- ✧ -
Millan menoleh sedikit ketika mendengar gumaman pelan Giorgio, tetapi dia tidak menangkap apa yang dikatakan. Ia hanya melihat pemuda itu bersandar di kusen pintu dapur, dengan tatapan yang entah bagaimana membuatnya sedikit gugup.
"Kamu mau duduk, atau cuma mau berdiri disitu?" tanyanya setengah bercanda sambil menata piring terakhir di meja makan.
Giorgio tersenyum tipis dan berjalan ke meja makan, duduk dengan santai. Dia menatap makanan yang terhidang di depannya: nasi hangat, Pindang balado, lalapan yang terlihat begitu menggugah selera. Sederhana, namun aromanya membuat perutnya berbunyi.
"Lo masak tiap hari kayak gini?" tanya Giorgio tanpa menatap Millan.
"Iya, biasanya sih buat diri sendiri. Gak sering ada tamu di sini." jawab Millan sambil mengambil tempat di seberang Giorgio.
Mereka makan dalam diam selama beberapa menit, suasana yang anehnya tidak terasa canggung. Setiap suapan membawa kehangatan dan rasa enak bagi Millan sesekali memuji masakan sendiri, tetapi bagi Giorgio, masakan itu seperti sesuatu yang baru dan enak, jauh dari makanan mewah yang biasa dia konsumsi serta rasa yang berbeda dari masakan koki nya dirumah.
Setelah beberapa suap, Giorgio akhirnya bersuara lagi. "Masakan lo enak."
Millan meliriknya sejenak, terkejut mendengar pujian itu. "Makasih. Gak nyangka kamu bakal muji lagi."
Giorgio mengangkat bahu, sedikit cuek. "Gue cuma bilang yang gue rasain."
Millan terkekeh kecil, merasa suasana perlahan mencair di antara mereka. Mungkin tidak seburuk itu, pikirnya. Meski awalnya Giorgio tampak dingin, dan menyebalkan, ada sisi lain yang mulai terlihat lebih baik di matanya.
"Kapan kamu balik ke kota?" Millan tiba-tiba bertanya, penasaran.
Giorgio meletakkan sendoknya, matanya sedikit menyipit seperti sedang memikirkan sesuatu. "Gue nggak yakin. Kaki gue masih perlu waktu buat sembuh. Lagipula, di sini... rasanya nggak buruk."
Millan menatapnya dengan pandangan heran. "Gak buruk? Kamu pasti bercanda. Di kota kan lebih nyaman buat kamu."
Giorgio tersenyum tipis sekali, kali ini tatapannya lebih lembut. "Kadang, hal sederhana justru lebih nyaman."
Millan terdiam sejenak, merasa ada sesuatu di balik kalimat itu yang tidak ia pahami sepenuhnya. Giorgio memang selalu menjadi misteri baginya saat disetiap ia membaca novel yang mengarah ke pemuda itu, tetapi kini ia mulai merasa bahwa mungkin, pemuda itu tidak sepenuhnya seperti yang ia bayangkan.
Suasana makan pagi itu berlanjut dengan tenang, dengan keheningan yang tidak lagi terasa canggung, melainkan lebih seperti kedekatan yang perlahan terbentuk di antara mereka. Hm..
Disela suapan nya Millan tiba-tiba teringat dengan sosok Arvaz, jika tidak salah Giorgio ddk juga satu sekolah dan kemarin dia tidak melihat Giorgio dan Arvaz beradu. Millan mengernyitkan dahinya merasa heran, dia berfikir sejenak untuk mengingat sampai mana cerita berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enter the Figuran Body
Novela JuvenilMika, seorang pengelola toko roti peninggalan mendiang ibunya, menjalani kehidupan yang monoton dan sederhana. Namun, segalanya berubah drastis ketika suatu malam jiwanya dipindahkan ke dunia novel yang tak pernah ia bayangkan. Dua tokoh penting dar...