04 | Dua Jam Lalu

210 30 0
                                    


Tapi sekarang ini apa?

Kane berdiri ditengah-tengah kerumunan orang berbaju hitam. Seluruh pakaiannya terlumur oleh darah yang bukan miliknya. Kane menggila, menghajar semua orang yang hendak menghentikan langkahnya.

Itu semua terjadi karena kejadian dua jam yang lalu.

"Kau tidak boleh keluar kediaman, Kyle." Wilder, pria itu dengan tenangnya menyeruput santai kopi paginya. Kane menatap tajam. Apa maksud Wilder yang tiba-tiba saja menghentikan niat jalan-jalan santai milik Kane?

"Atas alasan apa anda menyuruh saya untuk tidak keluar kediaman?" Sungguh, Kane ingin sekali berjalan-jalan dikota yang tidak pernah dirinya singgahi ini. Wilder yang sedang menyeruput kopi tampak melirik. Tidak peduli Clara dan Alina yang sudah berlalu setelah pamit untuk beranjak terlebih dahulu.

"Hukuman karena telah berbuat salah beberapa waktu lalu," jawabnya kala kopi di cangkir hanya tersisa setengah. Kane menggeram tertahan. Ia menyapu pandangan. Bisa dirinya lihat tatapan menyebalkan milik Ethan diseberang meja sana.

Kane memilin erat ujung jasnya dibawah meja makan itu sebagai pelampiasan. "Tapi saya menolak, Father."

"Kesalahan saya diwaktu lalu tidak menimbulkan dampak yang terlalu besar. Dan dengan saya keluar untuk bekerja, bukankah hal tersebut bisa untuk menutupi dampak kecil itu sebagai hukuman?"

Kane yang sudah tahu masalah yang ditimbulkan oleh Kyle tentu menolak. Rencananya untuk berjalan-jalan dan makan es krim vanilla tidak boleh dibatalkan hanya karena Wilder si pria tua bau tanah itu. Dirinya ingin menjadi manusia untuk sejenak. Walau manusia sudah menjadi mantan jenis makhluk dirinya.

Wilder tampak tak begitu peduli. Dia hanya ingin putranya berada dirumah, dengan dirinya ada dirumah. Bersama dengan dirinya di satu tempat yang sama. Entah perasaan apa itu. Hingga Wilder rasanya ingin selalu bersama sosok yang sekarang sudah berubah.

"Father tidak menerima bantahanmu, Kyle." Wilder bangkit dari duduknya tidak peduli tatapan permusuhan dari Kane. Dia lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan yang baru saja dibawakan oleh tangan kanannya, Shin. Tangan kanannya itu tampak menundukkan kepalanya hormat.

Ethan yang sedari tadi menonton mendekat ke sang adik. "Ayolah Kyle. Uncle hanya menyuruhmu untuk tidak keluar, bukan bekerja lebih keras lagi."

Kane mendengus kasar mendengar penuturan Ethan.

Uncle. Panggilan yang Ethan sematkan sedari ia diangkat menjadi putra pertama dan pewaris bisnis milik Wilder. Ethan terlalu ragu memanggil pria yang terlalu dingin itu dengan sebutan ayah. Pribadi Wilder terlalu dingin untuk disentuh. Itu juga yang membuat dirinya terheran, bagaimana bisa Clara dan Alina meluluhkan ayah angkatnya itu?

Tapi satu yang pasti. Wilder mempunyai rencana lain.

✧✧✧

𝕋𝕙𝕖 𝕃𝕖𝕟𝕟𝕠𝕩

✧✧✧
.

.

.

Disinilah Kane sekarang. Dengan hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana abu-abu selutut, Kane menatap tak minat layar lebar televisi yang sedang menampilkan sebuah film ternama. Ia sedikit melirik Shin, tangan kanan ayah Kyle yang sedari dari mengikuti dirinya kemanapun dirinya pergi. Seharusnya Shin mengekori Wilder sebagaimana jabatan pria itu.

"Hah ...." menghela nafas panjang, Kane menyenderkan punggungnya ke sofa. Sekarang sudah siang. Dirinya sudah makan siang. Ethan pergi bekerja. Wilder ada diruang kerjanya. Semua hal itu membuat Kane tambah merasa bosan. Dirinya ingin jalan-jalan dan makan es krim.

"Daddy ...!!!"

Sialan— suara cempreng itu mengganggu Kane yang masih Damai dengan kebosanannya. Itu Alina, terlihat gadis itu baru pulang dari luar. Sedikit menggelikan mendengar Wilder yang mau-mau saja dirinya dipanggil panggilan "Daddy" oleh gadis cempreng itu.

Alina menghampiri dirinya. Ia menatap polos, tapi tak lama gadis itu menyeringai.

"Tidak menghiraukan, huh?" Suaranya jadi lebih berat. Alina bersedekap tangan dan menatap rendah diri Kane. Si empu yang sedang ditatap sinis tidak peduli. Hanya menguap kecil karena masih merasa sangat bosan.

"Kau tambah sombong, Kyle." Alina menyeringai lebar. Kane melirik, Alina merencanakan sesuatu.

'Plak!

Mulai sudah rencana si Alina itu. Gad— wanita itu menampar keras pipi kirinya sampai membekas merah. Alina terduduk, lalu ia terisak seolah bahwa dirinya merupakan korban dari tamparan tadi. Kane memutar bola matanya jengah. Shin tampak tidak peduli dengan urusan keduanya. Dirinya hanya diperintahkan untuk mengawasi, tidak dengan ikut campur.

Sungguh anjing yang setia.

Lewatkan itu, Clara datang dari arah pintu utama mansion. Terlihat ibu dari Alina itu baru pulang dari acara berbelanja— dilihat dari tas-tas brand ternama yang dibawa olehnya— dan langsung menghampiri putri kesayangannya.

"Lina, ada apa?" Clara ikut terduduk dan menangkupkan wajah putrinya. Melihat bekas merah di pipi kirinya membuat Clara menyimpulkan sesuatu, apalagi setelah perkataan Alina yang membuat darahnya mendidih seketika.

"Ma-mama ... hiks, k-kakak menampar Lina dan ... hiks, bilang Lina itu a-anak pungut ... hiks ...." Dengan masih terisak, Alina berdusta. Membuat Kane rasanya ingin tertawa keras saja. Memang benar dugaannya, Alina adalah seorang ratu akting terbaik.

Clara menggeram. Ia dengan cepat berdiri lalu melangkah berat menuju Kane yang masih asik duduk di sofa panjang seraya menatap tak minat layar televisi.

'Plak!

Tamparan balik Clara layangkan pada Kane dengan sangat keras hingga membuat wajah Kane berpaling. Clara murka, membuat Kane melirik tajam padanya. Padahal, dari tadi dirinya hanya duduk anteng di sofa panjang. Tapi apa? Sebuah tamparan keras yang dirinya dapatkan.

"Dasar anak sialan!!! Berani sekali, kau menampar dan mengatai anakku?!" seru Clara murka.

Tak tahu dia, sudah membangunkan singa yang tertidur.

TBC ....

𝕋𝕙𝕖 𝕃𝕖𝕟𝕟𝕠𝕩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang