"Lalisa, dia mencarimu." Gumam Jisoo, dia baru saja keluar dari ruang UGD, dokter baru saja memberitahu bahwa Jennie sudah siuman, dan yang berhak memasuki ruangan itu lebih dahulu adalah Jisoo, sebagai kakak kandungnya.
Lalisa mengangguk setelah mendengar ucapan Jisoo, dia segera memasuki ruangan itu dan Jisoo menunggu di luar, membiarkan mereka untuk saling bicara satu sama lain, Lalisa memasuki ruangan itu, bersyukur bahwa ruangan UGD itu sedang tidak dalam kondisi yang ramai, itu berarti mereka berdua bisa bicara dalam keadaan yang tenang. "Hai." Jennie bergumam dengan suara yang lemah bahkan juga wajahnya yang terlihat pucat, dia juga tak melupakan untuk tetap memberi senyuman kepada Lalisa.
Meski keadaan Jennie belum sepenuhnya baik, tetapi, dia tetap berusaha untuk menyapa Lalisa dengan wajah cerianya, itulah Jennie.
Dia tidak pernah berbohong untuk permasalahan hatinya.
Dia sangat mencintai Lalisa.
"Sudah lebih baik?" Tanya Lalisa lembut.
Jennie mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya, karena sudah melihatmu." Gumamnya, Lalisa terkekeh pelan, kepalanya menggeleng, dia tidak dapat menyembunyikan raut wajah cemas yang di campur dengan tersanjung karena mendengar Jennie mengatakan hal itu, di tambah lagi, Jennie sungguh menatapnya dengan tatapan yang berbinar-binar.
Lalisa menyentuh dahi Jennie, mengelus dahi Jennie lembut menggunakan ibu jarinya. "Jangan membuatku khawatir lagi, jangan lakukan apapun yang membahayakanmu, kau harus terus hidup, Jennie." Kata Lalisa dengan menatap kedua mata Jennie lekat.
Jennie memejamkan kedua matanya sejenak, menikmati usapan tangan Lalisa di dahinya, beberapa detik dia membuka kedua matanya lagi, dia menarik tangan Lalisa lalu mengenggamnya dengan erat, sentuhan tangan yang sangat dingin membuat Lalisa memasang raut wajah semakin cemas. "Mengapa aku harus terus hidup? Dan, kenapa kau khawatir padaku, Lalisa?" Tanyanya dengan suara serak, dia mengenggam erat tangan Lalisa.
Lalisa menghela napasnya, dia menarik kursi dan duduk di sebelah Jennie, dia menarik lembut tangan Jennie yang tengah mengenggamnya, dia mengusap punggung tangan Jennie menggunakan ibu jarinya. "Karena aku membutuhkanmu."
"Kau, mencintaiku?" Tanya Jennie.
Pertanyaan itu membuat Lalisa bungkam, dia menatap Jennie dengan tatapan yang sungguh dalam, bahkan kedua mata coklat Lalisa berubah menjadi gelap, tidak mengucapkan kata apapun, Lalisa terlihat semakin mencodongkan tubuhnya, dia mendaratkan bibirnya dengan sempurna di atas bibir Jennie.
Lembut, mereka saling melumat hanya untuk beberapa detik lamanya, dan setelah itu mereka saling melepas diri mereka masing-masing. "Aku membutuhkanmu, aku menginginkan kau untuk terus hidup, jika kau berpikir tidak ada tujuanmu untuk hidup, hanya pikirkan ucapanku ini, Jennie." Kata Lalisa dengan suara deep nya.
Jennie terdiam, sorot matanya tiba-tiba meredup, ada kebahagiaan di dalam sana yang hanya bisa ia isyaratkan melalui tatapannya, kebahagiaan itu sangat besar hingga mulutnya tidak sanggup untuk mengatakannya.
Keduanya hanya diam untuk saling menatap satu sama lain, Lalisa menyentuh bibir Jennie, menghapus jejak saliva miliknya yang masih tertinggal. "Aku akan tetap hidup untukmu."
Lalisa tersenyum mendengar ucapan Jennie, dia segera memeluk Jennie yang masih berbaring di ranjang rumah sakitnya, Jennie ikut tersenyum, satu tangannya mengelus punggung Lalisa, keduanya hanya sibuk berpelukan untuk saling menyalurkan perasaan yang sedang mereka rasakan.
"Jadi, kau, mencintaiku?" Tanya Jennie lagi setelah pelukan itu terlepas.
"Jika ada orang yang mengatakan tidak ada yang lebih tinggi dari rasa mencintai, menurutku semuanya salah, Jennie. Rasaku bahkan sudah berada di titik paling tinggi dari pada sekedar mencintaimu, yaitu aku ingin melihatmu untuk terus hidup." Katanya dengan sungguh-sungguh.