"Tania mau makan apa, nak?" Tanya Oma Chan, bersiap memasak untuk Tania.
"Roti sama susu sapi." Cicit Tania sambil memainkan jemarinya.
"Mau masak sama-sama?" Tanya Oma Chan.
Tania mengangguk antusias. Ia suka sekali memasak. Dulu ayahnya sering memasak makanan untuknya. Tania selalu ikut andil meski hanya untuk mengobok-obok air dan memainkan tepung. Dan ayahnya tidak pernah marah sama sekali.
Oma Chan mengerti. Jiwa kekanakan Tania masih sangat melekat. Gadis itu sepertinya harus diperlakukan layaknya anak kecil ketimbang wanita dewasa.
"Berapa umurmu nak?" Tanya Oma Chan sembari membuka plastik roti tawar dengan Tania di sampingnya.
Tania memiringkan kepalanya menghadap Oma Chan, "Nda tau.." Gadis itu beralih menarik kursi yang ada di dapur agar bisa naik ke atas meja.
"Sembilan belas." Herin menyahut sambil membawa peralatan yang kotor ke wastafel seperti gelas kopi bekas Remon dan yang lainnya untuk dicuci. Tadi Herin sempat memperhatikan Remon saat menjelaskan dan mendengar tentang umur gadis itu. Mungkin Oma Chan lupa atau tidak fokus.
Sementara Irene baru saja datang dengan membawa notebook serta pulpen.
"Oh.. Muda sekali." Sahut Oma Chan.
"Hati-hati jangan sampai jatuh, Tania." Herin membantu Tania naik ke atas meja. Gadis itu berterimakasih dan membuat Herin tersenyum. Lalu Herin kembali melakukan tugasnya, mencuci piring.
"Tania."
Tania menoleh ketika Irene memanggilnya. Oma Chan pun ikut menoleh ke arahnya.
"Apa kau bisa berhitung?" Tanya Irene tersenyum sambil melipat kedua tangannya di dada dan menyilangkan kakinya di kursi dekat pintu dapur.
"Bisa.." Jawab Tania sambil mengangkat kedua tangannya kemudian berhitung dari 1 sampai 10 dengan jemarinya.
"Good!" puji Irene sambil bertepuk tangan dan tersenyum.
"Mau rasa coklat atau kacang?" Tanya Oma Chan.
Tania kembali fokus pada roti yang akan diolesi selai, " Umm.. Rasa setoberi." Ucap Tania menunjuk selai buah stroberi.
"Oh.. ini." Oma Chan mengambil selai tersebut. Lalu membuka tutupnya dan hendak mengoleskannya di atas roti.
"Tania ajja boleh?" Pinta Tania lembut sambil menatap Oma Chan.
"Oh, boleh sayang. Ini." Oma Chan memberikan spatulanya pada Tania. Gadis itu dengan antusias meraihnya dan segera menyendok pelan-pelan.
"Tania. Nanti mau main lagi?" Tanya Herin menoleh sambil membilas piring sabunnya.
"Mau-mau." Jawab Tania tanpa menoleh karena gadis itu sibuk menaruh selai ke atas rotinya.
Irene tiba-tiba bangkit dan mendekati Tania. "Apa tadi ayahmu?"
Tania melihat Irene sekilas. "Iyya.."
Sejujurnya, mereka bertiga tidak tau status di antara Remon dan Tania. Remon hanya menyuruh mereka untuk menjaga Tania yang tidak di jelaskan sebagai anak atau pun pasangan. Tapi melihat interaksi keduanya tadi membuat mereka sedikit bingung. Mungkin adiknya, karena Remon masih terlihat muda dan tampan. Tapi, mengapa di panggil ayah?
"Emm.. Irene." Herin berbalik menatap Irene. Memberi kode agar tidak membahas ini. Remon tadi mengingatkan mereka agar tidak membahas orang tua seperti ayah, ibu, ataupun keluarga. Tania sangat sensitif dengan itu semua.
"Jangan khawatir. Aku tau apa yang aku katakan." Ucapnya pada Herin.
"Em, Tania. Apa sudah selesai? Ayo kita masukkan ke dalam mesin pemanggang roti." Oma Chan mengalihkan perhatian Tania.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Precious Girl [21+]
RomanceWARNING!! 21++ Bijaklah dalam memilih bacaan! Mengandung Adegan Tak Senonoh dan hal-hal yang berbau sex! [Adegan 21+ berjalan sesuai alur dan plot cerita] Disarankan untuk pembaca yang sudah menikah. Yang masih kecik jangan ya nak🤓 Deskripsi: Remo...