Taman dan es krim
Sore itu, setelah hari yang cukup panjang di sekolah, Daryanta dan Alika memutuskan untuk berhenti di sebuah taman es krim yang tidak jauh dari sekolah. Tempat itu adalah favorit banyak siswa-taman yang penuh warna dengan bangku-bangku kecil yang tersebar di bawah rindangnya pepohonan, dan sebuah kios es krim di sudut yang selalu ramai.
Daryanta membeli dua cone es krim dan menyerahkan satu kepada Alika. Mereka kemudian duduk di bangku kayu di dekat air mancur kecil, suara gemericiknya menjadi latar belakang yang menenangkan.
"Terima kasih," ucap Alika sambil menerima es krim itu. Meski suasana di taman tampak ceria, hati mereka berdua tetap dipenuhi perasaan campur aduk.
Mereka makan es krim dalam diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Daryanta memberanikan diri untuk membuka topik yang lebih serius.
"Alika, aku rasa kita harus membicarakan ini," ucap Daryanta, memecah keheningan.
Alika menoleh dengan sedikit bingung. "Bicara apa?"
"Soal... tunangan yang pernah kita mainkan dulu. Dan soal aku yang selalu menjemput dan mengantarmu pulang," jawab Daryanta pelan, berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar terlalu memaksa.
Alika menggigit bibirnya, sedikit gelisah. Dia tahu topik ini pada akhirnya harus muncul. "Daryanta, aku tahu kita dekat saat kecil, dan orang tua kita punya rencana untuk kita... tapi jujur saja, aku nggak siap dengan semua ini. Rasanya aneh."
"Aku juga merasa aneh, Alika," jawab Daryanta, menatap es krimnya yang mulai meleleh. "Aku nggak pernah berpikir kalau apa yang kita anggap sebagai permainan saat kecil akan dibawa seolah-olah itu sesuatu yang nyata sekarang."
Alika mengangguk pelan. "Tepat. Waktu kecil, kita nggak tahu apa-apa. Aku nggak pernah membayangkan bahwa orang tua kita benar-benar serius tentang itu."
Daryanta menghela napas panjang, lalu menatap Alika dengan tatapan serius. "Aku nggak mau memaksamu, Alika. Tapi aku juga nggak bisa bilang kalau aku menolak semua ini sepenuhnya. Aku hanya ingin kita jujur tentang perasaan kita. Kalau kamu nggak mau, aku akan bicara ke orang tuaku."
Alika terdiam sesaat, lalu menatap lurus ke depan. "Aku juga nggak mau membuatmu terjebak dalam situasi yang nggak kamu mau, Daryanta. Tapi masalahnya... orang tua kita kelihatan sangat berharap pada kita. Apalagi Oma dan Bunda. Mereka seperti sudah memutuskan sejak dulu."
Daryanta mengangguk. "Aku tahu, dan itu yang bikin situasi ini semakin sulit. Apalagi sekarang aku harus menjemput dan mengantarmu pulang setiap hari. Aku takut kita malah semakin terjebak dalam sesuatu yang sebenarnya kita berdua nggak nyaman."
Alika menarik napas dalam-dalam. "Tapi aku juga nggak bisa menolak permintaan Bunda dan Oma. Mereka terus memaksaku untuk menerima bantuanmu. Aku tahu mereka bermaksud baik, tapi aku merasa nggak punya kebebasan."
"Kalau begitu, kita harus cari jalan tengah," kata Daryanta dengan suara lembut. "Mungkin kita bisa bicarakan ini sama-sama ke orang tua kita. Mereka harus tahu bahwa kita bukan lagi anak kecil yang bisa begitu saja dipaksa menjalani rencana mereka."
Alika menatap Daryanta, terkejut oleh usul itu. "Kamu yakin mereka mau dengar?"
Daryanta tersenyum tipis. "Aku nggak tahu, tapi kita harus coba. Aku nggak mau hubungan kita jadi rusak hanya karena perjodohan ini. Kalau kita memang ditakdirkan bersama, biarlah itu terjadi dengan sendirinya. Bukan karena tekanan."
Alika tersenyum sedikit mendengar ucapan Daryanta. "Kamu benar. Mungkin kita bisa bicara dengan mereka, tapi kita harus lakukan ini dengan hati-hati. Oma pasti nggak akan mudah menerima."
KAMU SEDANG MEMBACA
DARYANTA (END)
Roman pour AdolescentsAlika Ismadina yang selalu ada di sisinya sejak mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Keduanya memiliki ikatan persahabatan yang kuat, meskipun karakter mereka berbeda. Daryantara, yang lebih tenang dan bijaksana, sering kali menjadi pelind...