TWENTY-EIGHT

124 17 1
                                    

Disclaimer:

All characters, events, and situations depicted in this novel are entirely fictional. Any resemblance to real persons, living or dead, or actual events is purely coincidental. The settings and organizations mentioned are also products of the author's imagination and are not intended to portray real locations or institutions. This work is created solely for entertainment purposes and does not reflect real-life scenarios or individuals.

***

"My God, dear. Kamu terlihat sangat pucat." Suara yang terdengar familiar dari Arin Prasetyo, ibu mertuanya itu membuatnya terkejut. Diikuti oleh Tabitha yang setahunya sedang ada di Kanada untuk sebuah acara.

Nara bangkit dari kursi yang menahannya selama beberapa jam kebelakang ini. Kakinya terasa kebas, hampir membuatnya terjatuh dan rasa pening yang menemaninya sepanjang hari semakin sulit untuk diabaikan.

"Ma,"

"Apa yang kamu lakukan seharian di kantor seperti ini Nara?" Tanya perempuan yang baru saja pulang dari French Riviera, tempat bersantai nya setelah pensiun dini beberapa tahun yang lalu ini. Begitu mendengar berita yang ada di media, ia langsung kembali ke Indonesia.

Menatap Nara yang tidak terlihat baik-baik saja, ia merasa menantunya itu bekerja terlalu keras. Jika bukan karena Aruna, sahabatnya yang memberitahunya bahwa Nara tidak pulang ke rumah setelah skandal itu menyebar. Ia tidak akan datang ke kantor partai politik yang saat ini ramai orang.

"Aku hanya capek, Ma. I am okay." Nara memaksakan senyuman, berusaha menutupi ketidaknyamanan di seluruh tubuhnya.

"Kamu sudah makan? You're going to collapse at this rate."

"Aku tidak bisa makan." Nara mengakuinya, suaranya hampir tidak terdengar. Perutnya yang terasa mual membayangkan suaminya bersama dengan Kalila seharian, sampai-sampai tidak menghubunginya setelah skandal ini muncul. Di sisi lain, kekhawatiran juga timbul di benaknya.

Bagaimana jika pria itu tidak baik-baik saja?

Tabitha menyentuh kening Nara, "Badan kamu.. panas sekali."

"I am okay." Ia membalas dengan senyum ke arah Tabitha, lebih terdengar seperti meyakinkan dirinya sendiri.

"Apakah kalian sudah mendengar dari Julien?" Tanya Nara khawatir.

Setidaknya Taksa yang ia kenal tidak akan membiarkan dirinya menghadapi skandal yang memberikan guncangan pada posisi politik keduanya. Hanya saja ia tidak menebak perihal apa yang membuat pria itu menghabiskan waktu dengan Kalila tanpa menghubunginya sekalipun.

Arin melambaikan tangannya tenang, "That brat? Nothing will happen to him."

"Have you heard from him?" Tanya Nara kembali.

Tabitha menyentuh pundak Nara, "He can't reach you or anyone now. But he is fine."

"Ma sudah dengar apa yang kamu lakukan. Mundur dari pencalonan kamu? Apa kamu yakin? You have done everything for that position." Ucap Arin serius.

"Ma, I have done everything for that position to help Julien. Bukankah yang aku tukar worth it?" Balas Nara. Ini adalah hari kedua dan seluruh tim sudah mempersiapkan tindakan yang dilakukan setelah diskusinya tadi pagi dengan Adinata Jaya, pria tua yang rela menukar berita anaknya demi sebuah posisi.

Arin dan Tabitha menghembuskan napas mendengar jawaban Nara. Perempuan muda ini memiliki decisiveness yang hampir mirip dengan Taksa.

"Let's go home and rest." Ucap Tabitha menarik tubuh Nara yang terasa berat. Tanpa menolak, Nara membiarkan keduanya membawanya pulang sembari pikirannya melayang memikirkan Taksa dan Kalila, serta tubuhnya yang terasa tidak selaras dengan dirinya.

---

Kedua sahabat, Arin dan Aruna mengadakan sesi catching up dengan berbicara di ruang tamu. Sementara Nara duduk dengan tenang di taman rumahnya, membiarkan angin malam menembus kulitnya.

She thought she was ready to face every difficulty, but the world seemed to crumble around her without him in sight.

Ayahnya, Nathanael muncul di pintu, keningnya mengerut dengan penuh kekhawatiran.

"Papa bawa makanan kesukaan kamu." Ucapnya membawa chocolate cake yang disiapkan oleh salah satu chef ternama di Jakarta.

Nara mengangkat senyumnya, menerimanya dengan semangat. Namun satu sendok di dalam mulutnya, ia mengembalikan piring tersebut ke ayahnya.

Ia merasakan asam lambungnya naik ke kerongkongan dan menolak cake tersebut.

"Biasanya kamu suka ini kan?"

"I just..can't eat anything, Pa."

"Kamu jangan terlalu kepikiran. Papa yakin Taksa bukan laki-laki yang melakukan sesuatu tanpa penjelasan." Pria ini menenangkan anaknya yang tampak gelisah. Meskipun ia belum yakin dengan pernikahan keduanya, tapi ia cukup tahu karakteristik seorang Taksa. Skandal ini bukan hanya tentang Taksa dan Kalila.

Kedua mata Nara meredup, "Menurut papa begitu?"

Nathanael mengangguk meyakinkan anak semata wayangnya itu.

"Bagaimana jika ada yang lebih serius? Kita belum mendengar dari Taksa. What if he is in danger?"

Nathanael membelai rambut Nara, menenangkannya.

"Keluarga Limawan tidak mudah dijatuhkan. Papa yakin mereka tahu keberadaan Taksa."

Perempuan ini menelan kembali kata-kata yang tertahan di bibirnya. Ada banyak hal yang ada di kepalanya. Kekhawatirannya tentang pria yang tidak membalas pesannya, foto dan video keduanya yang terlihat romantis membuatnya merasa mual dan perasaan bahwa ia telah diikuti oleh seseorang.

Tentu saja ajudan dan asistennya mengikutinya kemanapun. Karena itu pula ia tahu ada yang mengikutinya. Mereka belum bisa menangkapnya, dan ia juga tidak ingin khawatir berlebihan selama ia tidak dirugikan.

Nara memeluk pria itu, menenggelamkan kekhawatirannya dalam pelukan ayahnya,

***

Limawan Series: PASSIONATE ALLIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang