Di sore hari, di lantai kafe, Pansa sedang mendorong kursi roda Love menuju meja mereka kemarin.
"Beneran, Nona? Sampai segitunya?" tanya Pansa, terkejut dengan cerita Love tentang awal-awal karirnya. Keduanya terlihat lebih akrab dari tiga hari lalu, ketika Pansa mulai menjadi perawat pribadi Love.
"Iya, Sus. Sehari dua belas jam aja kami udah bersyukur. Biasanya bahkan tembus enam belas jam latihan."
Pansa geleng-geleng mendengarnya. "Itu latihan apa aja, Nona? Sampai selama itu?"
"Macam-macam. Vocal dan gerakan tari udah pasti. Penguasaan panggung, latihan kebugaran, dan public speaking juga."
Pansa berdecak kagum. Ternyata tidak semudah itu menjadi artis seperti Love. "Saya kira mudah menjadi artis seperti Nona, ternyata sangat sulit."
"Yahhh, yang kalian liat kan cuman yang ditampilin di layar. Di belakang itu kan kalian enggak tahu," ujar Love.
Seorang pelayan menghampiri, lalu mendampingi mereka ke meja kemarin. Suasana kafe tampak tidak begitu ramai sore ini, tidak sampai setengah mejanya terisi. Setelah membantu Love duduk, Pansa segera duduk juga di seberangnya, kali ini tanpa ragu lagi.
"Terus, Nona. Setelah latihan yang melelahkan gitu, kalian belum tentu debut, kan?" tanya Pansa sambil membaca menu.
"Dari sekian banyak trainee, paling kesempatannya cuma sepuluh persen," jawab Love, juga sedang membaca menu yang bertuliskan "chocolate."
Pansa langsung mengangkat wajahnya dan menatap Love dengan wajah terkejut. "Se—sepuluh persen? Itu kecil banget, Nona."
"Dan kamu tau berapa persen yang berhasil sukses, Sus?"
"Berapa, Nona?"
"Coba kamu tebak."
"Lima puluh persen?"
Love tertawa mendengar jawaban polos Pansa. "Kalau sebesar itu, akan ada banyak girlband dan boyband yang seliweran sekarang, Sus." Wajah Pansa merona. "Palingan lima sampai sepuluh persen," jawab Love.
Pansa terkejut lagi. "Se–sekecil itu, Nona?"
"Sekecil itu, Sus. Banyak teman-teman trainee saya yang bahkan enggak pernah debut sampai sekarang." Love membolak-balikkan daftar menu. "Kamu mau pesan apa, Sus?"
"Saya minum aja boleh ya, Nona? Ingat kan, kemarin kita kekenyangan pas makan malam gara-gara Nona pesenin kita kue," ucap Pansa dengan tatapan mengejek.
Love memutar bola matanya, pura-pura lupa. "Enggak ingat tuh."
Pansa memicingkan matanya dan Love tersenyum, lalu mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.
"Terus, apa yang terjadi sama mereka?" tanya Pansa kembali setelah mereka selesai memesan minuman masing-masing.
"Mereka?" tanya balik Love, bingung.
"Para trainee yang gagal debut itu," jelas Pansa.
"Ah. Ya, ada yang ganti profesi lain. Kebanyakan sih sekolah lagi, Sus."
Pansa mengangguk-angguk. "Benar-benar kasihan. Udah ngabisin banyak waktu, tenaga, dan uang, belum tentu debut. Terus setelah debut, belum tentu sukses juga. Mendingan jadi perawat deh," ujar Pansa, terdengar lucu di kalimat terakhirnya.
"Tapi, itu impian mereka di dunia yang gila ini, kan?"
Pansa mengangguk-angguk lagi. "Iya sih. Tapi, tetap aja..."
"Makanya beberapa keluarga ada yang hancur gara-gara itu. Saya beruntung dari keluarga yang kaya dan langsung debut begitu lulus SMA, Sus. Coba kamu bayangkan mereka yang dari keluarga pas-pasan, terus harus biayain anak-anak mereka selama jadi trainee." Love menggetarkan tubuhnya, tanda ngeri. "Makanya saya suka gak dukung kalau ada yang bilang mau jadi artis, apalagi girlband atau boyband. Eh, malah pada bilang saya takut disaingin." Love berdecak kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga-Bunga Kecil
FanfictionSahabat masa kecil yang terpisah akhirnya bertemu kembali saat remaja. Namun, bukannya menjadi akrab kembali, yang satu malah menjadi pelaku pem-buli-an, sedangkan yang satunya lagi menjadi korbannya. Setelah berpisah lagi selama sepuluh tahun, kedu...