Pagi itu, sinar matahari tertutup kabut tipis yang menambah aura kelabu di lingkungan sekolah Sari. Di tengah murid-murid yang lalu lalang, suasana sekolah nampak kacau dan jauh dari kondisi biasa. Di sudut-sudut halaman, dinding-dinding penuh coretan kata-kata kasar dan tidak senonoh, sementara area taman dan koridor sekolah bertebaran sampah tanpa pengawasan. Beberapa siswa tampak bercanda seenaknya, merokok, bahkan beberapa dengan seragam yang kusut dan sobek. Suasana ini jauh dari disiplin yang seharusnya tercermin dalam sekolah.Di depan gerbang sekolah, tujuh orang berjubah putih terlihat berjalan memasuki halaman, dipandu oleh Rangga, murid teladan yang tampak waspada. Bersama kelompoknya, Rangga mendekati rombongan yang dipimpin oleh Pak Hardi dan Pak Rahman, dua orang ahli spiritual dari padepokan yang bertugas menjaga keseimbangan dunia dari gangguan makhluk gaib.
Pak Hardi menatap geram kondisi sekolah yang diluar dugaannya. "Sungguh tidak disangka kalau keadaannya sudah separah ini," ujarnya dengan suara rendah, mencoba menahan amarah.
Pak Rahman mengangguk serius, tatapannya menyapu setiap sudut yang terabaikan. "Jika dibiarkan, pengaruh ini akan semakin kuat dan bisa menjalar ke lingkungan yang lebih luas."
"Pak Hardi, Pak Rahman," panggil Rangga tiba-tiba, nadanya penuh penyesalan. "Maafkan saya, saya juga merasa bertanggung jawab. Teman-teman saya... mereka... tidak seperti ini sebelumnya."
Pak Hardi mengangguk menenangkan, "Jangan merasa bersalah, Rangga. Ini di luar kendali kita. Yang terpenting, sekarang kita harus bergerak cepat."
Tanpa buang waktu, Pak Rahman dan beberapa anggotanya segera berjalan ke tengah halaman sekolah, mendekati sekelompok siswa yang terlihat bercanda tak terkendali sambil merokok. Dengan tenang, Pak Rahman menepuk pundak salah satu dari mereka dan dalam sekejap, siswa itu langsung kehilangan kesadaran, tubuhnya terkulai lemas. Perlahan, mereka menyentuh satu per satu siswa yang terlihat berbeda dari biasanya, membuat mereka tidak sadarkan diri dengan sentuhan penuh kekuatan spiritual.
Namun, aksi mereka tidak luput dari perhatian beberapa guru yang terpengaruh. Bu Tanti, guru BP, bersama kepala sekolah, Pak Rama, yang juga tampak terganggu dan terpengaruh, segera berlari menghampiri Pak Hardi dan timnya.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa kalian berani-beraninya mengusik sekolah ini?" tanya Pak Kepala sekolah, Rama, suaranya marah, namun matanya terlihat kosong, seolah dikuasai sesuatu yang bukan dirinya.
Pak Hardi menatapnya penuh wibawa. "Kami di sini untuk mengembalikan sekolah ini ke dalam keadaan normal. Kami tak akan membiarkan pengaruh gelap menguasai para siswa."
Tanpa ragu, Pak Hardi mengangkat tangannya, dan dalam sekejap Pak Rama dan Bu Tanti terkulai tak sadarkan diri. Pak Rahman yang berdiri di sebelahnya menepuk bahu Pak Hardi, tanda bahwa mereka harus terus melangkah lebih dalam untuk mencari sumber kekacauan.
Di koridor, Rangga yang memandu Pak Rahman tiba-tiba berhenti mendadak, wajahnya pucat. Di hadapannya, terlihat sahabatnya, Dimas, bersama beberapa siswi yang tengah berbuat hal tak senonoh di dalam kelas. Pakaian berserakan di lantai, dan mereka semua tampak tanpa kesadaran, melakukan tindakan yang bukan mencerminkan diri mereka.
"Dimas! Sadar, lo!" Rangga berteriak kencang, wajahnya dipenuhi emosi yang campur aduk antara jijik dan marah.
Namun, Dimas hanya menatapnya dengan pandangan kosong, seolah tak mengenali Rangga.
Pak Rahman melangkah maju, lalu menyentuh wajah Dimas dengan lembut. Dalam sekejap, Dimas terkulai tak sadarkan diri, diikuti oleh siswi-siswi lainnya.
"Pak... mereka semua berubah... ini bukan mereka," bisik Rangga, suaranya parau.
Pak Rahman mengangguk paham. "Ada kekuatan yang mencengkeram mereka dengan erat. Kita akan melepaskan mereka semua dari pengaruh ini. Sabar, Rangga. Kita pasti bisa."
Saat mereka berjalan lebih jauh, tiba-tiba seseorang menyentuh tangan Rangga dengan lembut. Rangga menoleh, dan di hadapannya, berdiri Nisa, sahabatnya yang lain, namun dengan penampilan yang begitu menggoda. Bajunya ketat dan tipis, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Dengan senyum genit, Nisa menyentuh pipi Rangga, suaranya manja dan berbisik, "Rangga... sudah lama aku menunggu kamu seperti ini. Mau menemani aku?"
Rangga tersentak mundur, mencoba menarik dirinya dari pesona Nisa yang tak wajar. "Nisa, sadarlah! Ini bukan kamu! Kamu bukan seperti ini!"
Tepat saat itu, Pak Rahman mengangkat tangannya dan dengan sekali usap di wajah Nisa, gadis itu langsung terkulai. Rangga menatap Nisa yang kini tak sadarkan diri dengan perasaan getir.
Di sisi lain, di tempat yang tidak jauh dari sekolah, Anton dan Sari duduk di sebuah ruangan gelap, mendapatkan laporan dari kaki tangan mereka. Mata Anton menyipit mendengar laporan tentang kedatangan sekelompok orang berjubah putih yang tidak dikenal di sekolah, melawan pengaruh yang telah ia tanamkan.
"Siapa mereka? Berani sekali mengganggu wilayah gue?" gumam Anton dengan nada geram.
Surya dalam wujud Sari yang duduk di sampingnya, dengan tatapan dingin, berbisik, "Kita harus ke sana sekarang."
Tanpa buang waktu, Anton dan Surya langsung menuju sekolah. Setibanya di sana, mereka melihat kerumunan siswa yang tak sadarkan diri di tengah halaman, sementara di kejauhan, Pak Hardi dan Pak Rahman tengah memeriksa kondisi sekitar dengan saksama.
Wajah Anton berubah marah begitu melihat sosok Pak Hardi dan Pak Rahman. "Jadi... mereka berdua yang ngerecokin tempat gue?" gumamnya penuh amarah.
Di sampingnya, Sari yang melihat Rangga bersama Pak Rahman juga terkejut. "Rangga... jadi dia yang bawa mereka ke sini? Aku nggak nyangka kalau dia bisa kabur dan malah bawa bala bantuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ku seorang Pedofil
Novela JuvenilSari, gadis 12 tahun, dititipkan pada Tante Vira dan Om Surya saat orangtuanya pergi ke luar kota. Awalnya, semuanya tampak normal, hingga suatu malam Sari memergoki Om Surya menggendong seorang gadis kecil tak sadarkan diri. Saat Sari hendak bertan...