Pagi itu, suasana sekolah kembali normal di permukaan. Namun, di bawah permukaan, rencana yang disusun Anton melalui tubuh Bu Rina dan Sari semakin gelap. Para guru dan siswa yang terhipnotis oleh Sari, sekarang menjadi alat tanpa sadar untuk tujuan jahat mereka. Di balik pintu tertutup ruang BK, Sari dan Bu Tanti siap menghadapi orang tua siswa yang kemarin berani memprotes perubahan di sekolah.
Beberapa orang tua terlihat duduk dengan tegang, berusaha memahami situasi yang tak masuk akal ini. Sari berdiri di depan mereka, menatap satu per satu wajah cemas para orang tua dengan tatapan dingin.
"Baiklah, Bapak dan Ibu sekalian," ucap Sari, suaranya terdengar lembut namun penuh kontrol. "Saya tahu Anda semua peduli dengan pendidikan anak-anak Anda. Namun, kurikulum yang kami terapkan di sini sesungguhnya adalah untuk kebaikan mereka, agar lebih siap menghadapi dunia nyata."
Seorang ibu mencoba membantah, "Tapi kenapa anak saya jadi berubah? Dia yang dulu baik dan rajin, sekarang berubah menjadi kasar dan tidak sopan."
Sari tersenyum kecil, melirik Bu Tanti yang sudah bersiap di belakang mereka. Tanpa ragu, ia mulai mengarahkan kekuatan hipnotisnya, perlahan-lahan menembus pertahanan pikiran para orang tua itu, satu per satu.
Proses Hipnotis Orang Tua
Dengan suara yang lembut namun mendesak, Sari mulai menanamkan sugesti ke dalam benak mereka. "Bapak dan Ibu, ketahuilah bahwa perubahan ini adalah proses yang sangat normal. Anak-anak kita butuh ruang untuk berekspresi dan menemukan jati diri mereka. Bukankah kita ingin mereka bahagia dan berani menghadapi masa depan?"
Para orang tua mulai terdiam, tatapan mereka berubah, seperti terhipnotis oleh kalimat Sari yang terdengar masuk akal. Bu Tanti ikut melontarkan kalimat sugestif yang semakin melemahkan protes mereka.
"Sekolah ini memberikan kesempatan bagi anak-anak Anda untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri," lanjut Bu Tanti. "Bukankah lebih baik mereka mendapatkan pendidikan ini daripada terkekang aturan kuno yang membatasi kreativitas mereka?"
Tatapan para orang tua itu mulai kosong, pikiran mereka sepenuhnya tunduk pada kata-kata Sari dan Bu Tanti. Sedikit demi sedikit, protes mereka mereda, digantikan dengan senyuman samar yang mencerminkan persetujuan yang tak lagi alami.
Seorang ayah yang tadi terlihat marah akhirnya tersenyum tipis, dan dengan nada yang kini terdengar aneh baginya sendiri, berkata, "Anda benar, Bu Sari... Mungkin saya terlalu kaku selama ini. Saya pikir, ini memang untuk kebaikan anak saya."
Satu per satu orang tua yang tadinya melawan, kini keluar dari ruang BK dengan pikiran yang telah diubah, meninggalkan sekolah dengan dukungan yang tak wajar terhadap kurikulum aneh yang diterapkan.
---
Di dalam ruang tertutup, di bawah cahaya lampu kuning redup, Sari berdiri di depan Dimas dan Nisa yang duduk terikat di kursi. Wajah keduanya tampak lelah dan ketakutan setelah tertangkap dalam upaya penyelidikan yang gagal. Di belakang Sari, Anton berdiri dengan seringai puas, memastikan bahwa Sari melaksanakan tugasnya dengan sempurna.
Sari menatap mereka dengan tatapan yang dalam dan penuh kekuatan. "Dimas, Nisa... Saat ini, aku akan membantumu menemukan 'dirimu' yang sebenarnya," ucapnya, suaranya begitu lembut namun terbungkus kekuatan yang perlahan menembus pikiran keduanya.
Sari berjalan mendekat ke Dimas, menatap mata pemuda itu dengan intens. Dengan nada yang lembut dan dalam, ia mulai berbicara.
"Dimas, dengarkan aku," ucapnya dengan suara yang seperti berbisik, namun penuh kuasa. "Di dalam dirimu, ada hasrat yang belum pernah kau sadari. Kau selalu mencoba menjadi pribadi yang baik, mengendalikan keinginanmu, tetapi itu hanyalah topeng, Dimas. Topeng yang kau pakai untuk menutupi siapa dirimu yang sebenarnya."
Dimas menatap Sari dengan pandangan kosong, tubuhnya mulai merelaksasi, wajahnya yang semula penuh ketegangan perlahan melunak. Kata-kata Sari mulai menguasai pikirannya, meruntuhkan pertahanan terakhir dalam dirinya.
"Kau tahu, Dimas," lanjut Sari, "di dalam dirimu, ada dorongan yang begitu kuat untuk meraih apa yang kau inginkan. Kau selalu merasa tertahan, bukan? Kau ingin lebih bebas, lebih berani mengekspresikan dirimu... terutama pada wanita. Tak perlu merasa malu. Kau hanya perlu jujur pada dirimu."
Dimas perlahan mengangguk, seperti menerima kebenaran yang baru. "Ya... aku... aku selalu merasa seperti itu," gumamnya dengan suara pelan, seolah-olah menemukan sisi baru dalam dirinya.
"Kau akan membiarkan dirimu menjadi pribadi yang penuh hasrat, Dimas. Kau tak akan ragu mengejar apa yang kau inginkan. Hasratmu terhadap wanita akan menjadi kekuatanmu. Kau akan merasa semakin nyaman dengan dorongan itu, seperti bagian alami dari dirimu."
Sari menatap Dimas, yang kini sudah sepenuhnya terpengaruh. Pandangannya perlahan berubah menjadi tatapan intens, seperti sedang melihat dunia dengan cara yang berbeda. la menoleh pada Nisa yang duduk di sebelahnya, pandangannya penuh keinginan.
Sari kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Nisa, yang terlihat masih melawan dengan sisa-sisa ketakutan. Sari berjalan pelan mendekat ke arah gadis itu, hingga jaraknya sangat dekat, membuat Nisa tak punya pilihan selain menatap langsung ke dalam matanya.
Nisa, kau terlalu sering menahan dirimu, berusaha menjadi orang yang baik di mata semua orang," bisik Sari. "Selalu tampil manis, berusaha disenangi... tapi apa kau benar-benar bahagia dengan itu?"
Nisa menggigit bibirnya, menahan diri dari dorongan untuk berbicara. Namun, tatapan Sari yang kuat dan suara lembutnya mulai menyusup ke dalam pikirannya.
"Dengarkan, Nisa... Dalam dirimu, ada keinginan untuk menjadi lebih dari sekadar gadis manis. Kau punya hasrat yang tak pernah kau ungkapkan. Kau ingin menjadi sosok yang berbeda, yang menarik, yang bebas mendekati siapa saja yang kau inginkan-bahkan mereka yang terikat dengan orang lain."
Nisa menggigil, kata-kata itu mulai melemahkan pertahanan batinnya.
"Kau tak perlu lagi berpura-pura, Nisa. Kau adalah seorang penggoda. Kau bisa menarik perhatian pria, bahkan mereka yang sudah memiliki pasangan. Dan kau tahu apa? Itu yang membuatmu istimewa. Kau akan merasa nyaman dengan dirimu yang baru ini, yang tak terikat dengan batasan dan aturan."
Seiring kalimat demi kalimat yang dilontarkan Sari, tatapan Nisa yang semula takut perlahan berubah. Senyumnya muncul, tipis namun penuh makna, seolah mengakui kebenaran dari tiap sugesti yang diberikan Sari.
Sari mundur, memperhatikan keduanya dengan senyum puas. Dimas kini duduk dengan tatapan penuh keinginan yang tak terbendung, menatap Nisa seperti seorang pemangsa yang menemukan mangsanya. Sementara itu, Nisa menoleh pada Dimas, wajahnya memancarkan ekspresi menggoda dan penuh daya tarik.
Sari menatap Anton yang berdiri di sudut ruangan, dan mengangguk. "Lihat, Anton. Mereka sudah siap menerima diri mereka yang baru."
Dimas, yang sudah sepenuhnya berubah oleh hipnotis Sari, perlahan bangkit dari kursinya, menatap Nisa dengan pandangan intens yang dipenuhi nafsu. Dia berjalan mendekati Nisa, mengulurkan tangan, dan Nisa menerima uluran itu dengan senyuman lembut.
"Dimas..." Nisa membisik pelan, tangannya menyentuh bahu Dimas dengan gerakan pelan namun penuh kehangatan. Keduanya seakan saling memahami, menerima perubahan diri mereka masing-masing tanpa pertanyaan.
Anton tertawa kecil melihat hasil yang begitu memuaskan. "Kerja bagus, Sari. Mereka berdua kini sepenuhnya berada dalam kendali kita."
Surya yang bersemayam dalam tubuh Sari tersenyum penuh kemenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ku seorang Pedofil
Teen FictionSari, gadis 12 tahun, dititipkan pada Tante Vira dan Om Surya saat orangtuanya pergi ke luar kota. Awalnya, semuanya tampak normal, hingga suatu malam Sari memergoki Om Surya menggendong seorang gadis kecil tak sadarkan diri. Saat Sari hendak bertan...