Jalan-Jalan di Braga
Akhir pekan tiba, dan Alika serta Daryanta memutuskan untuk jalan-jalan bersama di kawasan Braga, Bandung. Tempat yang dipenuhi oleh nuansa klasik dan deretan kafe serta toko-toko antik ini menarik perhatian mereka sejak lama. Mereka sudah merencanakan jalan-jalan ini beberapa waktu lalu, tetapi akhirnya baru bisa terealisasi hari ini.
Mereka berjalan beriringan di sepanjang trotoar Braga, menikmati suasana yang berbeda dari hiruk-pikuk sekolah dan rumah. Daryanta berjalan di sebelah Alika, yang matanya berbinar melihat berbagai toko unik di sepanjang jalan.
“Daryanta, lihat deh! Toko ini jual barang-barang vintage, lucu banget,” kata Alika sambil menunjuk sebuah toko kecil dengan etalase penuh pernak-pernik lawas.
Daryanta mengangguk. “Ayo, kita masuk. Siapa tahu ada sesuatu yang menarik.”
Di dalam toko, mereka melihat berbagai barang seperti kamera analog, kaset-kaset lama, dan bahkan mesin tik. Alika tertarik pada sebuah cincin perak antik dengan ukiran yang elegan.
“Cantik banget ya,” gumam Alika sambil memandangi cincin itu.
Daryanta tersenyum. “Ingat nggak dulu kita pernah main tunangan pakai cincin plastik? Sekarang bisa dibilang, kita sudah lebih dewasa, tapi tetap saja kenangan itu masih terasa segar.”
Alika tersipu, mencoba menghindari kontak mata dengan Daryanta. "Ah, itu kan cuma mainan masa kecil."
Mereka melanjutkan perjalanan keluar toko dan menuju ke arah kafe yang mereka sepakati untuk mampir. Sesampainya di sana, mereka memilih tempat di pinggir jendela yang menghadap ke jalanan Braga yang ramai. Setelah memesan es kopi dan cake, mereka berbincang tentang berbagai hal, dari kenangan masa kecil hingga impian masa depan.
“Daryanta, kamu pernah kepikiran nggak, kenapa keluarga kita dulu sempat bercanda soal kita tunangan?” Alika bertanya, matanya menerawang ke luar jendela.
Daryanta terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin karena orang tua kita dekat sejak dulu, dan mereka ingin kita dekat juga. Tapi sekarang, mereka lebih serius soal itu, ya?”
Alika tersenyum kecil. “Iya, kadang aku mikir, kenapa harus dijodohkan? Apa nggak lebih baik kalau kita berteman saja?”
Daryanta mengangguk. “Aku juga nggak mau kamu merasa terpaksa. Kita bisa jalani apa adanya, nggak perlu dibawa serius seperti mereka bilang.”
Percakapan mereka terus mengalir, membuat waktu seakan berlalu dengan cepat. Tanpa sadar, sore pun tiba. Mereka memutuskan untuk berjalan kembali menyusuri Braga, kali ini menikmati suasana matahari terbenam yang memberikan warna keemasan pada gedung-gedung tua di sekitar mereka.
Alika tiba-tiba berhenti dan menatap Daryanta. “Makasih, ya, untuk hari ini. Ternyata jalan-jalan seperti ini seru juga, apalagi bareng kamu.”
Daryanta tersenyum hangat. “Kapan saja, Alika. Aku senang kalau kamu bahagia.”
Malam semakin larut ketika Alika dan Daryanta berjalan pulang dari Braga, dan suasana semakin sunyi. Sambil menunggu taksi, mereka berdiri di bawah lampu jalan yang redup, mengobrol pelan, namun penuh kehangatan. Setelah seharian bersama, suasana antara mereka terasa lebih dekat dan hangat daripada sebelumnya.
“Daryanta,” panggil Alika tiba-tiba, memecah keheningan. “Menurut kamu… kalau saja kita memang nggak dijodohkan, kita tetap bisa seperti ini nggak? Maksudku, dekat seperti sekarang?”
Daryanta tersenyum kecil, menatap Alika dengan pandangan yang penuh pengertian. “Menurutku, jodoh atau nggak, yang penting adalah bagaimana kita menjalani hubungan ini. Aku senang bisa dekat sama kamu, tapi aku juga nggak ingin kamu merasa terbebani dengan semua ini.”
Alika mengangguk pelan, merasa lega mendengar jawabannya. “Ya, aku setuju. Kadang aku bingung, mana yang perasaan asli, dan mana yang sekadar karena dorongan keluarga. Tapi, hari ini aku senang kita bisa jalan-jalan tanpa harus mikirin semua itu.”
Tiba-tiba hujan rintik mulai turun, membuat mereka berlari mencari tempat berteduh di bawah atap bangunan terdekat. Hujan yang awalnya hanya rintik-rintik perlahan berubah menjadi deras, dan mereka terjebak bersama dalam kehangatan momen tersebut.
Daryanta tertawa kecil. “Kelihatannya hujan lagi bikin kita nggak bisa pulang tepat waktu.”
Alika tersenyum, mengusap sedikit air di rambutnya. “Nggak apa-apa. Kalau ada kamu, aku nggak keberatan menunggu lebih lama.”
Mereka akhirnya duduk di pinggiran, menunggu hujan reda sambil menikmati waktu bersama. Tanpa kata-kata, mereka merasa nyaman dalam keheningan. Daryanta kemudian merogoh kantongnya, mengeluarkan cincin plastik yang dia simpan sejak kecil sebagai simbol kenangan masa kecil mereka.
“Kamu masih simpan itu?” Alika terkejut, matanya berbinar melihat cincin plastik itu.
Daryanta mengangguk. “Iya, aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali lihat cincin ini, aku teringat saat-saat kita dulu. Mungkin karena ini yang membuatku merasa kamu selalu ada, meski kita sempat terpisah lama.”
Hujan perlahan mereda, namun kehangatan di antara mereka terasa semakin nyata. Malam itu, mereka pulang dengan membawa kenangan manis yang akan selalu teringat dalam hati mereka. Mereka tidak tahu bagaimana masa depan, tapi setidaknya mereka sudah tahu bahwa hubungan mereka memiliki tempat yang istimewa sesuatu yang tak tergantikan oleh tuntutan atau perjodohan.
Setelah hujan mereda, Alika dan Daryanta berjalan perlahan menuju jalan utama untuk mencari kendaraan pulang. Suasana menjadi hening, namun nyaman, dengan Alika sesekali mencuri pandang ke arah Daryanta yang berjalan di sampingnya.
Ketika mereka hampir sampai di titik jemput, Alika tiba-tiba menarik napas dalam-dalam, seolah ingin mengutarakan sesuatu yang telah lama dipendam. “Daryanta... ada yang mau aku tanyakan.”
Daryanta menoleh, menunggu Alika melanjutkan.
“Menurut kamu… apa kita akan tetap bersama seperti ini setelah lulus nanti? Maksudku, kalau sudah kuliah dan mungkin kita punya kesibukan masing-masing, apa kamu masih akan menjaga aku seperti sekarang?” tanyanya dengan suara lembut, namun terlihat jelas bahwa pertanyaan itu muncul dari kekhawatiran yang tulus.
Daryanta terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. “Alika, selama kamu mau aku ada di sini, aku akan selalu ada. Mungkin nanti kita akan punya hidup dan impian masing-masing, tapi aku nggak akan pernah lupa siapa kamu dan apa arti kamu buatku.”
Mendengar jawabannya, Alika merasa lega, dan senyumnya perlahan muncul kembali. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan hati yang terasa lebih ringan.
Sampai di tempat jemput, kendaraan keluarga Alika sudah menunggu. Saat hendak masuk ke mobil, Alika menoleh sekali lagi ke arah Daryanta, memberikan senyum kecil yang berarti.
“Terima kasih untuk hari ini, Daryanta. Aku nggak akan lupa hari ini.”
Daryanta mengangguk. “Sama-sama, Alika. Kalau ada waktu, kita bisa jalan lagi. Ke mana saja, asal bersama kamu.”
Alika tersipu mendengar ucapan itu, dan akhirnya masuk ke dalam mobil. Saat kendaraan mulai berjalan, ia menoleh ke belakang, melihat Daryanta yang masih berdiri di sana, mengucapkan salam perpisahan dengan melambaikan tangan.
Di dalam mobil, Alika merasa harinya sangat penuh dengan perasaan yang beragam bahagia, canggung, hingga harapan yang tak ingin ia akui. Perjalanan mereka yang sederhana hari itu ternyata membekas di hatinya. Ia mulai merasakan bahwa kedekatannya dengan Daryanta tidak hanya karena tuntutan orang tua, tetapi karena memang ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARYANTA (END)
Teen FictionAlika Ismadina yang selalu ada di sisinya sejak mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Keduanya memiliki ikatan persahabatan yang kuat, meskipun karakter mereka berbeda. Daryantara, yang lebih tenang dan bijaksana, sering kali menjadi pelind...