DARYANTA

36 31 3
                                    

Kelompok Bahasa Indonesia

Hari itu, Alika dan Daryanta masuk ke kelas bahasa Indonesia dengan sedikit rasa canggung. Keduanya masih dalam proses mencari keseimbangan di antara tekanan dari keluarga dan harapan mereka sendiri. Namun, situasi di kelas segera berubah ketika guru mereka, Pak Arief, mengumumkan pembagian kelompok untuk proyek penulisan cerita.

"Baiklah, siswa-siswi! Hari ini kita akan membentuk kelompok untuk tugas menulis cerita. Setiap kelompok akan terdiri dari enam orang, dan saya ingin kalian berdiskusi dengan kelompok masing-masing untuk menentukan tema yang ingin diangkat," kata Pak Arief dengan semangat.

Alika dan Daryanta saling bertukar pandang. Tanpa berencana, keduanya terjebak dalam situasi di mana mereka harus bekerja sama. Ternyata, teman-teman lain di kelas juga mulai berkumpul membentuk kelompok. Daryanta dengan cepat menyadari bahwa mereka berada di kelompok yang sama dengan empat teman lainnya: Rina, Jefrema, Aisyah, dan Fajar.

"Kayaknya kita punya tim yang solid, ya!" seru Jefrema, selalu penuh semangat. "Kita bisa membuat cerita yang menarik."

"Setuju! Tapi kita harus memutuskan tema terlebih dahulu," tambah Aisyah.

"Gimana kalau kita buat cerita tentang pertemanan? Bisa jadi seru," saran Rina, mengedipkan mata.

Daryanta mengangguk setuju, meski di dalam hati ada rasa lain. Dia memandangi Alika, yang kini terlihat lebih ceria ketika mendengar ide tersebut. Namun, Daryanta juga ingin mendorong Alika untuk berbicara lebih banyak.

"Alika, kamu punya ide tentang apa yang bisa kita masukkan ke dalam cerita?" tanya Daryanta, berharap dia bisa memicu diskusi.

Alika terkejut dengan perhatian Daryanta, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Mungkin kita bisa mulai dengan kisah tentang dua orang yang saling berteman sejak kecil dan harus menghadapi tantangan saat mereka beranjak remaja?" usulnya.

"Bagus banget! Kita bisa menambah konflik di antara keluarga mereka juga, kan?" Fajar menyahut, sangat antusias dengan ide tersebut.

Pak Arief yang mengawasi dari jauh menghampiri kelompok mereka. "Saya suka sekali ide kalian. Menggabungkan tema pertemanan dengan tantangan yang dihadapi remaja bisa sangat menarik. Ingat, ceritanya harus bisa menggambarkan perasaan dan perjalanan karakter."

"Baik, Pak!" jawab semua anggota kelompok bersamaan, semangat menyala di mata mereka.

Selama beberapa jam berikutnya, kelompok itu mulai berdiskusi dan menyusun alur cerita. Daryanta dan Alika terlihat lebih nyaman satu sama lain, seringkali berbagi tawa saat mengembangkan karakter dalam cerita mereka. Alika bahkan berani menceritakan beberapa pengalaman lucunya semasa kecil yang membuat Daryanta terbahak-bahak.

"Dan ingat, saat kita berdua tunangan di taman, aku tidak ingin melepaskan cincin itu!" Alika menambahkan dengan lincah, mengingat permainan mereka di masa lalu.

Daryanta menatap Alika, senyumnya lebar. "Kita pasti harus memasukkan bagian itu! Bisa jadi momen yang lucu di cerita kita."

Hari itu terasa lebih ringan, dan mereka mulai menikmati momen bersama meski masih ada bayang-bayang tuntutan dari orang tua mereka. Ketika bel berbunyi, tanda waktu belajar sudah berakhir, Daryanta merasa sedikit berat untuk meninggalkan kelas.

"Bisa kita lanjuti lagi besok?" tanya Alika saat mereka bersiap meninggalkan kelas.

"Tentu! Kita bisa bikin sesi brainstorming di kafe es krim yang kita kunjungi sebelumnya," usul Daryanta, bersemangat.

Alika mengangguk, semangatnya kembali menyala. "Itu ide bagus! Kita bisa menjadikan sesi menulis itu lebih menyenangkan."

Daryanta tersenyum dan merasa lega bisa berbagi momen seperti ini dengan Alika. Mereka berjalan keluar kelas, beriringan, dan meskipun tantangan di depan mereka belum sepenuhnya teratasi, hari itu memberikan harapan baru bagi keduanya. Dengan proyek ini, mereka berdua tidak hanya membangun cerita, tetapi juga berusaha membangun kembali hubungan yang sempat terasa asing.

Saat mereka berdua melangkah keluar dari sekolah, Daryanta tak bisa menahan senyum saat mengingat rencana untuk melanjutkan sesi menulis mereka di kafe. Alika tampak antusias, tetapi tiba-tiba wajahnya berubah saat dia berkomentar, "Kenapa kita nggak di kafe es krim saja, Daryanta?"

Daryanta mengerutkan dahi, mencoba mencerna usul itu. "Kalau kalian mau di kafe silakan, nggak papa. Tapi..."

"Tapi?" tanya Alika, mengangkat alisnya.

"Karena itu punya Daryanta, aku rasa bagus kalau kita di kafe es krim. Tapi kalau mau di kafe, Daryanta nggak papa," jawab Daryanta, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa ketidaknyamanan yang mulai menyelimuti.

Alika tampak ragu. "Tapi, Daryanta... Aku nggak mau melihat foto masa kecil kita. Itu akan canggung sekali!"

Daryanta menatapnya bingung, tak tahu harus bagaimana. Dalam benaknya, dia ingin menunjukkan kebersamaan mereka di masa kecil, tetapi dia juga mengerti perasaan Alika. "Mau nggak mau, kita tetap ke kafe Daryanta," dia akhirnya berkata.

"Ehm... aku, ah, nggak bisa jawab dan langsung setuju. Tapi... apa yang harus kita jawab kalau teman-teman nanti melihat foto-foto kita?" Alika mengerutkan kening, terlihat semakin gelisah.

Mereka pun sampai di kafe yang dimiliki oleh orang tua Daryanta. Suasana kafe yang cerah dan hangat membuatnya terasa nyaman, tetapi kecemasan Alika masih terlihat di wajahnya. Daryanta berusaha menenangkan hati Alika dengan meyakinkan, "Santai saja, kita kan bisa jawab apa adanya. Lagipula, itu hanya kenangan lucu."

Namun, saat mereka duduk dan mulai memesan, tak terhindarkan, salah satu teman mereka, Jefrema, datang dan langsung menghampiri mereka. "Hey! Apa kalian mau ngapain di sini? Kok terlihat sangat serius?" tanya Jefrema, menciptakan suasana lebih santai.

"Aku dan Daryanta sedang mengerjakan proyek cerita," Alika menjawab, berusaha menyembunyikan kecemasan di dalamnya.

"Wah, itu keren! Boleh ikut?" Jefrema antusias.

Tiba-tiba, Fajar dan Rina juga muncul, dan tanpa disadari, mereka semua duduk di meja yang sama. Alika merasa semakin tidak nyaman, apalagi saat Jefrema mulai menyusuri foto-foto yang terpasang di dinding kafe.

"Eh, tunggu! Ini kan foto-foto masa kecil kalian!" seru Jefrema, tiba-tiba bersemangat. "Coba lihat, Daryanta! Ini kamu dan Alika saat kalian masih kecil, kan?"

Daryanta menatap foto yang dimaksud. Itu adalah foto mereka berdua sedang tertawa di taman saat mereka masih kecil, mengenakan baju berwarna cerah. Wajah Alika dalam foto terlihat lucu dan polos, sementara Daryanta dengan senyum lebar.

"Gemes banget! Kalian berdua terlihat sangat akrab," Fajar menambahkan, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

Alika merasa pipinya memanas. "Iya... itu waktu kecil. Sekarang udah dewasa, kita jadi asing," jawabnya, berusaha menutupi rasa malu.

Jefrema tertawa. "Ayo, ceritakan kisah di balik foto ini! Kalian pasti punya banyak kenangan lucu."

Daryanta dan Alika saling tatap. Daryanta melihat raut wajah Alika yang tampak ragu, tapi pada saat yang sama, ada kilauan kenangan manis di matanya.

"Ya, kita bisa cerita sedikit," Daryanta akhirnya menyetujui, merasa semangat untuk membagikan kenangan itu.

DARYANTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang