Arav tertegun mendengar ucapan dari Kenzo. Ya, yang dikatakan Kenzo memang bisa menjadi banyak pertanyaan. Mengapa April hanya menghubungi contac center hanya pada pukul dua malam.
Dia pun tak bisa menghubungi April, meskipun gadis itu sudah memberi informasi bahwa nomor teleponnya memang dibuat tak bisa menerima panggilan dari luar. Lalu, mengapa April pun tak bisa menghubungi nomor teleponnya, yang Arav tahu pasti nomor teleponnya benar.
"Kenapa bengong? Baru sadar kan kalau cewek yang nelepon kita ke sini itu aneh?" tanya Kenzo.
"Nggak mungkin. Dia gadis biasa kok," timpal Arav membuang pikiran buruk.
"Terus, kenapa cuma loe yang bisa menerima telepon darinya? Kita itu random, pelanggan nggak bisa memilih dengan agent mana mereka bicara. Setiap pelanggan yang terhubung, itu pasti ke line yang paling lama waktu available-nya. Saat loe memandu pelanggan sebelum April, itu gua juga lagi nggak nerima telepon pelanggan. Bukankah seharusnya April terhubung ke line gua?"
Dia tak bisa menimpali lagi ucapan dari temannya itu. Melirik sekilas pada Kenzo lalu beralih pada komputernya. Arav memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.
Setelah selesai bekerja, dia kembali ke rumah. Seperti biasa, dia akan melihat ibunya yang sedang tidur di kamar. Arav tersenyum, dia mengambil album photo dalam pelukan sang ibu.
"Mah, sampai kapan mau seperti ini?" tanya Arav dengan suara pelan.
Dia duduk di samping ibunya. Membuka photo album yang dia ambil dari sang ibu. Photo demi photo ditelisik Arav. Bibirnya mengembang senyum. Photo dirinya saat masih kecil. Keluarga kecil yang sangat bahagia. Sepasang suami istri yang tersenyum lebar, anak kecil yang digendong di pundak sang ayah.
Melihat wajah ayahnya muda, benar-benar sangat mirip dengan dirinya. Dia mengusap photo sang ayah. Hidup mereka yang dulu bahagia, kini dirundung kesedihan yang masih larut tak mau pergi.
Mengecup kening sang ibu yang tertidur pulas dengan sisa air mata di sudut mata. Arav bangkit, meletakan album photo di meja samping tempat tidur. Berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, sekali lagi menoleh ke belakang dan menatap sang ibu.
Arav naik ke lantai dua, kamarnya berada. Dia langsung merebahkan tubuh di ranjang. Tatapannya ke langit-langit kamarnya. Ucapan Kenzo masih menjadi penghuni otaknya yang sulit dihapus. Namun, suara April lebih tak bisa dihapus dari kepala ataupun hati.
Belum bisa tidur, meskipun sudah berusaha menutup mata. Pagi ini matanya masih terjaga. Dia memilih menyibukan diri dengan bermain gitar. Bernyanyi entah berapa lama.
***
Alarm berbunyi, Ibu Arav bangun, bersiap untuk melanjutkan hari. Matanya tak sengaja menatap album photo di atas meja. Tertegun sejenak, karena seingatnya, dia tertidur dengan memeluk album photo tersebut.
Tak ambil pusing dengan album photo di meja. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk bersiap bekerja. Setelah siap, dia keluar kamar dan menuju dapur. Memasak makanan yang mudah. Menyiapkan dua porsi. Satu porsi di makan dan satu porsi dibiarkan di meja makan.
Satu suapan masuk ke dalam mulut. Samar, dia mendengar suara orang bernyanyi dengan diiringi gitar. Dia sangat mengenal suara itu. Ibu Arav perlahan bangkit, berjalan menuju tangga. Menatap ke atas, menajamkan pendengarannya bahwa nyanyian itu berasal dari kamar anaknya.
Tangan Ibu Arav memegang handrail tangga. Namun, dia tak melangkah ke atas. "Idlan, kini aku hanya memiliki anak kita."
Idlan, suaminya. Idlan, cintanya. Idlan, separuh hidupnya. Ibu Arav mengusap cairan bening yang tak pernah lelah keluar dari mata. Lalu, dia pergi dari rumah.
***
Arav bersiap untuk menemui April. Dia tak ingin terlambat meskipun pertemuan mereka masih beberapa jam lagi. Tak lagi peduli dengan ucapan Kenzo. Dia sudah memantapkan hati untuk bertemu dengan April.
Dia turun dari lantai dua. Menggunakan jaket dengan kupluk. Headphone ia lingkarkan di leher. Di bawah, ia melihat ibunya yang baru pulang bekerja dengan seragam perawat yang masih melekat.
"Sudah pulang, Bu? Tumben, jam 7 udah sampe rumah?"
Tidak ada jawaban dari sang ibu. Ibunya seolah tak mendengar Arav. Dia membuka tudung saji dan melihat piring di sana. Menghela napas pelan.
Arav langsung mengerti. "Maaf, Bu. Arav lupa mencuci piring setelah makan."
Dia hendak mengambil piring dan mencucinya. Namun, kalah cepat dengan pergerakan dari ibunya.
Ibu Arav menbawa piring ke wastafel. Sebelum dicuci, membuang sisa makanan terlebih dulu di tempat sampah.
"Sudah, Bu. Biar Arav saja."
Tak menggubris Arav. Ibunya malah mempercepat mencuci piring. Setelah itu, meninggalkan Arav sendiri di dapur.
Hanya bisa menatap punggung sang ibu yang perlahan menghilang dibalik pintu. Arav hanya bisa bersabar dengan keadaan ibunya yang belum bisa menerima kematian ayahnya. Dia tahu, cinta orang tuanya begitu besar. Separuh hidup ibunya adalah ayahnya.
***
Camar ¾. Arav sudah sampai di taman yang disebutkan April. Masih satu jam waktu janji temu mereka. Namun, Arav tak ingin terlambat. Taman yang cukup sepi. Tak banyak orang yang lewat, hanya ada beberapa pejalan kaki yang melintas.
Arav meletakan headphone di telinga. Dia mulai mendengarkan lagu kesukaannya sembari menunggu pujaan hati yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menatap tanah, dengan kaki yang sedikit bergoyang karena terhipnotis alunan lagu yang sedang didengar.
Gelombang suara yang menjadi sinyal listrik dan mengirimkan sinyal tersebut melalui udara ke pusat telekomunikasi. Hanya dari suara, turun ke hati. Jatuh cinta melalui udara. Debaran jantung, seolah tak sabar bertemu dengan sosok bernama April.
Setelah beberapa lama, Arav mengangkat kepalanya. Di seberang taman, berdiri seorang gadis. Gadis itu hanya diam di tepi jalan. Namun, menatap ke arahnya.
Gadis dengan dress berwarna putih, rambut panjang sepinggang. Kulit gadis itu putih bersih. Namun, tampak pucat. Tak ada senyum di wajah gadis itu. Entah mengapa, Arav tertarik pada gadis yang berdiri di tepi jalan. Dia yakin, gadis itu adalah April.
Arav bangkit dari duduknya, lalu berdiri. Akan tetapi, sulit untuk melangkah. Hanya bisa diam di tempat. Satu tatapan di pertemuan pertama. Rasanya, hanya ada mereka berdua, seolah orang lain menjadi transparan yang bisa mereka tembus. Langit seolah mendukung, bintang bertaburan. Jelas sangat terpancar indah.
Gadis itu diam di tempat. Maka, Arav yang akan menghampiri. Dia mulai melangkah. Berjalan mendekati April. Namun, langkahnya harus terhenti, karena mereka terhalang oleh jalan, di mana kendaraan berlalu lalang.
Arav menunggu lampu lalu lintas yang memberikan tanda pejalan kaki boleh menyeberang. Tatapan gadis itu tak lepas dari Arav. Arav memberi senyum pada April.
Beberapa kendaraan berlalu lalang. Bukan waktunya pejalan kaki menyeberang. Arav menunggu dengan sabar. Sebuah bus melintas, menghalangi pandangan Arav untuk melihat April.
Setelah bus itu berlalu, April pun ikut menghilang. Arav beberapa kali mengedipkan mata. Berharap setelah mengedipkan mata, April ada di depan mata. Namun, semua tak berjalan sesuai harapan. Gadis itu, hilang tak berbekas.
...🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸...
Jangan lupa vote setiap bab-nya😊 Biar Age tambah semangat 💪💪
Saran dan komentarnya juga di tunggu yach, biar Age bisa lebih baik lagi dalam berkarya 🥰Salam sehat semua.... 🥰
Salam Age Nairie.....🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
April's Voice (Segera Terbit)
RomanceKatanya, jatuh cinta itu dari mata turun ke hati. Apakah benar seperti itu? Apakah indra penglihatan mendominasi dari semua dasar cinta? Mungkin, sebagian orang jatuh cinta berawal dari mata. Namun, tidak bagi Arav. Pria muda yang berprofesi sebagai...