Lalisa merasa dirinya sangat penat, iapun melampiaskan rasa penat itu ke dalam buku, ia menulis sebuah lirik lagu dengan sangat serius, sambil sesekali dia mencoba membaca tulisannya itu dengan nada yang masih ia tebak-tebak.
Dia mencoba melupakan perasaan gelisahnya ketika dua hari yang lalu dia baru saha mengetahui bahwa Jennie rela mencelakai adiknya sendiri karena adiknya juga mengejar Lalisa dan menyukai Lalisa, Lalisa berpikir bahwa hal itu benar-benar gila, terlebih lagi, dia mengetahui itu dari mulut Jennie sendiri.
Setelah mendengar perkataan Jennie, Lalisa enggan untuk bicara, dia sangat marah, jelas itu, lagi-lagi, sikap Jennie sungguh di luar dugaan, dan saat itu Lalisa memilih untuk memasuki kamarnya dan meninggalkan Jennie di ruang makan sampai dua hari lamanya mencoba menghindari Jennie, meski kenyataannya, hal yang Jennie katakan itu mengganggu pikirannya.
"Argh! Tuhan! Why? Mengapa harus aku?" Lalisa menggerutu sambil membanting pensilnya ke atas meja yang berada di balkon.
Dia mencoba menggelengkan kepalanya, melupakan segala ucapan Jennie, namun, dia tidak bisa, hingga akhirnya wanita itu memilih untuk menutup bukunya dan beranjak dari kursinya, dia melangkah menuju pintu kamarnya, setelah dia membuka knop pintunya, bertepatan pada saat itu juga ternyata Jennie sudah berdiri di depan kamar Lalisa.
Lalisa berdeham dan mencoba untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sejak kapan kau berdiri di depan kamarku?" Tanya Lalisa dingin.
Jennie menghela napas. "Lalisa, kita harus bicara."
"Apa lagi kali ini, Jennie? Aku sudah muak mendengar kejujuranmu, kau wanita paling kejam yang pernah kukenal." Kata Lalisa yang akhirnya memberanikan diri menatap kedua mata Jennie. "Sekarang, aku hanya minta agar kau membiarkan ponselku menyala, Jennie." Sambungnya.
Jennie mendengus, dia menggelengkan kepalanya. "Kau masih belum sadar? Aku membuat Ahyeon celaka karena dia sudah mengancammu, Lalisa!"
"Tetapi, dia adikmu, Jennie! Dia adik kandungmu!" Teriak Lalisa tidak terima, keduanya saling menatap kesal dan dada dari keduanya naik turun dengan cepat.
Rahang Jennie mengatup dan Lalisa melakukan hal yang sama, namun, sedetik kemudian Jennie membuang pandangannya. "Tetapi, dia sudah mengambil kasih sayang appa, eomma dariku dan sekarang, dia berusaha mengambil dirimu dari diriku, apakah menurutmu hal itu benar, Lalisa?"
Lalisa terdiam, tatapan marahnya seketika meredup mendengar suara Jennie sudah bergetar, setelah itu dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menyukainya, Jennie. Dia sudah seperti adikku sendiri."
Jennie tertawa sarkas, kedua alisnya terangkat. "Seorang adik yang kau tiduri itu?" Sarkasnya.
Lalisa menarik napasnya dalam-dalam. "Sungguh, malam itu, aku tidak tahu apapun, aku hanya menemaninya minum, lalu aku terbangun di sebuah kamar hotel, aku yakin, aku tidak melakukan apapun padanya, karena aku yakin aku masih bisa mengendalikan diriku di saat aku mabuk, Jennie." Jelasnya yang membuat Jennie kini beralih menatap Lalisa.
"Are you sure?"
Lalisa mengangguk cepat. "Ya, aku yakin, aku sangat yakin, maka dari itu aku tidak ingin mengakui padanya bahwa aku pernah menidurinya, aku bukan seorang pecundang yang lari dari tanggung jawab begitu saja, aku melakukan semua ini karena aku memang tidak merasa bahwa aku melakukan apa yang adikmu tuduhkan." Ungkap Lalisa dan Jennie mengerang.
"Sialan! Sepertinya, dia menjebakmu, Lalisa! Kalau begitu, tindakanku sudah benar, bukan?" Ucapnya dan Lalisa menggeleng.
"Tidak, semuanya tetap tidak benar, tidak seharusnya kau menyakiti adikmu sendiri, kau harus datang ke Korea untuk melihat kondisinya, Jennie. Bagaimanapun, dia adikmu." Gumam Lalisa lembut mencoba untuk membujuk Jennie.