Bab 3. Bayangan di Malam Hari

290 9 0
                                    

Malam itu, langit di atas rumah Tante Vira terlihat kelam. Awan hitam menggantung berat, menyembunyikan sinar bulan yang biasanya menerangi halaman rumah yang cukup luas. Rumah bergaya klasik dengan cat putih yang sudah mulai pudar itu tampak tenang di luar, tapi di dalamnya, ada sesuatu yang mengintai, membuat atmosfer terasa lebih suram.

Sari sudah bersiap tidur di kamar tamu yang disediakan oleh Tante Vira. Kamar itu terletak di ujung lorong lantai atas, jauh dari kamar utama di mana Tante Vira dan Om Surya tidur. Meski kecil, kamar itu cukup nyaman. Dindingnya dicat dengan warna krem yang lembut, dipenuhi foto-foto keluarga dan lukisan pemandangan alam. Tirai di jendela berwarna putih, melambai pelan terkena angin malam yang masuk melalui celah-celah kecil di jendela yang tak sepenuhnya tertutup.

Sari duduk di atas tempat tidur, memeluk bantalnya sambil menatap layar ponsel. Ia sedang menonton video-video lucu di YouTube untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sepi. Biasanya, di rumahnya sendiri, Sari selalu ditemani oleh suara orang tuanya yang bercanda di ruang keluarga atau suara TV yang menyala. Namun di rumah Tante Vira ini, suasana terasa berbeda—lebih tenang, bahkan mungkin terlalu tenang untuk seleranya.

Ketika Sari mulai merasa mengantuk, suara langkah kaki terdengar samar dari lorong. Ia mengernyit, mencoba mendengarkan lebih jelas.

"Tante Vira...?" gumamnya pelan, memanggil tanpa suara penuh keyakinan.

Tidak ada jawaban. Langkah itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Sari menegakkan tubuhnya, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Suara pintu yang berderit pelan terdengar, dan Sari menahan napas.

Perlahan-lahan, pintu kamar terbuka, dan di balik pintu itu muncul sosok Tante Vira, tersenyum lembut seperti biasanya.

"Sari, sudah mau tidur?" tanya Tante Vira dengan suara yang penuh kelembutan, khas seperti seorang ibu.

Sari tersenyum lega, kemudian mengangguk. "Iya, Tante. Lagi siap-siap mau tidur. Tadi aku denger ada yang jalan, kirain siapa..."

Tante Vira tertawa kecil, sambil masuk ke dalam kamar. "Mungkin itu Om Surya, dia tadi kayaknya belum tidur. Kamu nggak apa-apa kan di sini sendirian? Kalau takut, kamu bisa tidur di kamar Tante, loh."

Sari menggeleng. "Nggak apa-apa, Tante. Kamarnya nyaman kok."

Tante Vira mendekati tempat tidur Sari, duduk di tepinya dan mengelus rambut keponakannya itu dengan sayang. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang Tante ya. Tante sama Om Surya ada di sebelah. Besok pagi kita jalan-jalan, bagaimana? Ke taman kota, terus kita makan es krim."

Mata Sari berbinar. "Wah, seru tuh! Aku mau, Tante."

Mereka berdua tersenyum, dan suasana yang tadinya sedikit tegang menjadi lebih ringan. Setelah berbasa-basi sebentar, Tante Vira akhirnya pamit keluar kamar. Namun, saat pintu hampir tertutup, Sari masih sempat melihat sosok Om Surya melintas di lorong. Wajahnya terlihat serius, matanya sedikit menyipit saat melirik ke arah kamar Sari. Tapi kali ini, Sari merasa tatapan itu hanya sesaat, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sari menarik selimutnya, memejamkan mata, berharap bisa segera terlelap. Tapi entah mengapa, malam itu terasa berbeda. Ada hawa dingin yang menyusup lewat celah jendela, membuat bulu kuduknya sedikit berdiri. Sari membuka matanya kembali, memandangi langit-langit kamar yang dihiasi cahaya lampu redup. Detik demi detik berlalu, namun kantuk tak kunjung datang.

Tiba-tiba, suara pintu berderit terdengar lagi. Jantung Sari berdetak lebih cepat. Apakah itu Tante Vira lagi?

Sari mengangkat kepalanya, menatap pintu yang sedikit terbuka. Kali ini, bukan Tante Vira yang muncul, melainkan sosok bayangan gelap yang lebih tinggi dan besar. Sosok itu berdiri diam di ambang pintu, hanya diterangi sedikit oleh cahaya remang dari lorong.

"Om Surya...?" tanya Sari dengan suara bergetar.

Sosok itu tidak menjawab, hanya diam sambil terus menatapnya. Dalam kegelapan, Sari bisa merasakan ada yang tidak beres. Jantungnya berdetak semakin kencang, dan tangannya mulai gemetar.

"Om Surya... kenapa di sini?" tanyanya lagi, mencoba memecah keheningan yang membuat suasana semakin mencekam.

Akhirnya, Om Surya melangkah masuk ke dalam kamar. Langkahnya lambat, hampir tidak bersuara. Sari bisa melihat dengan lebih jelas sekarang. Wajah Om Surya terlihat berbeda—serius, matanya menyipit, dan senyuman tipis tergurat di bibirnya. Tatapan itu membuat Sari merasa tidak nyaman, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan.

"Sari..." suara Om Surya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Sari menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Om... ada apa?"

Om Surya mendekat ke tempat tidur, dan Sari secara refleks mundur sedikit, merapatkan tubuhnya ke dinding. Tatapan Om Surya begitu intens, dan semakin dekat ia mendekat, semakin jelas terlihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Kamu sudah besar sekarang, ya..." Om Surya menggumam, suaranya terdengar aneh, seperti orang yang sedang berbicara kepada dirinya sendiri. "Kamu cantik sekali..."

Sari merasakan hawa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Kalimat itu terdengar sangat tidak pantas, apalagi keluar dari mulut Om Surya, suami dari Tante Vira. Ia terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Semua yang terjadi terasa begitu tiba-tiba dan membingungkan.

"Om... Om Surya, kenapa ngomong begitu?" tanya Sari dengan suara pelan dan gemetar.

Namun Om Surya hanya tersenyum aneh. Tangannya bergerak, dan Sari melihatnya mulai mengulurkan tangan ke arahnya. Ia merasa tubuhnya kaku, tidak mampu bergerak.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan keras dari luar kamar. Pintu yang sedikit terbuka didorong hingga terbuka lebar, dan di ambang pintu berdiri Tante Vira.

"Mas, kamu ngapain di sini?" suara Tante Vira terdengar tajam dan penuh kecurigaan. Wajahnya tampak kaget melihat suaminya berada di kamar tamu larut malam.

Om Surya tersentak, segera menarik tangannya dan berbalik ke arah istrinya. "Oh, aku... aku cuma ngecek Sari. Mau pastikan dia baik-baik saja," jawabnya cepat, meski nada suaranya terdengar gugup.

Tante Vira menatap suaminya dengan tatapan yang sulit dibaca, namun ia tidak mengatakan apapun lagi. Ia kemudian melangkah masuk dan berdiri di samping tempat tidur Sari.

"Mas, lebih baik kamu istirahat aja. Udah malam," kata Tante Vira pelan namun tegas.

Om Surya tersenyum kaku, lalu mengangguk. "Iya, iya... aku mau tidur sekarang," katanya sambil melangkah keluar dari kamar. Namun sebelum benar-benar keluar, ia sempat melirik Sari sekali lagi dengan tatapan yang sulit diartikan.

Begitu Om Surya pergi, suasana kamar kembali hening. Tante Vira duduk di tepi tempat tidur, menatap Sari dengan tatapan lembut namun penuh kekhawatiran.

"Kamu nggak apa-apa, Sari?" tanyanya, suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya.

Sari mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, ia masih merasa cemas. "Aku nggak apa-apa, Tante."

Tante Vira menepuk tangan Sari dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, kamu bilang Tante, ya. Jangan sungkan. Tante sayang sama kamu."

Sari hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Tante."

Setelah itu, Tante Vira berdiri dan menutup pintu kamar, memastikan Sari bisa beristirahat dengan tenang. Namun malam itu, meski Tante Vira sudah pergi, Sari tidak bisa tidur. Bayangan wajah Om Surya yang mendekat, tatapan dingin dan senyumannya yang aneh, terus menghantui pikirannya. Sesuatu yang tak terucapkan mengisi ruangan itu—sebuah peringatan bahwa malam ini bukan sekadar malam biasa.

Om Ku seorang PedofilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang