Bab 5. Tubuh sempurna untuk rencananya

562 13 0
                                    

Sari mulai tersadar perlahan, kepalanya terasa berat dan tubuhnya kaku. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, ia menyadari bahwa dirinya masih terikat di kursi kayu di tengah ruangan yang dipenuhi cahaya redup. Udara di ruangan itu terasa lembab dan dingin, bercampur dengan bau lilin yang terbakar di sudut ruangan. Sari mengedarkan pandangannya dengan kebingungan, mencoba mengingat apa yang telah terjadi.

Matanya segera tertuju pada sosok Om Surya yang tergeletak tak bergerak di lantai. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari betapa aneh situasi ini. Dalam ketegangan itu, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa di dalam dirinya, seolah ada kesadaran lain yang baru saja bangun di dalam tubuhnya.

Sari berjuang keras, menarik ikatan di pergelangan tangannya. Setelah beberapa kali mencoba, dengan tenaga yang tersisa, akhirnya ia berhasil membebaskan dirinya. Mulutnya yang disumpal pun ia lepaskan dengan cepat. Nafasnya terengah-engah, tetapi ada perasaan aneh yang membuatnya tetap tenang, bahkan sedikit senang.

Setelah bebas, Sari berdiri dengan goyah dan berjalan mendekati cermin besar yang tergantung di dinding sebelah kanan. Ketika ia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin, tubuhnya bergetar. Wajah itu... wajahnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ada aura gelap di balik tatapan matanya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia meraba wajahnya dengan tangan gemetar, seolah-olah baru pertama kali menyentuhnya. Sari mulai merasakan sesuatu yang tidak wajar. “Ini... ini bukan aku,” bisiknya, tetapi tidak dengan nada panik, melainkan nada heran dan... bahagia.

Seringaian tipis mulai muncul di wajahnya. "Ini berhasil..." gumamnya, suara Sari berubah menjadi lebih berat, lebih dalam. "Aku sekarang dalam tubuhnya." Tatapan matanya berubah penuh kemenangan, seolah-olah rahasia besar baru saja terungkap.

Om Surya, atau lebih tepatnya, jiwanya yang kini berada dalam tubuh Sari, menyeringai puas. "Sial, ritualnya gagal, tapi... ternyata aku dapat tubuh yang lebih baik." Suara tawa kecil keluar dari mulutnya. Ia membungkuk mendekati cermin, memperhatikan setiap detail wajah Sari yang kini dikuasainya. Ada kekuasaan baru yang ia rasakan dalam dirinya, kebebasan yang sebelumnya tidak ia miliki dalam tubuhnya yang lama.

Om Surya—sekarang dalam tubuh Sari—melangkah mendekati ranjang di mana gadis kecil, Lina, masih terbaring tak sadarkan diri. Ia menatap gadis itu dengan pandangan mesum yang mencerminkan jiwa gelapnya yang telah lama tersembunyi di balik topeng kepribadian ramahnya. Dengan tubuh Sari, ia merasa lebih leluasa, tidak ada yang akan mencurigai kejahatan yang akan dilakukannya.

"Masih ada waktu," katanya sambil menyeringai, mengusap dagunya dan kembali mengeluarkan mantra dari bibirnya. Lina, yang terbaring lemas, mulai bergerak pelan, matanya membuka dengan tatapan sayu dan kosong. Sari—dalam kendali Om Surya—memandang gadis itu dengan penuh antusias.

"Ayo... Lakukan apa yang aku katakan..." bisiknya.

Lina bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lamban, seolah-olah tubuhnya kini berada di bawah kendali kekuatan asing. Dengan tatapan kosong, ia mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, tanpa perlawanan, tanpa kesadaran. Sari—atau Om Surya—tersenyum semakin lebar, puas melihat ketaatan gadis kecil itu.

---

Keesokan paginya, berita menggemparkan tersebar di desa sekitar taman wisata. Seorang gadis kecil, yang sebelumnya dilaporkan hilang, tiba-tiba ditemukan tak jauh dari tempat ia terakhir terlihat. Keadaannya tampak normal, namun ada sesuatu yang ganjil. Gadis itu tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang terjadi selama ia menghilang, seolah-olah sebagian dari ingatannya terhapus. Orang-orang di sekitar taman bingung dan bertanya-tanya, namun mereka juga lega karena gadis kecil itu kembali dengan selamat.

Namun, di balik rasa lega itu, ada tanda tanya besar. Bagaimana gadis itu bisa kembali dengan begitu misterius?

Sementara itu, di kediaman Om Surya dan Tante Vira, pagi yang tenang mendadak dipecahkan oleh suara tangisan yang histeris dari kamar utama. Tante Vira terisak-isak di sebelah tubuh suaminya yang kaku di atas ranjang. Om Surya—dalam tubuh aslinya—ditemukan tak bernyawa. Wajahnya pucat, dan tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"Tidak mungkin! Kenapa ini bisa terjadi... Surya!" isak Tante Vira, mengguncang tubuh suaminya yang sudah dingin.

Di sudut kamar, sosok Sari berdiri, memperhatikan dengan dingin. Wajahnya tidak menunjukkan kesedihan atau keterkejutan, melainkan kebingungan yang mendalam. Bukan karena kematian Om Surya, melainkan karena kini ia benar-benar hidup sebagai Sari. Jiwanya telah berhasil pindah ke tubuh yang lebih muda dan kuat.

Meskipun ada sebersit rasa iba melihat Tante Vira menangis histeris, ia segera menepis perasaan itu. Sebagai jiwa yang kini bebas berkeliaran dalam tubuh Sari, ia tak lagi peduli. Setelah sejenak memperhatikan, ia menyeringai kecil.

"Tak perlu cemas, Tante... aku baik-baik saja," ucap Sari dengan suara yang terdengar menenangkan, meskipun jiwa di dalamnya kini adalah monster.

Tante Vira terlalu larut dalam kesedihannya untuk menyadari ada yang tidak beres dengan Sari. Dan saat itu, Sari—yang kini sepenuhnya dikendalikan oleh Om Surya—melangkah keluar dari kamar.

---

Hari pemakaman Om Surya dilaksanakan dengan suasana mendung yang menyelimuti. Taman yang biasanya ceria kini terlihat kelam, seolah alam pun berduka atas kehilangan ini. Kerumunan orang berkumpul di halaman rumah, meliputi tetangga dan kerabat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Tante Vira berdiri di samping Jenazahnya dengan mata yang sembab, tak henti-hentinya mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Setiap kali ia menatap tubuh suaminya yang terbaring dingin, hatinya terasa hancur.

“Surya… Kenapa kau pergi begitu cepat?” ucap Tante Vira lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara bisikan orang-orang yang hadir.

Sari, atau lebih tepatnya Om Surya yang kini merasuki tubuh Sari, berdiri di sudut ruangan, menyaksikan semua kejadian ini dengan tatapan datar. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, menciptakan jarak antara dirinya dan kerumunan yang berduka. Walaupun secara fisik ia adalah Sari, emosinya dingin dan tak tergerak oleh kesedihan yang mengelilinginya. Ia bahkan mulai merasa bahwa semua ini adalah bagian dari rencana baru yang lebih besar.

Setelah upacara selesai, kerumunan mulai membubarkan diri. Kedua orangtua Sari, setelah mendapatkan kabar mengenai kematian Om Surya, terpaksa kembali dari bisnis mereka yang tengah berjalan. Mereka tiba di lokasi pemakaman dengan raut wajah yang penuh keletihan dan kebingungan. Ayah Sari, Pak Bima, terlihat sangat serius dan tegas, sementara Ibu Sari, Bu Rina, mengusap matanya yang mulai memerah.

“Sari, sayang!” panggil Ibu Rina ketika melihat anaknya di antara kerumunan.

Sari berlari menghampiri mereka, menampakkan senyuman lebar yang berusaha menutupi segala sesuatu yang ada di dalam hatinya. “Ibu! Ayah!” Ia mengeluarkan nada ceria, walau hatinya berbenturan dengan banyak emosi.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Pak Bima, memperhatikan wajah Sari dengan seksama.

“Ya, Ayah, aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara tenang, meskipun di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia telah mengubah segalanya. "Aku masih tidak percaya dia pergi."

Ibu Rina merangkul Sari dengan erat. “Kami tidak ingin kamu tinggal sendirian di sini. Kami pulang sekarang,” ujarnya dengan suara bergetar.

Sari merespons pelukan itu,
“Baiklah, kita pulang,” kata Pak Bima, membawa Sari keluar dari kerumunan.

Saat mereka melangkah pergi dari pemakaman, Sari menoleh ke belakang sekali lagi. Ia melihat ke pemakaman, dan dalam hatinya, ia merasakan satu hal yang tak terduga: kebebasan.

Om Ku seorang PedofilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang