THIRTY-ONE

141 25 5
                                    

Disclaimer:

All characters, events, and situations depicted in this novel are entirely fictional. Any resemblance to real persons, living or dead, or actual events is purely coincidental. The settings and organizations mentioned are also products of the author's imagination and are not intended to portray real locations or institutions. This work is created solely for entertainment purposes and does not reflect real-life scenarios or individuals.

***

"Nara, kamu tahu menghadiri acara besok adalah hal yang sangat krusial untuk pemilihan kali ini. Untuk menyatakan keberadaan partai dan untuk memastikan publik mengingat Taksa sebagai aktor penting dalam membuka kasus ini." Penjelasan panjang dari Razak tidak menggerakkan hati Nara. Ia tahu keberadaannya sangat penting, tapi kini ia tidak menemukan arti melakukannya.

"Katakan saja aku sakit. I am sick. It makes sense with all of those schedules."

"Come on. Semua orang akan membuat rumor semenjak foto Pak Taksa dan Kalila saat itu."

"Lebih baik. Publik tidak akan kaget ketika aku berpisah dengan Taksa." Jawab Nara ringan.

"Mrs. Limawan, don't play around!" Ucap Razak penuh emosi. Sebagai seorang politician aide muda yang dididik oleh salah satu kandidat gubernur Indonesia, kemudian dipindahtangankan ke Taksa dan keluarga Limawan, Razak selalu tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan dengan pimpinannya. Setiap orang memiliki 'keunikan' nya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia merasakan 'keunikan' dari Nara yang tiba-tiba menjadi keras kepala.

"Aku tidak memiliki energi lagi untuk menghadapi semua orang."

"But your presence matters. Kamu adalah istri dari seorang Taksa Julien Limawan, salah satu pewaris dari keluarga Limawan, anak dari Nathanael Darsono dan ketua umum partai. Mana mungkin kamu tidak hadir."

Kepala Nara berputar mendengar celotehan penuh emosi dari Razak. Tentu saja ia tahu konsekuensinya. Walaupun ia belum lama di dunia politik, pengalamannya turun di lapangan dan pendidikannya bukan waktu yang kosong. Ia mengerti namun tak bisa melakukannya.

Ia juga tak bisa mengatakan bahwa itu semua karena tubuhnya yang lemah. Ia merasa mual sepanjang hari, tidak mengeluarkan satupun isi perutnya namun tidak juga berhasil mengisi perutnya. Ia mengurung diri di dalam ruangan kamarnya.

Keduanya berbicara tanpa menyadari sosok pria bertubuh tegap yang berdiri di depan pintu. Siapa lagi kalau bukan Taksa, suaminya yang telah menghabiskan waktunya bolak-balik ke pengadilan, memastikan investigasi berjalan dengan baik dan sibuk dengan merencanakan kenaikan Toni setelah Lukman jatuh. Pemilihan presiden kali ini akan jauh lebih mudah dengan satu kandidat dengan latar belakang kuat dan merakyat seperti Toni dibandingkan kandidat lainnya yang baru saja muncul ke ranah politik tanah air.

Begitu melihat atasannya, Razak menjauhkan dirinya dari ranjang Nara. Walaupun ia tidak bekerja setiap hari dengan Taksa, ia menyadari satu kesamaan dari para pria yang ada di dunia politik. Obsesi dibalik ketenangan yang mereka tunjukkan di media, dan Nara adalah obsesi seorang Taksa. Ia menghela napas memandangi pasangan suami istri yang sibuk melakukan semuanya dengan cara sendiri. If only they communicate well. Not as an alliance, partner or whatever they call it.

"Sebentar." Taksa menghentikan langkah Razak yang keluar dari kamar yang seharusnya menjadi privasi antara dirinya dan Nara.

"Call her Mrs. Limawan. She is my wife, not your friend." Razak bisa merasakan suara rendah itu penuh arti. Ia mengangguk. "Ibu Nara, Mrs. Limawan. Maafkan saya, Pak Taksa."

Razak tidak lupa menutup pintu kamar meninggalkan pasangan tersebut yang memberikan ketegangan di udara.

Taksa duduk di pinggir kasur, menyentuh dahi Nara dengan telapak tangannya.

"Kamu tidak demam."

Kemudian tangannya meraih telapak tangan Nara. "Tapi tangan kamu dingin."

Nara mengalihkan tatapannya. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya dan kehadiran Taksa disini tidak membuat semuanya menjadi lebih baik.

"Aku tidak akan meminta kamu datang. You have to rest." Pria itu mengucapkannya dengan nada lembut.

"Aku berpikir untuk mengembalikkan posisi ketua umum ke kamu. Semua orang tahu bahwa aku hanya memegang posisi itu sementara."

"I need you."

"Kamu tidak butuh aku lagi, Taksa. Papa sudah kembali dan aku tidak lagi sosok yang menimbulkan kontroversi dan bisa menarik perhatian orang."

"Bukannya kita selama ini baik-baik saja? We are a good team, Nara. We have a long way to go." Ucapnya dengan nada keras. Tak butuh waktu lama untuk ia menyesali perbuatannya setelah melihat tatapan dingin wanita dengan wajah yang tidak terlihat baik.

"You can get some rest and we can talk later."

Taksa merasakan tangannya dihentikan oleh Nara.

"Taksa, aku mau pulang."

Pria itu mengangkat senyum sinis, "Kita sedang di rumah, di kamar kita jika kamu lupa."

"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku."

Taksa melepaskan pegangan tangan Nara dengan pelan.

"What's wrong with you, ma moitié? Kamu marah? Bicara. I am not used to seeing you being stubborn like this. I can't read you."

Nara tersenyum mendengar ucapan Taksa, seperti sesuatu terkikis di dadanya.

"Mungkin kamu salah menilai aku. The person I am today is the version of me after what happened to my dad. But I was never like this." Nara mengangkat kakinya dari kasur, dan duduk berhadapan dengan Taksa yang duduk di hadapannya.

"Our marriage is perfect. I don't know what is going on in your mind."

"Aku tidak peduli apapun yang terjadi dengan kamu dan Kalila, atau apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan semua bukti itu. Biarkan aku pulang, tolong."

Nara tidak tahu perasaannya benar atau tidak, ia bisa melihat kilatan di mata Taksa mendengar ucapan terakhirnya.

"Kamu benar-benar keras kepala ya." Ucap Taksa tak sabar. Ia menghabiskan hampir seluruh energinya di luar dan insting natural yang ada di kepalanya adalah pulang ke rumah untuk menemui Nara. Karena ia tidak tahu sejak kapan kehadiran perempuan itu mengembalikkan energinya. Every trace of her in this house makes him feel like he belongs here.

Permintaan Nara adalah hal yang sulit. Ia tidak pernah benar-benar membiarkan perempuan itu pergi dari hadapannya semenjak pernikahan mereka. Belum lagi dengan semua yang sedang terjadi, terlalu banyak hal yang tidak bisa ia prediksi.

"Tolong, biarkan aku pulang. Aku ingin istirahat."

"Dan istirahat bagi kamu adalah meninggalkan rumah ini?" Tanya Taksa sembari berusaha mengelola emosinya.

"Istirahat bagi aku adalah dimanapun tanpa kamu." Jawab Nara dengan nada dingin.

Pria itu bangkit tanpa memberikan satu kata, memanggil supirnya untuk mengantarkan Nara ke rumah orangtuanya, sementara salah satu asisten rumah tangga mereka merapikan pakaian Nara. Ia tak yakin bisa menahan dirinya jika ia melanjutkan percakapan ini dengan Nara.

***

Limawan Series: PASSIONATE ALLIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang