Turnamen III

163 14 0
                                    

Happy Reading

Happy Reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


























Ayya yang baru saja membuka mata, langsung tersadar bahwa ia berada di dalam mobil asing bersama seseorang yang tak dikenalnya. Tanpa pikir panjang, ia berteriak, "AYYA DICULIK!" Matanya menatap tajam, tubuhnya bergerak gelisah ingin segera keluar

Shaka, yang duduk di sampingnya, langsung panik melihat Ayya bereaksi seperti itu. Ia mencoba menenangkan Ayya yang semakin rusuh, "Hei, hei, tenang dulu. Gak ada yang nyulik kamu!"

Namun, Ayya yang sudah gelisah malah memukul tangan Shaka saat ia mencoba memegangnya. "Ih, jangan pegang-pegang! Tangan kamu kotor!" serunya, membuat Shaka semakin frustasi

Akhirnya, Shaka hanya bisa menghela napas panjang dan membiarkan Ayya melampiaskan kekesalannya. Setelah beberapa saat, Ayya tampak lelah sendiri, lalu memilih untuk diam, melipat kedua tangannya di dada. Bibirnya maju ke depan, sementara matanya masih menatap Shaka dengan tajam

Shaka melirik ke arah Ayya, memperhatikan tingkahnya yang lucu. Dalam hati, ia tertawa melihat betapa imutnya Ayya saat sedang merajuk. Diam-diam, Shaka ingin sekali mencubit pipi gembul Ayya atau bahkan mencium bibirnya yang tebal

"Udah tantrum-nya?" tanya Shaka, mencoba memancing reaksi

Ayya mendengus sebal. "Gue Shaka. Tadi gue nemuin lo nangis di WC sampai pingsan" jelas Shaka

Ayya langsung terdiam. Ia menyadari siapa yang mungkin menangis di WC tadi-pasti alter egonya Anna. Sambil menghela napas panjang, Ayya mulai merasa lelah dengan sikap Anna yang selalu merepotkan dirinya dan kepribadian lain ayna.

"Udah deh, cepet keluarin Ayya dari sini," katanya cemberut

Shaka menahan senyumnya dan menggeleng pelan. "Gak mau" jawabnya santai

Shaka tak lagi bisa menahan senyum, lalu menunjuk pipinya "Sebagai tanda terima kasih, cium dulu"

Mata Ayya membulat kaget, tapi rona merah terlihat di pipinya. Dengan cepat, ia mengecup pipi Shaka, lalu mundur sambil mendengus, "Dasar mesum!"

Ia tak lupa mencubit perut Shaka sebagai hukuman kecil, membuat Shaka tertawa. Akhirnya, Shaka membuka pintu mobil, membiarkan Ayya keluar dengan wajah yang masih merona

Ayya langsung melompat keluar dari mobil begitu pintu dibuka. Masih dengan ekspresi kesal dan rona merah di pipinya, ia berdiri sambil menatap Shaka dengan tangan terlipat di dada, seakan ingin menegaskan bahwa dirinya benar-benar kesal dengan situasi yang baru saja terjadi

"Dasar mesum! Awas aja aku aduin ke Kak Dewa, wlee!" ejek Ayya sambil menjulurkan lidahnya sebelum berlari meninggalkan parkiran

Shaka hanya bisa terkekeh melihat makhluk kecil yang menggemaskan itu pergi. Ia tak menyangka, orang yang pernah ia tabrak saat turnamen dulu ternyata bisa begitu menggemaskan. Namun, saat ia merenung lebih dalam, Shaka mulai berpikir tentang perubahan sikap pemuda tadi. Mengapa pemuda itu bisa berubah-ubah? Mulai dari Anna yang terlihat lembut dan emosional, hingga Ayya yang genit dan penuh semangat. Pikiran Shaka berkecamuk. Apakah mungkin pemuda tadi memang memiliki kepribadian yang berbeda-beda? Dan... yang mana sebenarnya sosok asli dari diri mereka?

Dalam lamunannya, Shaka tak menyadari bahwa ia masih berada di area parkir. Hingga tiba-tiba, dering telepon menyadarkannya dari posisi melamun

"Kak, gue kecelakaan," terdengar suara Dimas, di ujung telepon. Suaranya terdengar menahan sakit

"Lah, lo di mana sekarang?" tanya Shaka, terkejut dan khawatir

"Di perempatan. Dengkul gue berdarah terus," jawab Dimas sambil meringis kesakitan

Shaka langsung mengangguk meski tahu Dimas tak bisa melihat. "Oke, tunggu, gue langsung ke sana"

****



Kini Shaka dan Dimas berada di ruangan putih dengan bau khas antiseptik yang kuat. Tadi, luka Dimas sudah dijahit, untung saja cederanya tidak serius, hanya lecet di lutut dan beberapa luka ringan akibat gesekan dengan aspal

"Mampus, makanya dibilangin jangan ngebut-ngebut! Kena karma lu. Udah diingetin, sih, batu!" kata Shaka dengan nada setengah kesal, sambil menatap Dimas yang menyengir tanpa rasa bersalah.

"Yaudah sih, namanya juga musibah. Mana ada yang tau," jawab Dimas santai

Shaka mendengus malas, terlalu kesal untuk mendebat lebih jauh, dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Dimas, yang terpaksa memakai tongkat untuk berjalan, tertatih-tatih mengekor di belakang Shaka, berusaha menyusul temannya yang sudah melangkah cepat ke depan

"Kak, tungguin lah! Gue gak bisa jalan cepet," keluh Dimas, berusaha mengejar sambil mengatur keseimbangan

Shaka berhenti sejenak, menoleh ke belakang dengan alis terangkat, kemudian tersenyum setengah mengejek. "Nah, sekarang baru lu tahu rasanya jadi gue waktu ngurusin lu yang bandel. Makanya, jangan sok-sok ngebut lagi!"

Dimas hanya meringis, merasa agak bersalah meskipun tetap berusaha menutupi. "Besok-besok gue pelan deh, Kak. Tapi jangan sampai lo malah ngomel-ngomel panjang lebar"

Di dalam perjalanan pulang, Shaka terdiam. Pikirannya terus memutar ulang kejadian tadi siang. Entah kenapa, bayangan wajah cantik Ayya, dengan segala keunikan dan omelannya, membuatnya merasa rindu. Sikap ceria dan ketus Ayya benar-benar meninggalkan kesan, dan Shaka semakin ingin mendekatkan diri. Namun, ia tahu dirinya bukan tipe orang yang mudah mendekati orang yang disukai. Dalam hal ini, ia benar-benar kaku

"Cara deketin orang kayak gimana, ya?" gumam Shaka, setengah berbicara pada diri sendiri

Dimas, yang duduk di sampingnya, langsung berhenti memainkan ponselnya dan menatap Shaka dengan tatapan terkejut. "Hah? Seriusan, lu naksir seseorang? Anak mana nih yang bikin lo galau?"

Shaka menggeleng, enggan menjawab detailnya. Dimas hanya mendecih sambil menggelengkan kepala, lalu mulai memberikan saran, "Kalau lu suka sama orang, pertama-tama lu harus effort, dong. Ngajak makan kek, atau sekadar temenin dia pas lagi senggang. Terus, pas udah mulai deket, coba ajak dia jalan atau kencan santai. Baru deh, confess. Dijamin jadian!"

Shaka mendengus, tampak skeptis. "Kalau gue ngikutin cara lo, bisa-bisa malah dia ilfeel, Dim"

Dimas hanya terkekeh sambil menepuk bahu Shaka. "Udah, percaya deh, bro. Kadang effort kecil itu yang bikin orang jadi luluh"

Sebenarnya, Shaka merasa skeptis dengan saran Dimas, tapi kata-kata itu terus terngiang di pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Dimas memang terkenal blak-blakan, tapi mungkin kali ini Shaka bisa mempertimbangkan usulannya. Mungkin, kalau dia mencoba menunjukkan perhatian-perhatian kecil, Ayya akan mulai memperhatikannya juga




















*okeiiii tinggal satu chapp lagii turnamen selesaiiii

A Short Piece of Fiction [HeejakeHoon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang