BAB 2 Nomor Telepon

88 58 12
                                    

Arav hanya terduduk lemas, harapannya untuk memiliki kekasih musnah. Entah mengapa dia sangat tertarik pada April yang kenal hanya melalui suara.

Beberapa hari terlewati, Arav merasa pekerjaannya semakin menjenuhkan. Setiap hari akan melakukan hal yang sama. Greeting, problem solving, dan closing. Ya, menyelesaikan setiap permasalahan pelanggan.

“Ya, Pak, benar. Lampu modem ada yang mati?” tanya Arav pada pelanggannya.

“Enggak, Kak.”

“Lalu, keluhannya?” tanya Arav mencoba sabar, setiap hari mendapatkan pelanggan yang berbeda-beda. Terkadang mudah dalam memandu, terkadang kesulitan karena pelanggan yang tidak bisa diajak kerja sama.

“Nggak ada, Kak,” jawab sang pelanggan dengan manja.

Arav menggigit pelan bibirnya. Seandainya seorang wanita, mungkin akan enak didengar saat mengucapkan dengan manja. Namun, pelanggan yang kini bicara dengannya adalah seorang pria.

“Tujuan Bapak menghubungi kami apa?” Arav masih bertanya dengan sabar.

“Nggak pa-pa sih, Kak. Cuma mau ngasih tahu bahwa modem aku tuh, aku kasih busa di atas dan bawahnya. Lalu, aku kasih karet. Oh ya, busanya itu aku cat warna kuning. Jadi kaya burger gitu loh, Kak,” ucap sang pelanggan dengan gelak tawa.

Arav menekan tombol AUX. “Nggak waras!” Setelah menggerutu, dia kembali menekan tombol AUX agar pelanggannya bisa kembali mendengar suaranya. “Oh begitu ya, Pak. Setelah kami melakukan pengecekan sistem, tidak ada kendala di jaringan internet Anda. Ada lagi yang bisa dibantu, Pak Sammi?”

“Udah, Kak. Gitu aja. Ammi mau tidur dulu ya, takut diomelin mama nelpon malam-malam.”

“Baik, Pak Sammi. Selamat malam, selamat beristirahat.”

Arav mengembuskan napas pelan setelah menghadapi pria aneh yang menelponnya hanya untuk memberitahu bahwa modem-nya dimodifikasi menjadi burger.

Tut! Masuk lagi line panggilan untuknya. Tidak bisa mengontrol yang masuk ke dalam line karena semua penelpon secara otomatis terhubung dengan agent yang sedang tak melayani pelanggan.

“Terabig Net. Selamat malam. Dengan Arav. Ada yang bisa dibantu?”

“Ah! Beb, Hurry!”

“Hallo, selamat malam. Dengan Arav di sini.”

Come on, Beb!”

Arav mengernyitkan dahi. Suara dari seberang telepon seakan tak berbicara dengannya. Suara-suara itu semakin terdengar jelas. Desahan dari dua jenis manusia berlain gender begitu nyata. Mereka berbicara dengan bahasa Inggris.

Arav mencoba menyapa dengan bahasa Inggris. “Terabig Net. Good Evening, with Arav. May I help you?”

Masih terdengar suara rintih dan juga desah kepuasan. Arav menekan tombol AUX sebagai kebiasannya jika ingin berbicara sendiri. “Woi! Kalau lagi mantab-mantab nggak usah nelepon ke sini!” makinya kesal karena telinganya dikotori dengan suara orang bercinta.

“Kenapa, Bro?” tanya rekan di samping kubikel Arav.

“Ada pelanggan nggak loe?” Jarinya sembari menekan tombol AUX.

“Lagi kosong.”

Arav menekan tombol load speaker. Terdengar kembali suara pergulatan sepasang kekasih di atas ranjang. Rekan kerja Arav tertawa mendengarnya. Pelanggan mereka memang unik, cerita dibalik agent call center begitu banyak.

“Udah matiin aja, daripada nanti loe yang pengen!”

“Ih, amit-amit!”

Arav kembali menekan tombol AUX. “Hallo, dengan siapa saya bicara?” tanya Arav lagi.

Setelah ketiga kali bertanya, dia yang akan mengakhiri sambungan telepon terlebih dulu. Untuk satu kasus, para agent call center diperbolehkan memutuskan sambungan telepon pelanggan terlebih dulu.

“Mohon maaf, Bapak atau Ibu. Suara Anda tak terdengar dengan jelas. Percakapan kami akhiri. Terima kasih telah menghubungi Terabig Net. Selamat malam, selamat beristirahat.”

Arav menggerutu karena hari ini telah berhadapan dengan dua pelanggan aneh. Layanan mulai sepi, rasa kantuk mulai menyerangnya kembali. Jam dinding sudah menunjukan pukul 2 malam.

Tut!

Arav tersentak, dia langsung menyambut pelanggan. “Terabig Net. Selamat malam. Dengan Arav. Ada yang bisa dibantu?” Suaranya serak tak bersemangat.

“Kak, Arav.”

“April ….”

“Iya, Kak. Ini April. Kak Arav masih ingat suara Apri?"

“Tentu April ….” Arav menggeleng karena salah bicara, “iya, Bu April.”

“Masih panggil aku Ibu. Emang aku setua itu!” rajuknya.

Arav mengulas senyum. Suara April selalu sukses membuat hatinya damai.

“Ada yang bisa dibantu, Bu April?”

“Biasa Kak, masalah internet.”

“Tidak ada koneksi?”

“Iya, Kak. Kemarin saya mencoba seharian seperti yang Kakak pernah pandu. Tapi, nggak berhasil.”

“Saya cek jaringan terlebih dulu ya?”

Arav mulai memandu April. Lagi-lagi, masalah yang tidak terlalu sulit. Namun, Arav terlalu panjang memandunya, hanya untuk mendengar lebih lama suara April.

“Kak Arav. Bisa nggak sih ada cara lebih gampangnya?”

“Nelpon ke sini aja langsung,” ucap Arav yang tak sadar telah bicara secara tak baku.

“Oh, gitu. Ya sudah deh.”

“Baik, Bu April. Ada lagi yang bisa dibantu?” Arav melihat ke layar pesawat telepon PABX-nya, dia langsung memasukan nomor telepon April ke ponselnya. Bibirnya mengulas senyum karena mendapatkan nomor gadis itu.

“Tidak ada, Kak.”

Sambungan telepon berakhir, tidak ada lagi sambungan telepon yang masuk. Jam sudah menunjukan pukul 5, waktunya Arav untuk mengakhiri pekerjaan hari ini.

***

Arav pulang ke rumahnya. Terasa kosong, karena dia adalah anak tunggal. Membuka pintu kamar ibunya, di sana terbaring sang ibu yang sedang tertidur.

Arav menghampiri, mengecup pipi ibu kesayangannya. Hanya ibunya anggota keluarga yang tersisa. Ayahnya, dua tahun lalu telah meninggal dan membuat ibunya dirundung kesedihan. Arav bahkan pernah mendatangi psikiater untuk mengobati depresi ibunya.

Dia kembali ke kamar. Merebahkan tubuh ke ranjang lalu merogoh kantong celana. Melihat di layar, tertera nomor telepon April yang diberi nama My April pada kontak tersebut.

Ingin menyentuh icon dial. Namun, diurungkan karena masih terlalu pagi. Hanya bisa menatap deretan nomor telepon itu.

Waktu terus bergulir, dia turun dari lantai dua ke bawah. Sudah pukul 8, dia melihat ibunya yang sudah bersiap dengan pakaian kerja. Ibunya seorang perawat di rumah sakit.

“Bu,” sapa Arav.

Tak ada respon dari ibunya. Tak menoleh, hanya air mata yang sedikit menetes di pipi. Kematian ayah yang begitu mendadak, dan wajah Arav yang terlalu mirip dengan sang ayah membuat ibunya tak sanggup melihat anaknya sendiri. Karena itu, Arav jarang menampakan diri di depan sang ibu karena akan membuat ibunya bersedih.

Hanya bisa menatap kepergian ibunya yang keluar dari rumah. Arav duduk di sofa ruang tamu. Setelah melihat jam di dinding, sudah waktunya setiap orang beraktivitas.

Dia mencoba menghubungi April. Namun, dia dibuat kesal dengan suara dari telepon tersebut yang menyatakan bahwa nomor telepon tidak terdaftar.

“Mengapa seperti ini?!”

April's Voice (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang