Selama ini, Brietta Norman tinggal di Kota New York bersama kedua saudara laki-lakinya sebagaimana seharusnya dia tinggal di kota yang tidak pernah tidur itu. Bekerja keras, bekerja cepat, dan bekerja dalam gemerlapnya metropolis, itu adalah tawaran...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa, Kak? Mau mencoba knickerbocker glory?"
Brietta menyadarkan diri. Brietta menyadari bahwa ia sempat melamun dengan arah pandangannya ke Ignatius. Brietta membalas Ignatius, "Oh, tidak. Aku hanya merasa lelah setelah bekerja. Maaf, aku melamun."
"Oh, begitu. Kalau Kak Brietta mau coba es krimku, bilang saja."
"Terima kasih," ucap Brietta.
"Tapi, Kak, aku memang melihat ada yang aneh dari Kakak saat ini," ujar Ignatius. "Ada apa, Kak? Maaf kalau aku bilang ini, tapi Kakak terlihat sehabis menangis."
"Eh?" Sekentara itukah? "Apakah aku terlihat sehabis menangis, Ignatius?"
"Yah, tenang saja, aku tidak akan tanya macam-macam kalau memang terjadi sesuatu pada Kakak dan Kakak tidak mau menjelaskannya."
Brietta menarik napas dalam. Di depannya adalah Ignatius McCoy, teman kuliah dari Paul dan Guren. Ignatius pernah mengutarakan kekaguman kepada Brietta beberapa waktu yang lalu, sebuah perasaan yang Brietta tidak kira akan Brietta dapatkan.
Haruskah aku bercerita?
Brietta menguatkan dirinya. "Tidak, Ignatius. Aku akan menceritakannya kepadamu. Ini soal ... masalahku dengan orang yang aku sukai."
Ignatius melirik lagi ke Brietta, dengan sendok yang masuk ke mulutnya. Mata Ignatius membulat dan ia melepas sendoknya dari mulut. "Tampaknya serius, Kak."
Ignatius tertawa. "Kencan dadakan dan tiba-tiba, begitu? Aku tidak merasa begitu. Kencan itu lebih baik direncanakan sebelumnya, Kak. Lagi pula," Ignatius pun tersipu malu, "aku mungkin mengagumi Kak Brietta dan pernah mengatakan perasaan kagumku ke Kakak, tapi setelah waktu pernyataan itu, ada perempuan di kampus yang bilang kalau ia suka padaku. Ia cukup atraktif dan seorang mahasiswi yang unggul di jurusannya, Teknik Kimia. Jadi, Kak, sekarang, aku sedang dekat perempuan itu."
"Oh, begitu. Selamat!" ucap Brietta senang. "Tapi, kau belum jadian juga dengannya?"
"Masih pendekatan, tetapi sejauh ini baik," Ignatius membalas seraya tersenyum. "Jadi, bagaimana masalah Kakak dengan pria yang Kakak suka ini? Aku bisa mendengarkan sampai Kak Brietta lega. Namun, aku bukan orang berpengalaman, jadi aku tidak tahu kalau aku bisa memberi masukan."
"Tidak apa-apa, Ignatius. Asalkan kau yakin kau bisa menyimak karena ini akan sangat panjang."
"Oke," kata Ignatius. "Kafe ini, toh, buka sampai pukul 11 malam. Aku masih punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas sampai nanti."
Setelah dirasa mendapat izin dari Ignatius untuk bercerita, Brietta akhirnya menjelaskan dari awal sampai akhir, mengenai bagaimana Brietta menyukai Hiro, bagaimana Brietta menyatakan perasaannya, sampai bagaimana keadaan antara Brietta dan Hiro saat ini. Brietta tidak menyebut nama Hiro secara langsung selama bercerita ("Sebut saja si A."), jadi Brietta harus menjelaskan sejelas mungkin. Sebaliknya, Ignatius menyimak secara tertib sambil sesekali menyendok es krimnya.
"Oooh. Pria yang Kak Brietta suka memiliki penyakit," kata Ignatius. Es krim Ignatius sudah tinggal setengah gelas.
"Ya, begitulah," kata Brietta sedih, tetapi kesedihannya hilang sesaat setelah menyuap dirinya dengan es krim banana split-nya yang telah datang di tengah waktu Brietta bercerita.
Ignatius terdiam sejenak, berpikir sambil lanjut makan knickerbocker glory sampai mengambil suatu kesimpulan untuk dikatakan kepada Brietta.
"Menurutku, Kak," Ignatius berkata, "dia juga suka kepada Kak Brietta."
Brietta mengangkat kedua alisnya, meyakinkan diri ia tidak salah dengar. "Apa? Benarkah?"
"Itu menurutku, ya. Namun, dia sendiri bingung harus bagaimana kalau mengingat penyakitnya sendiri. Dia ... bagaimana aku bilangnya? Tidak percaya diri, begitu."
"Begitu?"
"Jadi, kalau yang dia minta adalah waktu lebih banyak, berikan dulu saja, tetapi jangan terlalu lama. Makin lama, nanti makin tidak jelas. Dan 'iya' yang tidak jelas dapat berarti 'tidak'."
Brietta pun memahami kata-kata Ignatius. Itu adalah versi lain dari apa yang pernah dikatakan Clarence. Soal batasan.
"Ignatius, apakah aku egois karena aku meninggalkan dia?" tanya Brietta mau tahu, yang membuat Ignatius segera menggeleng.
"Kak Brietta bukan orang egois jika Kakak masih peduli padanya dan merasa bersalah saat meninggalkan dia. Namun, Kak Brietta harus tegas pada perasaan Kakak sendiri. Ini perihal Kakak dan diri Kakak, tidak cuma perihal Kakak dan dia, pria yang Kakak sukai itu," Ignatius menambahkan. "Aku bukannya mau berlaku sombong, tetapi Kak Brietta boleh, kok, mencontoh diriku ini. Aku sudah menyatakan perasaanku kepada Kakak, Kakak tolak, lalu akhirnya aku menjadi fokus untuk mendekati orang lain. Jadi, Kak Brietta juga perlu mempertimbangkan untuk move on dari dia."
Seiring dengan badannya yang mendingin, pikiran Brietta juga menjadi lebih jelas setelah mendengarkan input dari Ignatius.
"Jadi, apa yang seharusnya aku lakukan?" Brietta bertanya untuk meminta jawaban.
"Oh, aku tidak tahu kalau sampai situ," jawab Ignatius cukup antiklimaks. "Perasaan pria yang Kakak sukai itu seperti sebuah kotak tertutup; ada, tetapi tertutup. Saat masih tertutup, Kakak bisa bilang kalau pria itu menyukai sekaligus tidak menyukai Kakak. Namun, kalau sudah dibuka, barulah Kakak bisa lihat apakah pria itu menyukai atau tidak menyukai Kakak. Ya, seperti percobaan 'Kucing Schrödinger' kalau Kakak pernah dengar."
"Aku pernah dengar walau aku tidak terlalu paham," kata Brietta. "Namun, setelah dijelaskan olehmu, yah, aku sedikit lebih paham. Berarti, aku harus membuka kotaknya?"
Ignatius menganggukkan kepala. "Bisa dibilang begitu. Well, apa pun yang Kak Brietta temukan saat membuka kotak itu, mungkin tidak semua akan membuat Kak Brietta senang. Bisa jadi, setelah Kakak buka, akan ada masalah baru yang muncul, sesuatu yang lebih buruk, seperti isi kotak Pandora. Dari membuka kotak kucing Schrödringer menjadi membuka kotak Pandora."
Brietta bergidik, bukan karena dinginnya es krim dengan pisang dan wafer yang ia sendok ke mulutnya, melainkan karena perkataan Ignatius. Jantung Brietta mulai berdebar kencang. Entah kapan terakhir kali Brietta merasakan ini lagi.
Akan tetapi, setidaknya, Brietta sudah mendapatkan ilmu pengetahuan baru.
Bertambahnya ilmu pengetahuan Brietta dibarengi dengan berkurangnya es krim pada wadah Brietta dan Ignatius.
Akhirnya, mereka merasa kenyang, dingin, dan puas.
Kepada Ignatius, Brietta bertanya satu pertanyaan terakhir, "Jika yang kubuka adalah kotak Pandora, apa yang sebenarnya akan terjadi? Apa yang harus aku lakukan?"
Ignatius menjawab, "Hadapi, Kak," lalu Ignatius mengangkat bahu. "Mungkin Kak Brietta juga perlu mencari tempat kerja baru sebelum resign dan pindah."