DARYANTA

35 32 3
                                    

Bersama

Setiap pagi, suara motor Daryanta terdengar di depan rumah Alika, diikuti oleh ketukan lembut di pintu. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Alika menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Dia tahu apa yang menunggunya.

"Pagi, Alika," sapa Daryanta sambil melepas helmnya. "Ayo, kita berangkat."

Alika menatap Daryanta dengan ragu. Sejak orang tuanya meminta Daryanta untuk menjemput dan mengantarnya pulang setiap hari, hubungan mereka terasa semakin kaku. Alika sudah pernah mencoba menolak tawaran itu beberapa kali, tapi tak pernah berhasil. Setiap kali dia menolak, Bunda atau Omanya muncul dan mengingatkan betapa baiknya Daryanta melakukan ini untuknya.

"Alika, kamu tidak bisa menolak," kata Bunda saat mereka berbicara di ruang tamu sebelumnya. "Daryanta itu sudah berusaha keras untuk menjagamu. Tidak baik kalau kamu menolaknya terus-menerus."

Oma Alika pun selalu ikut menambahkan, "Lagian, kalian kan sudah dekat sejak kecil. Apa salahnya menerima bantuan dari dia?"

Dan begitulah, hari demi hari, Alika terpaksa menurut.

Alika akhirnya mengangguk dengan lesu. "Baiklah. Ayo kita berangkat."

Daryanta, meski menyadari bahwa Alika melakukannya dengan terpaksa, tetap tersenyum. Dia tidak ingin membuat suasana semakin canggung. Setelah Alika memasang helmnya, mereka pun meluncur pergi, motor Daryanta membawa mereka melewati jalan-jalan kota menuju sekolah.

Selama perjalanan, keduanya jarang berbicara. Alika memilih untuk menatap jalanan yang dilalui, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan perasaan canggung yang melingkupi mereka. Di sisi lain, Daryanta berusaha membuat suasana lebih nyaman, tetapi dia tahu bahwa Alika masih menjaga jarak.

Di sekolah, mereka segera berpisah tanpa banyak bicara. Alika masuk ke kelasnya, dan Daryanta ke kelasnya sendiri. Meski setiap pagi mereka berangkat bersama, hubungan mereka tetap terasa dingin dan asing.

Namun, sore itu, saat Daryanta menjemput Alika untuk pulang, terjadi sesuatu yang tidak terduga.

Saat mereka hendak meninggalkan sekolah, tiba-tiba langit mendung berubah menjadi hujan lebat. Alika, yang tidak membawa payung, merasa ragu untuk naik motor dalam kondisi seperti ini. Tapi melihat Daryanta sudah menyiapkan jas hujan untuknya, dia merasa tak punya pilihan lain.

"Jas hujan untukmu," kata Daryanta, menyodorkannya dengan hati-hati.

Alika menghela napas. Dia tidak ingin menyulitkan dirinya lebih jauh dengan menolak lagi. "Terima kasih," ucapnya pelan.

Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan yang hanya diiringi suara derasnya hujan. Sesekali, Daryanta mencuri pandang ke belakang, memastikan Alika baik-baik saja di kursi belakang motornya.

Sesampainya di rumah, Bunda dan Oma Alika sudah menunggu di ruang tamu.

"Bagaimana perjalanan kalian hari ini?" tanya Bunda sambil tersenyum.

"Baik, Bu. Hujan sih, tapi tidak masalah," jawab Alika singkat.

Bunda memandang Daryanta dengan penuh terima kasih. "Terima kasih ya, Daryanta, sudah selalu menjaga Alika."

Daryanta hanya tersenyum, meski dalam hatinya dia tahu bahwa Alika masih butuh waktu. Dia tidak ingin memaksa atau mempercepat apa pun. "Sama-sama, Tante. Aku senang bisa membantu."

Oma yang duduk di sebelah Bunda mengangguk setuju. "Daryanta memang anak yang baik. Alika, kamu harus lebih menghargainya, ya?"

Alika hanya tersenyum tipis sebelum pergi ke kamarnya. Di balik pintu, dia merasa beban yang terus mengikutinya semakin berat. Meski dia tahu orang tuanya dan keluarga Daryanta bermaksud baik, tapi dia masih merasa sulit menerima semua ini. Bagaimana dia bisa bersikap biasa jika setiap hari harus berinteraksi dengan seseorang yang dulu pernah begitu dekat, tapi sekarang terasa seperti orang asing?

Sementara itu, Daryanta tetap sabar. Dia tahu bahwa butuh waktu untuk semuanya berubah. Tapi dia juga menyadari bahwa dia harus berhati-hati agar tidak memaksakan hubungan yang mungkin belum siap untuk diterima Alika.

Malam itu, setelah Alika sampai di kamarnya, dia berbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit. Suara hujan di luar masih terdengar, menambah suasana hatinya yang sudah suram. Meski dia tahu Daryanta adalah orang baik, dia tetap tidak bisa mengabaikan perasaan canggung dan terpaksa yang selalu muncul setiap kali mereka bersama. Dia merasa terjebak di antara harapan keluarganya dan keinginannya sendiri.

Di sisi lain, Daryanta pun tak bisa tenang. Setelah menjemput dan mengantar Alika setiap hari selama berminggu-minggu, dia mulai merasakan tekanan yang sama. Dia ingin membantu, ingin menjaga Alika, tetapi dia juga sadar bahwa apa yang mereka lakukan sekarang hanya membuat mereka berdua semakin jauh. Sore tadi, senyuman Alika yang tipis dan ucapan terima kasihnya yang datar hanya menambah rasa frustasi Daryanta. Seolah ada dinding besar di antara mereka, meski fisik mereka begitu dekat.

Keesokan harinya, seperti biasa, Daryanta menunggu di depan rumah Alika. Kali ini, ketika Alika keluar, ada sedikit keraguan di wajahnya.

"Daryanta, aku...," ucap Alika sambil berdiri di depan pintu. Dia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi jelas ada sesuatu yang ingin dia katakan.

"Ya? Ada apa, Alika?" tanya Daryanta, berharap ini bukan tentang dia menolak dijemput lagi. Dia merasa jika Alika menolak lagi, itu akan menjadi tanda bahwa segalanya semakin memburuk.

"Aku... hanya ingin bilang... makasih ya. Aku tahu ini pasti berat buat kamu juga," kata Alika akhirnya, suaranya pelan dan terkesan ragu.

Daryanta sedikit terkejut, tapi dia dengan cepat menyembunyikan perasaan itu. "Oh, tidak masalah. Aku memang ingin membantu. Itu bukan beban buatku."

"Tapi aku tahu kamu pasti merasa canggung juga. Kita hampir seperti orang asing sekarang... setelah sekian lama nggak ketemu," Alika menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku juga nggak suka situasi ini, tapi... aku nggak tahu harus gimana."

Kata-kata Alika membuat Daryanta sedikit lega. Setidaknya, dia tahu bahwa Alika juga merasakan hal yang sama. "Iya, aku paham, Alika. Aku juga merasa begitu. Dulu kita dekat, tapi sekarang semuanya terasa aneh. Tapi, aku nggak mau kamu merasa terpaksa."

Alika mengangguk pelan, lalu akhirnya mendekati motor Daryanta dan memasang helmnya. Mereka kembali melaju ke sekolah tanpa banyak bicara, tapi kali ini ada perasaan sedikit berbeda. Meski hubungan mereka tetap terasa kaku, setidaknya ada sedikit keterbukaan di antara mereka.

Di sekolah, meskipun mereka tidak duduk berdekatan atau berbicara satu sama lain selama pelajaran, Daryanta merasakan ada perubahan kecil. Alika tampak sedikit lebih tenang, dan meskipun masih ada jarak di antara mereka, dia merasa tidak seasing sebelumnya.

Sepulang sekolah, Daryanta kembali menjemput Alika. Kali ini, dia mencoba untuk memulai percakapan di perjalanan pulang.

"Alika, kita mungkin bisa mulai dari awal lagi. Maksudku, nggak harus seperti dulu, tapi mungkin kita bisa pelan-pelan membangun hubungan baru."

Alika menatap ke depan, merenung sesaat sebelum menjawab. "Aku juga pengen begitu, Daryanta. Tapi aku butuh waktu. Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan semua ini."

Daryanta mengangguk. "Aku paham. Aku nggak akan memaksamu."

Ketika mereka tiba di rumah, Alika turun dari motor dan tersenyum sedikit lebih tulus kali ini. "Makasih, Daryanta. Aku hargai usaha kamu."

"Selalu untuk kamu," jawab Daryanta dengan senyum tipis.

Malam itu, Alika kembali ke kamarnya, merasa sedikit lebih ringan. Meskipun dia masih bingung dengan perasaannya, setidaknya dia tahu bahwa Daryanta bukan musuh. Mungkin, perlahan-lahan, mereka bisa menemukan kembali ikatan yang dulu pernah mereka miliki atau setidaknya sesuatu yang baru, yang bisa mereka bangun bersama, tanpa tekanan perjodohan.

DARYANTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang