DARYANTA

32 29 3
                                    

MASIH SAMA

Setelah malam makan malam bersama, Alika kembali ke rutinitasnya tanpa banyak perubahan. Meski ia sudah sedikit melunak terhadap Daryanta, hatinya masih terbelah antara harapan dan rasa kecewa yang belum hilang sepenuhnya. Daryanta mungkin telah berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka, tapi bagi Alika, butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menyembuhkan luka yang sudah terlanjur dalam.

Setiap pagi, Alika bangun, berusaha menjalani harinya dengan tenang. Dia kembali fokus pada pekerjaannya dan kehidupannya sendiri, mencoba membangun kebahagiaan tanpa bergantung pada orang lain. Meski Daryanta menghubunginya setiap hari, kadang Alika hanya membalas singkat atau bahkan menunda membalas pesan tersebut. Ia masih takut membuka hatinya terlalu cepat dan terluka lagi.

Oma dan keluarganya memperhatikan perubahan yang terjadi pada Alika, tetapi mereka memilih untuk tidak memaksa. Mereka tahu bahwa luka hati tidak mudah sembuh begitu saja, dan mereka memberi Alika ruang untuk memutuskan sendiri apa yang ia inginkan. Oma hanya memberikan nasihat lembut sesekali, berharap Alika bisa menemukan jawaban yang tepat di hatinya.

Di sisi lain, Daryanta tidak berhenti berusaha. Setiap kesempatan yang ada, ia menunjukkan perhatian dan keseriusannya tanpa menekan Alika untuk segera memaafkannya. Dia memahami bahwa proses ini membutuhkan waktu dan kesabaran, dan dia siap menempuhnya.

Suatu sore, Daryanta mengirim pesan pada Alika, mengajaknya untuk bertemu di taman kota. Awalnya, Alika ragu, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk datang. Ketika sampai di taman, ia melihat Daryanta menunggu dengan secangkir kopi favoritnya.

“Aku tidak akan memaksa kamu untuk langsung percaya lagi. Aku hanya ingin ada di sini dan memberi kamu waktu. Apa pun yang terjadi, aku akan menunggu,” ucap Daryanta dengan tenang.

Alika menatap Daryanta, mencoba mencari kejujuran di matanya. Meski hatinya belum sepenuhnya pulih, ada sedikit harapan yang tumbuh perlahan. Ia mengambil kopi yang ditawarkan Daryanta, menikmati kehangatan cangkir di tangannya sambil berpikir dalam diam.

“Aku butuh waktu,” kata Alika akhirnya.

Daryanta tersenyum tipis. “Aku tahu. Dan aku akan memberikan waktu sebanyak yang kamu butuhkan.”

Hari itu, meskipun tanpa kata-kata panjang, menjadi awal bagi mereka berdua untuk mencoba kembali. Alika mungkin belum sepenuhnya percaya, tetapi kehadiran Daryanta yang sabar memberinya sedikit harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, mereka bisa memperbaiki semua yang telah rusak.

Minggu-minggu berlalu sejak pertemuan di taman, dan Alika masih memilih untuk menjaga jarak dari Daryanta. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya, berusaha mencari kenyamanan di tengah kekecewaannya. Namun, tanpa disadari, hatinya mulai melunak sedikit demi sedikit.

Di satu sisi, Daryanta tetap konsisten mengirim pesan singkat setiap pagi dan malam, sekadar menanyakan kabar atau membagikan hal-hal kecil tentang harinya. Daryanta tidak lagi memaksa atau meminta maaf berulang kali; dia hanya menunjukkan bahwa dia ada, tanpa tekanan. Perlahan, Alika mulai merasakan keikhlasan dalam setiap pesan dan perhatian yang Daryanta berikan.

Suatu hari, Alika bertemu dengan Selvara di sebuah kafe, sahabat yang dulu memberitahunya tentang perselingkuhan Daryanta. Selvara, yang selalu jujur, kali ini memilih untuk memberi nasihat.

“Al, aku tahu kamu terluka, dan aku tidak menyalahkanmu atas rasa sakit itu. Tapi, apakah kamu tidak ingin memberikan kesempatan pada dirimu sendiri untuk memaafkan dan mencoba melihat Daryanta yang sekarang?” Selvara menatap Alika dengan penuh perhatian. “Maafkan tidak selalu berarti kamu harus melupakannya, tapi mungkin itu bisa melepaskan sebagian beban di hatimu.”

Kata-kata Selvara membuat Alika berpikir. Selama ini, ia terjebak antara keinginan untuk melupakan dan ketidakmampuannya untuk benar-benar melepaskan semua kenangan bersama Daryanta. Dia merenung sepanjang malam, mencoba berdamai dengan perasaannya yang rumit.

Beberapa hari kemudian, Alika memutuskan untuk bertemu Daryanta lagi, kali ini dengan niat untuk berbicara dengan lebih jujur. Mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang. Daryanta tampak sedikit gugup, tetapi tetap berusaha tersenyum ketika melihat Alika datang.

“Aku ingin jujur tentang apa yang aku rasakan,” Alika memulai dengan suara pelan namun tegas. “Aku masih merasa sakit dan dikhianati, dan itu tidak mudah hilang. Tapi, aku juga sadar bahwa jika aku terus membawa rasa sakit ini, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri.”

Daryanta mendengarkan tanpa menyela, membiarkan Alika meluapkan semua isi hatinya.

“Aku tidak bisa menjanjikan akan mempercayaimu sepenuhnya lagi, setidaknya untuk sekarang. Tapi aku bersedia mencoba, pelan-pelan. Aku ingin tahu apakah kamu sungguh-sungguh berubah.”

Daryanta mengangguk, rasa lega dan harapan terpancar dari wajahnya. “Aku akan melakukan apa pun yang kamu butuhkan. Aku akan berada di sini, memberikanmu waktu dan bukti, bukan kata-kata semata.”

Sejak saat itu, hubungan mereka berjalan perlahan namun penuh kehati-hatian. Mereka memulai lagi dari awal, saling mengenal satu sama lain sebagai dua orang yang berbeda dari masa lalu. Alika masih berhati-hati, tapi setiap kali Daryanta menunjukkan ketulusan tanpa menghakimi, hatinya sedikit demi sedikit mulai terbuka kembali.

Chapter ini menjadi titik awal bagi mereka untuk merajut ulang hubungan yang pernah terluka, dengan lebih banyak kejujuran, kesabaran, dan komitmen untuk memperbaiki diri masing-masing.

Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di kafe, Alika dan Daryanta mulai menemukan ritme baru dalam hubungan mereka. Mereka tidak lagi terburu-buru atau berusaha memaksakan keadaan seperti dulu. Masing-masing dari mereka menyadari bahwa waktu adalah kunci untuk menyembuhkan luka dan membangun kembali kepercayaan yang telah hilang.

Daryanta, dengan penuh kesabaran, berusaha menunjukkan perubahan nyata melalui tindakan kecil sehari-hari. Setiap pagi, ia akan menyiapkan pesan singkat yang tidak menuntut jawaban, hanya sekadar menyapa atau membagikan sesuatu yang ia pikir akan membuat Alika tersenyum. Alika, meski tidak selalu membalas, mulai merasakan ketulusan Daryanta.

Suatu sore, Daryanta memberanikan diri untuk mengajak Alika ke sebuah acara pameran seni di kota. Ia tahu Alika selalu menyukai seni, dan ia berharap ini bisa menjadi momen sederhana untuk kembali terhubung. Meski sempat ragu, Alika akhirnya setuju, dengan satu syarat: mereka pergi sebagai teman, tanpa ekspektasi apapun.

Di pameran itu, mereka berdua terlibat dalam percakapan ringan yang mengalir dengan alami. Mereka berbicara tentang lukisan, seni, dan kenangan masa lalu yang membuat mereka tertawa. Di antara canda dan tawa itu, Alika merasa sesuatu yang sudah lama hilang mulai kembali—rasa nyaman dan percaya.

Setelah pameran, mereka berjalan-jalan di taman yang sepi. Alika akhirnya mengungkapkan isi hatinya yang paling dalam. "Aku takut, Yan... Takut jika semua ini hanya sementara. Aku butuh bukti bahwa kamu sungguh-sungguh berubah, bukan hanya karena merasa bersalah."

Daryanta menggenggam tangan Alika dengan lembut, memberikan rasa tenang yang tak terduga. "Aku paham, Ka. Aku tidak akan meminta kamu percaya sepenuhnya sekarang. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, siap membuktikan semuanya dengan sabar."

Malam itu menjadi awal dari perjalanan panjang mereka untuk menemukan kembali arti kepercayaan. Meski luka masih ada, Alika memilih untuk memberi dirinya kesempatan dan Daryanta kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Mereka berdua sepakat untuk menjalani hubungan ini tanpa tekanan, dengan fokus pada momen-momen kecil yang penuh kejujuran.

Dalam hati, Alika masih menyimpan banyak keraguan. Namun, ada juga secercah harapan yang perlahan tumbuh, bahwa mungkin, cinta mereka yang pernah hilang bisa tumbuh kembali dengan lebih kokoh dan tulus dari sebelumnya.

DARYANTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang