Pagi itu, matahari menyinari halaman sekolah dengan hangat, namun hawa di dalam kelas terasa semakin berat. Suasana sekolah yang dulunya penuh semangat kini tampak semakin muram dan aneh, terutama di kalangan siswa yang terkena pengaruh dari Bu Tanti dan Sari. Banyak siswa mulai berubah drastis, termasuk dalam perilaku dan cara berpikir, dan tidak sedikit yang menjadi semakin pemberontak, apatis, atau cenderung menentang norma.
Di sudut perpustakaan, tiga siswa yang masih menunjukkan sikap berbeda, membentuk kelompok kecil untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Mereka adalah Rangga, siswa yang cerdas dan rajin; Dimas, sahabat Rangga yang dikenal kritis; dan seorang siswi bernama Nisa, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap teman-temannya. Ketiganya berkumpul di salah satu meja pojok dengan wajah serius.
“Aku nggak tahu kalian sadar atau nggak, tapi sesuatu yang sangat salah terjadi di sekolah ini,” bisik Nisa, sambil menoleh ke arah pintu, memastikan tak ada orang yang mendengar mereka.
“Setuju,” kata Rangga sambil mengangguk. “Tapi ini bukan hanya perubahan perilaku siswa. Aku juga merasa para guru berubah. Mereka dulu mengajarkan disiplin, tapi sekarang malah seperti mendukung kebebasan yang berlebihan.”
Dimas mengangguk, menambahkan, “Bukan cuma itu, beberapa temanku berubah sikapnya. Mereka jadi kayak orang lain, Nisa. Dan sebagian besar dari mereka sering dipanggil Bu Tanti ke ruang BK.”
Nisa menggigit bibirnya, jelas sekali dia cemas. “Kalian tahu, beberapa teman perempuanku yang dulunya ceria dan berprestasi, sekarang jadi acuh tak acuh, bahkan berani menentang orang tua mereka. Ini tidak wajar.”
Rangga pun mengusulkan rencana, “Bagaimana kalau kita mencari tahu lebih banyak soal Bu Tanti? Kita bisa cari informasi di ruang guru, atau mungkin ruang BK. Aku yakin ada sesuatu yang aneh di sana.”
Pertemuan dengan Orangtua
Sementara itu, beberapa orangtua siswa mulai merasakan perubahan yang tak biasa pada anak-anak mereka. Mereka memperhatikan sikap dan kebiasaan anak-anaknya berubah drastis, seakan ada yang mengendalikan pikiran mereka. Salah satu orang tua yang khawatir adalah ibu dari seorang siswa bernama Rio. Dia memperhatikan anaknya, yang biasanya rajin belajar dan sopan, kini berubah menjadi kasar dan sering mengabaikan perintah orang tua.
Akhirnya, para orang tua ini berkumpul dan memutuskan untuk mendatangi sekolah, meminta penjelasan dari pihak sekolah atas perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka. Pagi itu, ruang lobi sekolah dipenuhi beberapa orang tua yang berbicara dengan nada protes dan penuh kemarahan.
“Kami mau bicara dengan kepala sekolah! Anak-anak kami berubah drastis!” teriak seorang ibu dengan nada marah, sementara yang lain bergumam kesal, menyetujui.
Pak Rama, yang sudah terpengaruh oleh hipnotis Sari, keluar menemui para orang tua dengan ekspresi dingin. Bersamanya, berdiri Bu Tanti dan Sari yang memandang dengan tenang, seolah tak ada yang salah.
“Ada yang bisa kami bantu, Ibu dan Bapak?” tanya Bu Tanti dengan senyuman tipis.
Salah seorang ayah maju, menatap Bu Tanti dan Pak Rama dengan tajam. “Anak saya berubah sikapnya sejak sering dipanggil ke ruang BK. Dia jadi suka memberontak dan mulai terlibat dalam hal-hal yang tak pernah saya bayangkan! Kami ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan pada anak-anak kami?”
Sari melangkah maju, menatap para orang tua dengan tenang. “Bapak dan Ibu, kami hanya menjalankan pembelajaran yang berbeda, yang mungkin dianggap lebih modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kami di sini untuk membimbing mereka agar lebih percaya diri.”
“Percaya diri?” tanya seorang ibu dengan nada mencemooh. “Yang benar saja! Anak saya berubah total, Bu Tanti. Dia yang dulu patuh, sekarang jadi seperti orang lain!”
Melihat kerusuhan semakin meningkat, Anton yang mengamati dari kejauhan merasa ini bisa mengancam rencana mereka. Ia memanggil Sari dan memberi instruksi agar segera menyelidiki siapa saja yang memulai keributan ini.
Perburuan Dimulai
Malam harinya, Sari menemui Bu Tanti di ruang guru untuk menyusun langkah. Ia tahu tiga siswa yang mencurigakan sedang menyelidiki perubahannya di sekolah dan juga terlibat dalam memprovokasi para orang tua untuk datang. Sari memberikan instruksi kepada Bu Tanti untuk menahan mereka, dan jika perlu, menggunakan hipnotis untuk memastikan mereka tidak lagi mengancam rencana besar mereka.
“Bu Tanti, kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan?” ucap Sari dengan nada serius.
Bu Tanti mengangguk sambil menyeringai. “Tentu saja, Sari. Aku akan pastikan mereka tidak bisa bicara lagi.”
Keesokan harinya, Bu Tanti diam-diam mengawasi Rangga, Dimas, dan Nisa saat mereka berjalan ke perpustakaan. Ia menunggu momen yang tepat untuk memisahkan mereka satu per satu. Namun, ketiganya tampak waspada.
“Kurasa kita sedang diawasi,” bisik Nisa ketika mereka masuk ke perpustakaan.
Rangga mengangguk. “Kita harus lebih hati-hati.”
Namun, pada akhirnya, ketika Dimas sendirian di lorong sekolah, Bu Tanti berhasil mendekatinya. Dengan senyuman ramah yang palsu, ia berkata, “Dimas, boleh kita bicara sebentar di ruang BK?”
Dimas merasa gugup, namun dia berusaha tetap tenang. “Ada apa, Bu?”
“Oh, cuma ingin membicarakan tentang kegiatan kelas saja. Ayo, sebentar saja,” jawab Bu Tanti sambil menggiringnya ke ruang BK.
Di dalam ruang BK, Bu Tanti segera mengunci pintu dan menggunakan hipnotis yang telah diajarkan oleh Sari. Perlahan-lahan, tatapan Dimas mulai kosong, pikirannya dikuasai, dan ia menjadi patuh pada semua perintah yang diberikan Bu Tanti.
Pelarian dan Pertolongan
Ketika Dimas dan Nisa tak kunjung kembali, Rangga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bergegas mencari mereka di seluruh sekolah, namun hasilnya nihil. Tanpa pikir panjang, Rangga segera menyelinap keluar dari sekolah dan berlari sejauh mungkin.
Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota, tempat yang sepi dan jauh dari hiruk-pikuk sekolah. Di sana, ia bertemu seorang pria tua yang duduk di depan rumahnya, tampak sedang merapikan kayu bakar.
“Maaf, Pak… saya sedang butuh bantuan,” ucap Rangga dengan napas tersengal-sengal.
Pria tua itu menatap Rangga dengan mata tajam namun penuh rasa ingin tahu. “Ada apa, Nak? Kenapa kelihatan ketakutan begitu?”
Rangga mengatur napasnya dan berkata dengan suara pelan, “Ada yang tidak beres di sekolah kami, Pak. Teman-teman saya… mereka ditangkap, dan mungkin dalam bahaya.”
Pria tua itu mengangguk pelan, seolah memahami situasi yang dihadapi Rangga. “Mari masuk, Nak. Kita akan bicarakan ini di dalam,” ucapnya sambil mengajak Rangga ke dalam rumahnya yang sederhana namun nyaman.
Di dalam rumah itu, Rangga menceritakan segala hal yang telah terjadi di sekolah, mulai dari perubahan pada siswa dan guru hingga peristiwa terakhir di mana ia harus melarikan diri.
Pria tua itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Rahman, mendengarkan dengan seksama, lalu berkata dengan nada tenang, “Nak, mungkin yang kau hadapi bukan orang-orang biasa. Tapi jangan khawatir. Saya akan membantumu mengungkap kebenaran.”
Rangga merasa lega dan aman, meski ancaman masih ada di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ku seorang Pedofil
Teen FictionSari, gadis 12 tahun, dititipkan pada Tante Vira dan Om Surya saat orangtuanya pergi ke luar kota. Awalnya, semuanya tampak normal, hingga suatu malam Sari memergoki Om Surya menggendong seorang gadis kecil tak sadarkan diri. Saat Sari hendak bertan...