DATANG KE RUMAH
Hari demi hari berlalu sejak percakapan mendalam antara Daryanta dan orang tua Alika. Meski mereka tidak langsung bersama lagi, Daryanta tetap berusaha membuktikan keseriusannya kepada Alika. Dia sering datang ke rumah Alika dengan alasan sederhana, seperti mengantar makanan atau membawakan barang-barang kecil yang mungkin Alika perlukan. Tindakan kecil ini perlahan-lahan mulai meluluhkan hati Alika yang masih terluka.
Suatu hari, Daryanta memutuskan untuk mengambil langkah lebih besar. Dia mengajak Alika bertemu di taman yang dulu sering mereka kunjungi saat masih pacaran. Awalnya, Alika ragu, tetapi akhirnya dia setuju.
Di taman itu, Daryanta sudah menunggu dengan membawa sebuah buku foto yang berisi kenangan-kenangan mereka bersama, mulai dari masa kecil hingga saat mereka menikah. Saat Alika tiba, Daryanta menyambutnya dengan senyuman lembut.
“Aku tahu ini mungkin tidak cukup untuk membuktikan keseriusanku,” kata Daryanta sambil menyerahkan buku foto itu kepada Alika. “Tapi aku ingin mengingatkanmu tentang semua momen indah yang pernah kita lalui. Semua yang kita bangun bersama.”
Alika membuka halaman pertama buku foto itu. Dia melihat foto mereka saat kecil, tertawa bersama di taman yang sama ini, kemudian foto-foto dari hari pernikahan mereka, dan momen-momen kebersamaan lainnya. Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir di pipi Alika. Semua kenangan itu membuat hatinya luluh.
“Kenapa kamu membuat ini, Daryanta?” tanya Alika dengan suara bergetar.
“Karena aku ingin kamu tahu, Alika, bahwa tidak ada yang lebih berarti bagiku selain kamu dan hubungan kita. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, tapi aku tidak akan menyerah untuk memperbaikinya,” jawab Daryanta dengan sungguh-sungguh.
Alika terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Daryanta. Dia tahu bahwa cinta mereka masih ada, tetapi kepercayaan yang sudah terkikis tidak mudah dipulihkan.
“Kita punya banyak kenangan bersama, Daryanta. Itu yang membuat semuanya lebih sulit. Aku ingin percaya padamu, tapi aku juga butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini,” kata Alika pelan.
“Aku mengerti, Alika. Aku akan memberikanmu semua waktu yang kamu butuhkan. Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan selalu ada untukmu,” kata Daryanta, menggenggam tangan Alika dengan lembut.
Mereka berdua duduk di taman itu, berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka bisa memperbaiki hubungan mereka. Meskipun perjalanan mereka penuh dengan rintangan, baik Daryanta maupun Alika menyadari bahwa mereka masih saling mencintai. Kepercayaan yang hilang mungkin sulit untuk dikembalikan, tetapi mereka berdua bertekad untuk mencoba, satu langkah kecil pada satu waktu.
Di malam itu, mereka pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Mereka sadar bahwa hubungan ini tidak akan sempurna, tetapi mereka siap untuk memperjuangkannya, meskipun dengan perlahan.
Alika menatap bintang di langit malam dan berdoa dalam hatinya. Dia berharap bahwa cinta ini bisa mereka perbaiki, meski dengan usaha yang tak mudah. Daryanta pun tersenyum, berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga cinta mereka dengan sepenuh hati.
Beberapa hari setelah pertemuan di taman, Daryanta semakin giat menunjukkan perubahannya. Setiap pagi, ia mengirimkan pesan singkat kepada Alika, tidak hanya untuk menyapa, tetapi juga untuk memberikan motivasi kecil atau sekadar mengingatkan Alika untuk menjaga kesehatan. Ia juga lebih sering berkunjung ke rumah orang tua Alika, berusaha menjalin kembali hubungan baik dengan keluarganya.
Di sisi lain, Alika mulai merasakan ketulusan dari setiap usaha Daryanta. Meski masih ada keraguan, ia juga sadar bahwa dirinya pun merindukan kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, Alika tak ingin semuanya berjalan terlalu cepat. Dia ingin memastikan bahwa perubahan Daryanta benar-benar tulus dan bukan hanya usaha sementara.
Suatu hari, Oma Alika datang berkunjung dan mengajak Alika bicara empat mata.
"Alika, sayang, Oma tahu ini bukan perkara mudah. Oma bisa merasakan kekecewaan yang kamu alami," kata Oma dengan lembut, menatap cucunya dengan penuh kasih.
Alika mengangguk pelan. "Iya, Oma. Aku hanya takut untuk kembali percaya."
Oma menggenggam tangan Alika erat. "Oma tidak akan memaksamu. Namun, jika kamu masih memiliki perasaan untuk Daryanta, tidak ada salahnya memberi kesempatan, meskipun sedikit demi sedikit. Kadang, memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi memberikan kesempatan bagi diri kita sendiri untuk bahagia lagi."
Kata-kata Oma menyentuh hati Alika. Meski rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, Alika mulai membuka hatinya sedikit. Ia mulai membalas pesan Daryanta lebih sering dan bahkan menerima ajakan untuk makan malam bersama di luar, meski awalnya ia ragu.
Di malam makan malam itu, mereka memilih tempat yang sederhana, jauh dari keramaian. Sepanjang makan malam, Daryanta terus berusaha mencairkan suasana dengan lelucon-lelucon ringan dan kisah-kisah lucu tentang kehidupan barunya sepulang dari Korea. Alika, yang awalnya canggung, akhirnya tertawa juga dan merasa lebih nyaman.
“Terima kasih, Alika, sudah mau memberiku kesempatan ini,” kata Daryanta di akhir makan malam dengan wajah tulus.
Alika tersenyum kecil. “Kita lihat saja, Daryanta. Semua butuh waktu.”
Di saat yang sama, Daryanta tahu bahwa ini adalah kesempatan berharga yang tidak boleh ia sia-siakan. Meski perjalanan mereka untuk pulih tidak mudah, momen-momen kecil ini menjadi harapan baru bagi mereka berdua.
Setelah makan malam, Daryanta mengantar Alika pulang. Saat tiba di depan rumahnya, Daryanta menatap Alika dengan penuh harap.
“Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu lagi,” ucapnya pelan.
Alika hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya masuk ke rumah, meninggalkan Daryanta yang tersenyum lega. Di hatinya, perlahan-lahan, ia mulai percaya bahwa mungkin ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki segalanya, meski jalannya panjang dan penuh dengan tantangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARYANTA (END)
Teen FictionAlika Ismadina yang selalu ada di sisinya sejak mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Keduanya memiliki ikatan persahabatan yang kuat, meskipun karakter mereka berbeda. Daryantara, yang lebih tenang dan bijaksana, sering kali menjadi pelind...