Bab 4. berjalan-jalan di akhir pekan

271 6 0
                                    

Pagi itu, matahari baru saja menyembul dari balik bukit, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah muda yang indah. Suara burung berkicau riang menyambut hari baru, sementara embun masih membasahi dedaunan dan rerumputan di sekitar halaman rumah Tante Vira. Di dalam rumah, Sari sedang duduk di ruang tamu sambil menikmati semangkuk bubur ayam yang disiapkan oleh Tante Vira.

"Hari ini kita ke taman ya, Sari? Seperti janji Tante," kata Tante Vira dengan senyum hangat sambil menyiapkan minuman di dapur.

Sari mengangguk bersemangat. "Iya, Tante! Aku sudah nggak sabar. Katanya tamannya besar banget, ya?"

Tante Vira berjalan mendekat sambil membawa dua gelas teh hangat. "Iya, tamannya luas, ada danau kecil juga di sana. Kamu pasti suka. Kamu bisa main sepuasnya hari ini."

Hari itu adalah hari Minggu, hari yang ideal untuk keluarga berkumpul dan berlibur bersama. Sari berusaha melupakan kejadian aneh semalam, di mana Om Surya terlihat menatapnya dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Pikirannya mencoba fokus pada rencana hari ini-jalan-jalan bersama Tante Vira dan Om Surya, menikmati waktu liburan di tempat wisata terdekat.

Tidak lama kemudian, Om Surya turun dari lantai atas, mengenakan kaus polo dan celana jeans. "Sudah siap, semuanya?" tanyanya dengan senyum lebar, seolah-olah tidak ada yang salah.

Sari menoleh sekilas, mengangguk. Meski tatapan anehnya semalam masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tetap tenang. "Iya, Om. Aku sudah siap."

Tante Vira menyusul dan menepuk pundak Sari. "Ayo, kita jalan. Kalau kesiangan nanti tamannya ramai."

Mereka pun keluar dari rumah dan menuju mobil yang sudah diparkir di garasi. Sepanjang perjalanan menuju tempat wisata, suasana di dalam mobil cukup nyaman. Tante Vira dan Sari berbincang riang tentang rencana mereka hari itu, sementara Om Surya mengemudi dengan tenang, sesekali menimpali obrolan mereka.

Tiba di taman wisata, udara segar langsung menyambut mereka. Pemandangan taman yang hijau dan rapi membuat suasana semakin menyenangkan. Di tengah taman, ada danau kecil yang tenang, memantulkan bayangan pepohonan di sekitarnya. Di kejauhan, terlihat keluarga-keluarga lain yang sedang duduk-duduk santai atau bermain di area terbuka.

"Wah, tamannya indah banget, Tante!" seru Sari dengan mata berbinar, langsung berlari kecil menuju area bermain.

Tante Vira tertawa melihat semangat keponakannya itu. "Hati-hati ya, jangan terlalu jauh!"

Sementara itu, Om Surya berjalan sedikit terpisah dari mereka. Matanya menyapu area taman, mencari sesuatu yang menarik perhatiannya. Pandangannya kemudian tertuju pada seorang anak gadis kecil, kira-kira berusia sepuluh tahun, yang duduk sendirian di bangku taman dekat danau. Wajahnya cantik, dengan rambut panjang terurai dan mengenakan gaun berwarna merah muda.

Om Surya memperlambat langkahnya, mendekati gadis kecil itu dengan senyuman ramah. "Hai, kamu sendirian di sini?"

Gadis itu menoleh, tampak terkejut, namun kemudian tersenyum ragu. "Iya, Om. Teman-temanku tadi sudah pulang duluan."

Om Surya duduk di sebelah gadis itu, berpura-pura tertarik pada obrolan ringan. "Nama kamu siapa, dek?"

"Lina, Om," jawabnya polos sambil memandang ke arah danau.

Mereka berdua mulai mengobrol ringan. Om Surya tahu cara membangun kepercayaan anak-anak, suaranya lembut dan ramah, membuat Lina merasa nyaman. Namun, tanpa disadari oleh gadis kecil itu, Om Surya perlahan-lahan mengeluarkan jarum kecil dari sakunya. Dengan cepat, ia menusukkan jarum itu ke lengan Lina.

"Aduh!" Lina terkejut, menatap lengannya yang terasa perih.

Om Surya dengan cepat berpura-pura cemas. "Aduh, maaf, mungkin ada serangga. Sini Om lihat."

Lina yang tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres, mempercayai Om Surya. Saat Om Surya memegang lengannya, mulutnya bergerak pelan, membaca sesuatu yang tidak terdengar jelas. Sesaat kemudian, mata gadis kecil itu mulai terlihat sayu, seolah-olah ada kekuatan yang menarik kesadarannya.

"Kamu baik-baik saja, Lina?" tanya Om Surya dengan suara yang terdengar seperti bisikan halus.

Lina mengangguk pelan, namun tatapannya kini kosong. Om Surya tersenyum puas, mengetahui bahwa gadis kecil itu kini berada di bawah pengaruhnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan, Om Surya berbisik ke telinga Lina, memberikan sugesti.

"Kamu akan ikut aku. Lihat di sana, ada mobil di parkiran. Kamu ke sana, bersembunyi di dalam bagasi mobil dan tunggu aku."

Lina mengangguk tanpa ragu dan bangkit dari tempat duduknya. Dengan tatapan kosong, ia berjalan menuju parkiran, sementara Om Surya memperhatikan dari kejauhan dengan senyum tipis di wajahnya. Beberapa saat kemudian, Om Surya bergabung kembali dengan Tante Vira dan Sari, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Sore itu, mereka kembali ke rumah. Sari tampak ceria dan puas setelah seharian bermain di taman. Namun, di balik keceriaan itu, ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan. Setiap kali ia melihat Om Surya, rasa cemas itu muncul kembali.

Malam hari, ketika semua orang sudah terlelap, Sari masih terjaga. Ia belum terbiasa tidur di rumah Tante Vira, terutama setelah perasaan aneh yang ia alami sejak semalam. Sari mendengar suara langkah kaki mengendap-endap di lorong, melewati depan kamarnya. Jantungnya berdebar kencang.

"Siapa itu?" gumam Sari, setengah berbisik.

Ia memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya, mengikuti sumber suara tersebut. Saat tiba di ujung lorong, matanya melebar terkejut. Di depan sebuah kamar, Om Surya terlihat menggendong seorang anak gadis-Lina, gadis kecil yang ia lihat di taman tadi siang. Lina terlihat tidak sadarkan diri, terkulai lemas di pelukan Om Surya.

"Om Surya...!" seru Sari, suaranya tertahan antara terkejut dan takut.

Om Surya menoleh dengan cepat, ekspresinya berubah dingin dan menyeramkan. "Kamu nggak seharusnya lihat ini," gumamnya dengan suara rendah.

Sebelum Sari sempat berteriak, Om Surya melangkah cepat ke arahnya, menyekap mulutnya dan membiusnya hingga pandangan Sari mulai menggelap.

---

Beberapa saat kemudian, Sari tersadar di dalam ruangan yang remang-remang. Ia terikat di kursi, mulutnya disumpal. Cahaya lilin menerangi ruangan, memperlihatkan sosok Om Surya yang sedang berdiri di depan altar kecil. Lina dibaringkan di lantai di depannya, dan Om Surya terlihat melantunkan sesuatu dengan suara yang tidak jelas. Sari menggeliat, mencoba melepaskan diri, namun ikatan di tangannya terlalu kuat.

Di tengah ritual itu, Karena Sari yang tidak bisa tenang, membuyarkan konsentrasi Om Surya ketika sedang menjalani ritual, lalu sesuatu yang aneh terjadi. Kabut tebal tiba-tiba muncul dari sudut ruangan, mengelilingi tubuh Om Surya. Ia terlihat panik, berusaha melawan kabut itu, namun sia-sia. Kabut itu semakin menebal, melingkupi Om Surya dan tubuh Sari. Hingga beberapa saat kemudian, semuanya menjadi gelap.

---

Ketika Sari tersadar, ia menemukan dirinya masih terikat di kursi, namun ruangan itu sudah sunyi. Om Surya tergeletak pingsan di lantai, sementara Lina masih berbaring tak bergerak. Dengan susah payah, Sari berhasil melepaskan ikatan di tangannya dan berdiri. Namun saat ia melihat pantulannya di cermin, ia terkejut.

"Ini... bukan aku," gumamnya, menyadari sesuatu yang mengerikan telah terjadi.

Om Ku seorang PedofilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang