Jisoo menggigit bibir bawahnya, ia berdiri di depan ruang kerja milik ayahnya yang terletak di belakang rumahnya, dia akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. "Masuk." Suara ayahnya terdengar dari dalam.
Jisoo memasuki ruang kerja ayahnya itu, setelah pertengkaran yang terjadi pada ayahnya dan juga Jennie satu jam yang lalu, kini, ayahnya terlihat sedang berkutat dengan pekerjaannya di atas meja kerjanya. "Appa...."
"Sayang, jika kau datang hanya ingin membicarakan adikmu yang sakit itu, pergilah, aku sedang sibuk." Kata ayahnya tanpa menatap wajah Jisoo.
Jisoo menghela napas, dia berjalan melangkah ke arah ayahnya, lalu meletakan kedua tangannya di bahu sang ayah dan perlahan memijatnya dengan lembut. "Appa, apa kau mengingat saat, aku, Jennie dan kau, melakukan perjalanan ke pulau Jeju?"
"Dan, disana, eomma sedang mengandung Ahyeon." Gumam Jisoo sambil memijat lembut kedua bahu ayahnya itu.
Ayahnya tetap berkonsentrasi pada kerjaannya. "Tidak, aku lupa." Jawabnya dingin.
Jisoo tersenyum. "Saat itu, eomma yang meminta pergi ke pulau Jeju, tetapi.. saat itu juga, kondisi keunganmu belum stabil, perusahaanmu masih di ambang kebangkrutan....,"
"Jisoo-yaa, aku tidak ingin membahasnya." Potong ayahnya.
Jisoo mengehelakan napasnya, tangannya tetap memijat bahu ayahnya dengan lembut. "Dan, kau mengatakan, kita bisa pergi, namun, untuk memesan kamar hotel disana tidak bisa, dan kau menyarankan agar kita menggunakan tenda di tepi pantai, bukan?" Jisoo tetap melanjutkan perkataannya.
"Lalu, aku menangis menolak, aku bilang, aku tidak terbiasa tidur di dalam tenda kecil, aku juga takut serangga! Apa lagi, hewan di dalam pasir! dan punggungku juga akan sakit, kau kecewa mendengarnya, aku tahu itu, dan aku berlari masuk ke kamarku, namun, beberapa menit berlalu dan aku keluar dengan keputusan yang berbeda, aku menerimanya, 'kan? Apa kau tidak penasaran, mengapa aku merubah keputusanku?" Sambungnya.
Ayahnya terdiam sejenak, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dan aku tidak ingin tahu."
"Semua itu karena Jennie, dia mengatakan bahwa sebagai anak, kita harus bisa menuruti kata orang tua, 'eomma sedang mengandung, bagaimana jika itu keinginan adik kita? Dan, sebagai appa, bukankah kasihan jika appa tidak bisa menuruti kemauan eomma? Dimanapun kita tidur nanti, yang terpenting, kita bisa bersama-sama dengan keluarga, dan tidak perlu khawatir, appa pasti menjaga kita dari serangga atau hewan pasir, dia juga akan menjaga punggung kita agar tidak sakit, percaya saja eonnie bahwa appa akan sangat menjaga kita.' Begitulah yang dia ucapkan padaku."
"Jisoo-yaa...,"
"Dia bahkan sangat yakin, bahwa kau akan menjaganya, seyakin itu, jika dia memiliki appa yang pasti akan menjaganya." Kata Jisoo lagi.
Ayahnya terdiam, pria paruh baya itu akhirnya melepaskan kacamata yang dia kenakan, lalu.. dia beranjak dari kursi putarnya dan melangkah menuju lemari es yang berada di dalam ruangan tersebut, dia tidak mengucapkan apapun, mengambil gelas serta menuangkan air putih ke dalamnya dan meneguknya hingga habis. "Kembali ke intinya saja, jadi, apa yang ingin kau katakan? Memaafkan Jennie atas yang sudah dia lakukan pada Ahyeon?" Gumamnya dengan suara berat ketika dia sudah selesai minum.
Jisoo menggeleng. "Tentu saja, tidak. Untuk hal itu, aku menyerahkan semuanya padamu yang berhak memberinya hukuman, tetapi.. kau harus lihat bahwa yang melakukannya juga putrimu, korban maupun pelakunya adalah putrimu, jangan membedakan keduanya, aku ingin kau melihat Jennie sebagai putrimu, appa. Hanya itu." Kata Jisoo menyahutinya.
Ayahnya mendengus. "Dia sudah melakukan hal yang fatal, Ahyeon adalah adiknya sendiri."
"Tetapi, Ahyeon tidak pernah menghargai Jennie seperti ia menghargaiku, appa." Sambar Jisoo.