Part 7

157 49 5
                                    

Love duduk diam di meja makan, jari-jarinya sesekali mengetuk pelan permukaan kaca. Dia menatap ke arah dapur, di mana Pansa sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Wangi bacon dan sosis yang mulai menggoreng menguar, bercampur dengan aroma segar roti panggang yang baru saja keluar dari pemanggang. Love tersenyum kecil, matanya sesekali melirik teflon berisi telur yang sedang digoreng Pansa. Meskipun suasananya tenang, hati Love terasa hangat karena perhatian kecil itu.

Sambil menunggu, Love merenggangkan ototnya sejenak, masih terasa agak kaku setelah tidur semalaman. Senyumannya merekah ketika dia teringat kembali ucapannya kepada Pansa, hanya sebuah ucapan selamat tidur dan mimpi indah yang sederhana, tetapi terasa sangat bermakna baginya. Apalagi hal terakhir yang dilihatnya sebelum memejamkan mata adalah senyuman dari wanita yang sangat dicintainya itu. Love berharap, momen malam itu akan berlangsung untuk selamanya.

Love meletakkan kepalanya di tangannya yang terulur ke depan. Tatapannya tetap tak lepas dari Pansa yang dengan cermat mengatur porsi, membalik bacon dan sosis dengan teliti. Ada sesuatu yang menenangkan dari pemandangan itu, hanya sebuah kesederhanaan, di mana Pansa dengan penuh perhatian menyiapkan sarapan untuknya, membuat Love merasa dihargai dengan cara yang begitu sederhana, tapi bermakna.

Senyuman Love tak bisa disembunyikannya lagi, itu mengembang begitu saja. Dia merasa ada kehangatan yang meresap ke dalam hatinya, seolah pagi itu adalah miliknya dan Pansa sepenuhnya. Tatapannya lembut mengikuti gerakan Pansa yang sibuk di dapur, dan perasaan bahagia membuncah di dalam dirinya. Love merasa, di saat ini, mereka bukan sekadar perawat dan pasien, tetapi seperti sepasang kekasih yang menikmati pagi bersama.

Saat Pansa membalik telur dadar dengan penuh hati-hati, Love merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sarapan yang sedang disiapkan. Ini adalah perhatian tulus yang membuatnya merasa istimewa. Setiap aroma yang muncul dari dapur, setiap detak waktu yang berlalu, mengisi ruang kosong di hatinya dengan kehangatan yang tak pernah dia sangka akan dirasakannya lagi. Love merasa seperti sedang dalam hubungan, diperlakukan dengan manis, dan dia tahu bahwa momen ini akan menjadi salah satu kenangan yang paling berarti, walaupun suatu hari akan berakhir.

Di dalam hatinya, ada keinginan yang tak bisa dia abaikan. Dia tidak hanya ingin Pansa merawatnya sebagai pasien, Love ingin mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki sebagai teman. Dia ingin melewati batas hubungan perawat dan pasien ini, membawa mereka kembali ke titik di mana mereka bisa berbagi tawa tanpa beban. Namun, lebih dari itu, Love menginginkan sesuatu yang lebih intim. Dia ingin Pansa menjadi kekasih hatinya, orang yang selalu ada di sisinya, baik dalam suka maupun duka.

Namun, setiap kali perasaan itu muncul, bayang-bayang masa lalu datang menghantui. Cinta pertama Love, yang dulunya tersembunyi di balik ejekan dan perlakuan kasar, masih menjadi luka yang belum terobati di antara mereka. Love tahu bahwa Pansa mungkin masih merasakan sakit dari kejadian di masa sekolah, saat Love ikut merundung ‘hanya’ karena diancam oleh teman-temannya. Sekarang, dia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan semua itu, apakah dia harus mengungkapkan semuanya atau menunggu waktu yang tepat. Rasa takut akan penolakan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya membuat Love terjebak dalam dilema yang membebani hatinya setiap kali dia berhadapan dengan Pansa. Seandainya saja Pansa yang menanyakannya terlebih dahulu, apakah dia siap untuk menceritakan semuanya? Apakah dia siap melihat tatapan takut dan jijik dari wanita yang dicintainya itu? Saat sekolah dulu, Pansa pernah bertanya kepadanya, tetapi dia takut dan malah mengusir Pansa dengan kata-kata yang menusuk.

“Nona?” panggil Pansa, yang sudah berdiri di meja makan, sambil menaruh dua piring sarapan untuk mereka.

Love tersentak, lalu mengangkat wajahnya untuk melihat perawatnya.

“Nona kenapa nangis?” tanya Pansa, lalu segera mengambilkan tisu.

“Eh?” Love terkejut lagi, sambil menyentuh pipinya yang terasa basah. Dia menerima tisu dari Pansa lalu mengeringkan air matanya, yang entah sudah mengalir pelan sejak kapan.

Bunga-Bunga Kecil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang