DARYANTA

40 34 3
                                    

RUMAH ALIKA

Suasana di rumah Alika terasa hangat dan akrab. Aroma masakan dari dapur menguar memenuhi ruangan, dan suara tawa nenek Alika, yang akrab disapa Oma, bisa terdengar dari ruang tamu. Hari itu, Daryantara diundang untuk datang ke rumah Alika. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar bersilaturahmi, tetapi juga untuk membahas perjodohan yang sebelumnya telah menghangatkan suasana di kafe.

Daryantara memasuki rumah dan disambut oleh Oma Alika yang sedang duduk di kursi goyang. "Daryan! Sudah lama kita tidak bertemu. Mari, duduk di sini," katanya dengan senyuman lebar. Daryantara menghampiri Oma dan mencium tangan tua itu.

"Selamat sore, Oma. Apa kabar?" tanyanya dengan sopan.

"Oma baik-baik saja, terima kasih. Bagaimana dengan kamu? Sudah besar sekarang," jawabnya, matanya bersinar bangga.

Alika muncul dari dapur dengan membawa sepiring kue. "Kue untuk kalian berdua! Ini resep khas Oma," katanya sambil tersenyum. Daryantara merasa suasana semakin hangat dengan kehadiran Alika.

Setelah mereka semua duduk, pembicaraan mulai mengalir ke arah yang lebih serius. Oma Alika, dengan tatapan penuh kasih, bertanya, "Jadi, bagaimana pendapat kalian tentang perjodohan ini? Kami sudah membicarakannya sebelumnya, dan kami merasa itu akan menjadi hal yang baik."

Alika, yang merasa sedikit tegang, menjawab, "Oma, aku menghargai semua perhatian dan kasih sayang yang diberikan, tapi kami sebenarnya ingin mengenal satu sama lain lebih baik tanpa tekanan dari perjodohan."

Daryantara mengangguk setuju. "Betul, Oma. Kami sudah lama tidak bertemu dan sekarang kami ingin berusaha menemukan hubungan yang lebih sesuai dengan keinginan kami sendiri."

Oma Alika tampak berpikir sejenak, lalu ia tersenyum. "Ah, saya mengerti. Kalian berdua masih muda. Tapi ingatlah, kami sebagai orang tua hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Terkadang, perjodohan bisa menjadi cara yang baik untuk mempererat hubungan."

Oma Daryanta, yang sudah duduk di sudut ruangan, ikut menambahkan. "Ya, sebetulnya kami juga tidak ingin memaksakan. Namun, kami percaya bahwa cinta itu bisa tumbuh dari sebuah fondasi yang kuat. Sejak kecil, kalian sudah memiliki dasar itu."

Daryantara merasa sedikit tertekan dengan pernyataan itu. Ia tidak ingin mengulang masa lalu yang penuh permainan tunangan yang dibuat oleh orang dewasa. "Tapi, Oma, cinta tidak bisa dipaksakan. Kami ingin membangun hubungan ini dengan cara kami sendiri."

Oma Daryanta mengangguk, tampaknya memahami. "Saya setuju. Terkadang, anak-anak muda perlu waktu untuk menemukan jalan mereka sendiri. Kami hanya ingin memberi dukungan. Mungkin, jika kalian saling mengenal dengan baik, sesuatu yang lebih bisa tumbuh dari situ."

Alika tersenyum, merasa lebih lega mendengar respons dari kedua nenek mereka. "Kami berjanji untuk saling mengenal. Tapi itu bukan berarti kami harus terikat dalam perjodohan sekarang."

Daryantara menambahkan, "Kami hanya ingin menjalani kehidupan remaja kami dengan cara yang kami pilih. Jika ada jodoh, biarkan itu terjadi dengan sendirinya."

Oma Alika dan Oma Daryanta saling bertukar pandang, kemudian tersenyum. "Baiklah, kalau begitu. Kami akan menghormati keputusan kalian," kata Oma Alika. "Tapi, kami harap kalian tetap bisa bertemu dan berkomunikasi. Mungkin, suatu hari nanti, kalian akan menemukan bahwa perasaan itu bisa tumbuh."

Daryantara dan Alika saling memandang. Mungkin, ada kebenaran dalam kata-kata nenek-nenek mereka. Mungkin mereka bisa memulai sebuah perjalanan baru, tanpa beban perjodohan yang dipaksakan.

Dengan suasana yang lebih santai, mereka mulai bercerita tentang masa kecil mereka. Alika menceritakan bagaimana mereka sering bermain bersama di taman, dan Daryantara mengingat saat-saat lucu ketika mereka bermain petak umpet. Suasana tawa dan nostalgia membuat mereka merasa lebih dekat satu sama lain.

DARYANTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang