Sore ini, cuaca di Paris cukup gelap, suara gemuruh di langit juga sudah terdengar yang menandakan akan turun hujan.
Lalisa yang sedang berdiri di sebuah balkon dengan kedua tangan yang bertumpu di atas batas besi itu menatap ke arah langit dengan tatapan putus asanya, tentu saja dia memikirkan hari esok, bagaimana jika pernikahannya dengan Jennie terjadi?
Bukankah pernikahan adalah suatu hal yang suci dan sakral? Maka seharusnya, pernikahan harus benar-benar di pikirkan dan di rencanakan matang-matang oleh kedua belah pihak, dan seharusnya juga, pernikahan di jalani oleh kedua pasangan yang saling mencintai, tanpa paksaan apapun di dalamnya, bukan?
Jadi, tidak salah jika Lalisa sekarang sangat memikirkannya, memikirkan bagaimana nasib ke depannya, kali ini dia menatap kebawah, bibirnya terlihat bergerak, terdengar hitungan angka, yang mungkin dia tengah mengitung di lantai berapa ia sedang berdiri sekarang, dia mendesah pelan setelahnya. "F...uck, bahkan aku tidak dapat menghitungnya, tinggi sekali, well.. sangat tidak mungkin aku bisa keluar dari balkon ini, bukan?" Kekehnya sendiri.
Remasan tangan seseorang secara tiba-tiba di bahu kanannya membuat Lalisa cukup terkejut, dia bahkan segera memegang dadanya dan membalik tubuhnya. "Presetan, Jennie. Mengapa tidak mengetuk pintu dahulu?" Ucap Lalisa kesal.
Jennie tersenyum, dia mendekati batas pagar balkon itu lalu melihat kebawah. "Lantai enam puluh sembilan, kita berada di lantai enam puluh sembilan, jadi, menurutmu.. bagaimana jika kau meloncat kebawah?"
"Kepalamu hancurkah, otakmu bercecerankah, atau mungkin.. hanya akan patah tulang, kau ingin mencobanya?" Lanjutnya sambil terkekeh.
Lalisa mendengus sebal dan membuang pandangannya ke arah lain, sepertinya Jennie mendengar ucapannya sendiri barusan, dia akhirnya tidak mengatakan apapun.
Untuk beberapa menit lamanya, kedua wanita yang terpaut usia satu tahun itu hanya terdiam, dan rintik hujan mulai terlihat turun membasahi kota Paris. "Kamu tahu rasanya tidak di inginkan, Lalisa?" Terdengar ada suara yang berat yang mungkin sudah tertahan di dada Jennie sejak tadi yang akhirnya ia keluarkan.
Sekilas, Lalisa menatap Jennie yang sedang berdiri di sebelahnya, meski ia hanya dapat melihat wajah Jennie dari samping karena Jennie sedang menatap lurus ke depan, namun, Lalisa tahu bahwa raut wajah wanita di sampingnya itu sedang dalam tidak keadaan baik-baik saja, satu tangan Lalisa bergerak, hendak menyentuh punggung Jennie, namun, dia memilih untuk mengurungkan niatnya. "Pernah, jangan berpikir, bahwa hanya hidupmu yang berantakan, Jennie. Apa kamu tahu, bagaimana tentang perjalananku bisa sampai di titik ini menjadi seorang penyanyi?"
Kali ini, Jennie menatap ke arah Lalisa, kedua mata itu berhasil pertemukan, tatapan mereka seolah saling tarik-menarik, ada hal yang memang Lalisa harus tahu, bahwa Jennie hanya butuh kasih sayang, sementara Lalisa, ia butuh seseorang yang mendukungnya, karena sejauh ini, kedua orang tuanya bahkan tidak menginginkan ia menjadi seorang penyanyi, bukan. Bukan itu yang mereka inginkan. "Aku sudah mengetahui banyak tentangmu, aku bahkan tahu perjalananmu saat mengikuti audisi untuk pertama kalinya."
Lalisa menertawakan ucapan Jennie. "Tentang orang tuaku, apa kamu sudah mengetahuinya?"
Tenggorokan Jennie mulai melambat, pertanyaan Lalisa sangat benar, memang dari sekian banyaknya yang Jennie ketahui tentang Lalisa, namun, sampai saat ini ia tidak tahu tentang keluarga Lalisa, orang tua Lalisa, yang ia tahu, Lalisa hanya berasal dari Thailand, namun, dia tidak tahu pasti tentang keluarga Lalisa, karena ia menutupnya rapat-rapat dari media, bahkan para penggemarnya juga tidak dapat mencaritahu tentang hal itu, Lalisa paling pandai menutupi soal keluarganya itu, kehidupan pribadinya itu benar-benar privasi.