Part 2

143 44 8
                                    

Ruang VVIP A di Rumah Sakit RIH adalah ruang perawatan yang memancarkan kesan mewah namun tetap nyaman. Interiornya dirancang dengan cermat, menghadirkan suasana tenang dengan dominasi warna krem dan putih yang lembut. Tempat tidur pasien di tengah pinggir kiri ruangan adalah jenis elektrik dengan teknologi modern. Di samping tempat tidur, terdapat meja kecil yang rapi dengan vas bunga segar dan telepon yang selalu siap untuk digunakan. Satu set sofa empuk ditempatkan di tengah ruangan, lengkap dengan meja kopi kecil. Di dekatnya ada sebuah meja makan dan dapur kecil di pojoknya. Sebuah ranjang tidur untuk penunggu terletak di sebelah kanan ranjang pasien, hanya berjarak satu meter. Sebuah TV berukuran besar menempel di tembok, tepat di depan ranjang pasien dan penunggu.

Di sebelah kiri, terdapat jendela besar dengan tirai tipis yang membiarkan cahaya masuk, memberikan pemandangan langit dan kota yang menakjubkan. Ruang VVIP ini juga dilengkapi dengan kamar mandi pribadi yang bersih dan modern. Shower air panas-dingin, wastafel yang elegan, dan cermin besar menjadi pelengkapnya. Sebuah lemari pakaian besar berisi berbagai macam perlengkapan pasien terletak di pojok lainnnya. Ruangan seluas enam puluh meter persegi ini, lebih terlihat seperti hotel yang mewah daripada ruang perawatan.

Love duduk bersandar di ranjang rumah sakit, tubuhnya terasa lemah. Di sebelahnya, suara mesin medis berdengung, mengingatkannya bahwa hidupnya masih berjalan meski dia pernah mencoba menghentikannya. Tatapannya kosong, tertuju pada jendela. Di luar, langit tampak gelap, menyatu dengan kegelapan yang akrab di hatinya.

Pikirannya kembali ke malam itu, saat ia merasa harapan telah hilang. Tapi upayanya gagal, dan kini dia terbangun di sini, di ruang yang sunyi. Love tak yakin apakah ini kesempatan kedua atau sekadar perpanjangan dari penderitaan. Hatinya tetap penuh dengan keputusasaan, seolah dia tak lagi punya kekuatan untuk berjuang.

Waktu berlalu tanpa terasa. Love masih menatap jendela, bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang layak diperjuangkan di luar sana. Dalam diam, dia merasa terasing, bahkan dari dirinya sendiri. Meski tubuhnya selamat, jiwanya seakan terjebak di antara hidup dan mati, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari kegelapan ini.

Tiba-tiba, Love mendengar pintu kamarnya terbuka, dan dia langsung melirik jam dinding di atas jendela. Dia sudah hafal dengan jadwalnya. Sebentar lagi seorang perawat akan menaruh nampan makanan di atas meja lipat. Dan seperti biasa, dia akan menyingkirkan nampan tersebut dengan sisa tenaganya yang masih ada. Setelah itu, dia akan berteriak untuk mengusir perawat tersebut. Setidaknya, itu yang bisa dilakukannya saat ini, untuk mempercepat kematiannya.

Sial baginya, selang infus masih menempel di tangan kirinya, dan manusia umumnya bisa bertahan hidup sebulan lebih tanpa makan. Love sadar bahwa dia tak akan bisa mendapatkan kematian yang cepat dan tenang.

“Se—selamat sore, Nona Pattranite.”

Di tengah keheningan itu, sebuah suara lembut tiba-tiba memecah keheningan. Suara itu, meski terdengar samar, terasa akrab dan membuat Love tertegun. Dengan perlahan, dia menoleh, mencari sumber suara itu. Matanya membesar, dan di sana, di pintu kamarnya, berdiri seorang perawat yang pernah menghiasi masa-masa indah dulu.

Love terus memperhatikan perawat yang mulai berjalan mendekati ranjangnya. Seperti sebuah gerakan lambat di film, Love memperhatikan setiap detail gerakan perawat itu. Dengan mulut sedikit terbuka, Love melirik ke atas untuk melihat wajah perawat yang sedang menunduk untuk mempersiapkan makanannya. Dia lalu melirik ke sebuah papan nama kecil yang menempel di dada kanan perawat tersebut.

Pansa.

Nama seseorang yang telah dicarinya selama bertahun-tahun, namun tidak pernah menemukannya. Dan sekarang, tiba-tiba saja orang tersebut muncul di hadapannya. Love seakan tidak percaya ketika membaca tulisan di sana. Dia merasa seperti sedang bermimpi malam itu.

Bunga-Bunga Kecil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang