya matahari dan gersangnya medan perang membuat tepung-tepung itu mudah terbakar.
Namun, kekurangan dari strategi itu adalah tingginya resiko memakan korban. Tak sedikit dari pasukan kavaleri yang gugur dan terluka karena ledakan-ledakan itu. Asap yang tebal pun membuat kuda mereka sesak napas dan berlari tidak terkontrol. Apalagi dalam keadaan mata tertutup, mereka berlari ke segala arah.
"Tidak apa-apa! Ini yang terakhir! Pasukan berkuda, maju! Pemanah api bersiap!"
Lagi, kepulan tepung itu membuat ratusan pasukan koalisi yang ada di garda depan mundur. Mereka tidak kuat menahan "sihir" Jenderal Umma yang tidak terkalahkan. Banyak dari mereka yang gosong, banyak pula yang terjatuh dari kudanya dan terinjak-injak. Sungguh itu pemandangan yang mengerikan bagi siapapun yang melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkara Karma
Historical Fiction"Bila kau terus memikirkan siapa penerus tahta kita, maka perangilah adik kesayanganmu itu. Mengapa kau selalu berpikir rumit kalau menyangkut masalah Jahingir?" Kalimat itu adalah gambaran dari Angkara Karma. Kisah tentang dua orang Raja yang terla...