CHAPTER 28

164 34 12
                                    

Keheningan memenuhi kamar itu, seakan tanda-tanda kehidupan telah berhenti. Awan kelabu memencar perlahan di balik jendela, menyembunyikan sinar matahari senja yang mulai meredup. Suara-suara dari jalan di bawah tidak bisa dengan jelas mencapai lantai tiga flat tua di Jalan Ming. Suasana tenang, sedikit rona jingga dari matahari mewarnai dinding. Kamar itu tempat yang cocok untuk beristirahat.

Xiao Hua berdiri di luar pintu kamar, ragu-ragu. Satu tangannya membawa cangkir berisi teh, lalu satu tangan lain perlahan mendorong pintu. Dia melangkah masuk ke dalam kamar, menyipitkan mata pada jendela yang bermandikan cahaya matahari senja.

Dia meletakkan cangkir di atas meja kayu dekat jendela, kemudian matanya terkunci, tertegun pada sosok pria yang berbaring telentang di tempat tidur, kepala disandarkan ke bantal sementara matanya terpejam rapat.

Xiao Hua mengawasinya dengan seksama, matanya menunjukkan minat yang membara dan perhatian yang tulus. Hei Yanjing masih tak sadarkan diri karena sebab yang tak terpikirkan olehnya. Xiao Hua mengalihkan pandangan ke rambut tebal yang sedikit kusut menutupi kening pria itu, lalu merapikan dengan jemarinya.

Kemarin siang tepat saat Xiao Hua mencapai tempat ini dan berhasil membawa Hei Yanjing ke lantai tiga dengan bantuan seorang satpam yang dia suap untuk tetap tutup mulut, ia telah menanggalkan kacamata hitam Hei Yanjing karena melihat benda itu cukup mengganggu terlebih saat dia dalam kondisi tidak baik. Dia juga melepas jaket kulit dan sepatunya. Kini pria itu terlihat nyaman dengan T-shirt hitam dan celana panjang.

Xiao Hua sempat terpikir membawanya ke rumah sakit setelah ia menunggu selama enam jam dan pria itu tidak kunjung siuman. Namun ia membatalkan niatnya karena yakin bahwa polisi pasti mengejar mereka setelah kekacauan berdarah di jalanan. Kini beberapa benda milik pria itu ; kacamata hitam, ponsel, dan pistol terisi tiga peluru, tergeletak di atas meja bersama botol air mineral yang tak tersentuh, gelas yang masih kering dan bersih, serta secangkir teh yang baru saja ia bawa.

Xiao Hua menarik satu kursi dari sisi lain, menempatkannya di sisi tempat tidur agar dia bisa mengamati pria hitam itu dari dekat tanpa takut terganggu atau tertangkap basah. Pangkal alis pria itu bertaut samar dengan cara yang aneh bahkan saat ia masih pingsan. Apakah dalam pingsannya Hei Yanjing merasakan sesuatu? Sensasi rasa sakit? Kecemasan?

"Hei Ye..." Dia menyentuh jari lemas pria hitam itu, berusaha untuk terdengar hangat dan tenang.

Mata pria yang terbaring itu masih terpejam, juga tidak ada reaksi apa pun. Hanya napasnya yang terdengar samar, teratur serta dada naik turun menunjukkan dia masih bernyawa. Garis mulutnya kian tipis dan pucat, terlihat seperti orang sakit yang sesungguhnya. Xiao Hua tidak pernah melihat Hei Yanjing dalam kondisi seperti ini sejak mereka bertemu dan menjadi teman. Bahkan dia tidak pernah benar-benar peduli padanya, atau mungkin pura-pura tidak peduli. Terlalu kaku dan angkuh untuk menunjukkan sedikit perhatian atau sisi lembutnya.

Keheningan terus berdetak. Sinar matahari perlahan kian redup dan pudar melahirkan rona baru, gradasi jingga kemerahan yang terlukis indah di angkasa, menyentuh permukaan jendela kaca dengan pantulan cahaya. Xiao Hua menoleh untuk menatap keindahan itu, merasakan kesepian merayapinya. Momen hening seperti ini, sendirian menatap langit, melahirkan kesedihan yang dingin dalam hati. Xiao Hua tidak memiliki waktu untuk menumbuhkan sisi melankolis dan melodramatis dalam dirinya. Dia pria kuat, lugas, tidak suka drama, dan fokus pada pekerjaan. Perasaan seperti ini sedikit asing baginya, terlebih setelah ia mengalami banyak guncangan yang mempengaruhi kondisi mentalnya.

Telapak tangannya menyentuh kening Hei Yanjing untuk memastikan kalau dia tidak demam. Xiao Hua menghela napas berat. Seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin pria ini tak lama lagi akan siuman. Jika kondisinya masih sama selama beberapa jam ke depan, mungkin ia harus memanggil dokter. Perlahan, Xiao Hua bangun dari kursi. Memilih untuk menikmati teh sendirian di ruang tengah dan membiarkan Hei Yanjing beristirahat. Namun saat ia berbalik, langkahnya terhenti. Tangan Hei Yanjing telah memegang pergelangan tangannya hingga ia kini tak bisa meninggalkan sisi tempat tidur. Seketika matanya berbinar dengan ekspresi kegembiraan dan rasa lega yang tersembunyi.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐑𝐀𝐒𝐄𝐑 (𝐇𝐄𝐈𝐇𝐔𝐀) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang