Gagal

9 3 1
                                    

"APA YANG KALIAN LAKUKAN?" Asto, tangan kanan Walter muncul saat tau Janes dan Jarel tidak melakukan perintah ayahnya. Rupanya, sedari tadi Asto mengawasi keduanya dari ruangan sebelah melalui kamera pengawas yang sengaja dipasang

Kedatangannya membuat si Kembar semakin kesal, bahkan Janes tidak memandang ke arah Asto dan memilih untuk ke arah lain melihat jalanan lewat kaca besar

"Tembak sekarang sebelum mereka pergi" Ucapnya lagi, membuat Jarel menatapnya tidak suka. Ada apa dengan pak tua ini? kenapa emosinya begitu membara seperti dirasuki setan saja. Matanya terlihat merah dan wajahnya begitu berantakan seperti sehabis lari maraton saja

"Kalau kalian tidak ingin melakukannya, biar saya saja" Mendekati ke benda hitam panjang itu, Asto begitu gegabah sampai menembak sembarangan ka langit karena Jarel mendorongnya begitu pelatuk terlepas bebas

"Kau gila pak tua!" Ucap Jarel penuh emosi. Janes yang awalnya tidak ingin ikut campur, mendekat. Dia ambil earphone di telinga Asto dengan paksa lalu menginjaknya agar ayahnya tidak bisa lagi mengatur mereka untuk saat ini

Asto berhasil di lumpuhkan oleh Janes dan Jarel, namun tentu saja dibawah saja terdengar keributan karena suara tembakan berhasil mencuri perhatian orang-orang

"Kalau kau ingin hidup, pergi sekarang dari kota ini. Aku akan memberimu uang" Tawar Janes, meskipun Asto terkenal setia sudah menemani Walter selama 20 tahun yang dimana akan susah untuk bernegosiasi dengannya

"Kau yakin akan selamat jika ayah tau tentang ini? Orang-orang akan segera mendatangi gedung ini dan menemukanmu tergeletak. Otomatis kau yang akan disalahkan dan dipenjara. Ayah tidak akan melihatmu lagi, dan akan melupakan semua kerja kerasmu dengan dia" Dengan keyakinan penuh kata-kata itu muncul dari mulut Jarel

Asto berhasil dibuat panik, keringat membasahi seluruh badannya. Bagaimana jika hidupnya akan hancur setelah ini? Setelah di pikir-pikir lagi, akhirnya Asto mengangguk

"Beri aku uang untuk membeli tiket, aku ingin pergi ke luar negeri. Hidup dengan identitas baru dan berjanji tidak akan mengganggu siapapun lagi" Dengan putus asa Asto memohon kepada Janes dan Jarel

Mengeluarkan kartu atm yang selama dia buat sendiri tanpa sepengetahuan ayahnya, Janes memberikan pesan sebelum menyerahkan kartunya

"Aku punya akses dengan kartu ini, pastikan kau gunakan dengan baik. Kalau kau ketahuan kembali menemui Ayahku.." Menggantung ucapannya, Janes lalu menunjuk ke arah cctv yang terpasar di sudut ruangan "..kau akan abadi di dalam ruangan jeruji" lanjutnya

Asto mengangguk, lalu bergegas berdiri saat Jarel melepaskan cengkramannya. "Terimakasih" Ucapnya sambil berlalu

Janes dan Jarel juga pergi, namun mereka pintar. Membereskan semuanya yang berkaitan dengan mereka. Termasuk jejak kaki dan sidik jari lalu rekaman cctv dan beberapa alat yang mereka gunakan. Tidak sia-sia ilmu mereka di pelatihan. Setidaknya, hari ini tidak ada nyawa yang harus dibayarkan

———

Sementara di depan kantor, seseorang menarik Selena memasuki mobil. Kejadiannya begitu cepat sampai yang lain tidak sadar kalau Selena tidak di kerumunan

Bagusnya, Selena langsung memukul orang itu karena reflek. "Jang-" belum selesai dengan ucapannya, Selena begitu terkejut dengan seseorang yang berada disampingnya "Deysan?" ucapnya, merasa lega? karena bukan orang suruhan Walter yang menariknya. Namun raut wajah Selena masih terlihat kesal, bisa-bisanya dia dibuat hampir jantungan karena ketakutan

Deysan lalu tersenyum, dan membuka topi hitam yang tadi dia pakai. "Maaf aku mengagetkanmu, tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan" Mengerutkan alisnya, Selena mundur begitu tau Deysan ingin mengatakan hal serius

Namun, belum sempat pemuda itu menjelaskan maksudnya, kaca mobil diketuk dengan keras. Lagi dan lagi Selena terkejut dan menoleh ke arah pintu. Deysan yang paham dengan situasi sekarang segera membuka pintunya, dan membiarkan orang itu melihat Selena terlebih dahulu

"YA TUHAN! KU KIRA KAU HILANG LAGI!" Dengan panik Sior membuka pintu mobil dengan keras, melihat Selena yang baik-baik saja dia bernapas lega

"Lalu, dia siapa? Kenapa tidak mengobrol saja diluar?" Tanyanya lagi seperti rentetan wawancara televisi. Pandangannya begitu cepat melihat ke arah gadis itu dan Deysan bergantian

"Apa aku boleh bergabung dengan kalian?" Tanya Deysan, Sior sempat diam. Namun mengangguk kemudian "Tentu saja, asal kau tidak ada niatan untuk menyakiti orang"

Senyum Deysan kembali terlihat, keduanya pun akhirnya turun dari mobil. Terlihat orang-orang tadi memandanginya, ternyata belum masuk ke kantor. Ayah Selena juga terlihat menghembuskan napas lega

Melihat yang dikhawatirkan tidak terjadi, akhirnya mereka memasuki kantor setelah melewati kejadian-kejadian yang melelahkan. "Sania ada didalam, pastikan untuk menenangkannya setelah ini. Dia begitu marah sampai ingin memukulku tadi" kata Roman menyambut mereka, terutama ke Selena yang berjalan paling belakang

"Apa yang kau bicarakan sampai Sania begitu ingin memukulmu Roman?" Tanya Migel yang berjalan di samping Deysan dan juga Selena

"Tidak banyak, hanya menanyakan apa dia selama ini bersikap seperti kak ros di upin ipin selama merawat Selena" Jawab Roman membuat tawa Migel pecah

"Kurang ajar kau Man" ucap Selena berlalu meninggalkan Roman dan Migel yang sedang menampari tubuh Roman pelan karena merasa lucu. Deysan mengekornya seperti anak itik ke induknya

Mereka semua berkumpul, di satu ruangan besar milik kakek Sior. Mendinginkan dan menginstirahatkan badan mereka menyantap makanan yang sebelumnya kakek Sior siapkan jika mereka tiba. Sedangkan Ayah Selena terlihat sedang mengobrol serius dengan kakek Sior dan juga orang yang tadi bersamanya

Selena berada di sebelah Sania. Tangannya digandeng karena Sania tidak ingin adiknya itu kemana-mana lagi tanpanya. Deysan melihatnya dari samping, suasana yang belum pernah dia rasakan selama hidup. Seperti menemukan kehangatan setelah melalui jalanan yang dipenuhi salju dingin

"Perkenalkan kak, dia Deysan. Yang mengantarku pulang saat aku kehilangan arah waktu itu" Mengenalkan Deysan ke Sania. Selena sedikit memundurkan badannya agar Deysan terlihat oleh Sania

"Terimakasih sudah menolong Selena, aku akan menraktirmu kapan-kapan" Dengan senyum tulusnya seperti kakak perempuan, Sania mengulurkan tangannya

Dengan senang hati Deysan sambut "Tidak perlu repot-repot kak, aku senang bisa membantu Selena" Ucapnya tak kalah ramah

Ternyata obrolan mereka menarik perhatian Sior yang duduk di seberangnya. Ternyata bukan Rigo, batinnya. Dia masih penasaran dengan sosok Rigo yang selama ini dia dengar

"Diluar sedang ramai, gedung di sebrang sedang dikeremununi orang-orang" ucap termuda sehabis dari luar untuk membeli beberapa minuman.

Sior, Migel, Roman, Sen dan beberapa teman Sior berdiri untuk melihatnya dari balkon kantor yang lebar. "Itu ulah Walter. Aku sempat melihat anak buahnya keluar dari gedung dengan tergesa-gesa" Terkejut, semua yang ada disana dibuat terkejut dengan apa yang baru saja Marro katakan

Ayah dari Selena itu berhasil memecah keheningan, membuat Roman dan Sen kehebohan "Wah benar-benar sudah bukan otak manusia lagi itu Walter, bagaimana dia bisa menggunakan cara licik sepertu itu"

"Walter memang dari kecil selalu berusaha mendapatkan apapun yang dia mau meskipun itu bukan untuknya. Apapun caranya sebisa mungkin dia harus mendapatkannya. Aku tahu karena dia adikku"

Lagi, orang-orang dalam ruangan dikejutkan dengan fakta baru. Untuk yang belum tahu pasti sangat terkejut, berbeda dengan Sior Migel dan Selena yang hanya menyimak tanpa ekspresi

"Wah, ternyata kita berada di perang saudara"  Celetuk Roman

"Ku harap aku bisa segera menghentikan Walter dan juga anak buahnya. Dengan bantuan kalian" Ucap Marro menatap orang-orang disekelilingnya termasuk kakek Sior, mengharapkan kesetujuan

...








note : halo teman-teman!
gara-gara senin banyak banget kerjaan
sampai lupa buat up part ini, gomenasai ya
selamat membaca juga! see u di part selanjutnya 🫶

Bloodline RivalryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang