Kesepuluh

125 27 0
                                    

Yesa terbangun dari tidurnya dan ia mengacak ngacak surai pendeknya dengan begitu kuat. Alice di ruang tamu yang sedang asyik menonton televisi segera menghampiri kamar Yesa ketika mendengar suara ranjang berderit.

Dia memimpikan tentang kejadian yang ia alami bagaikan sepotong ingatan nya dengan dia sendiri menjadi peran terbully. Mimpi yang ingin ia buang jauh-jauh itu, dia tidak mau mengingatkan mimpi buruk itu lagi.

Alice mendatanginya sembari menepuk pundaknya perlahan, "kenapa?" Tanyanya sembari mengusap ngusap punggungnya dengan lembut. "Mimpi buruk?"

Ia mengangguk sembari memeluk kedua lututnya, "iya gue mimpi buruk lagi"

"Elo mimpi di bully ya?" Alice menatap miris kearah Yesa. "Keterlaluan..."

"Gue udah nyoba, gue udah nyoba buat ngelupain semua apa yang gue rasain. Gue pengen ngelupain itu semua.. tapi gak bisa..."

Tidak bisa. Dia berusaha memaafkan dan mengikhlaskan tapi tetap saja tidak bisa. Alice menatap dirinya dengan nanar, dan dia tahu sebetulnya dengan apa yang dialami oleh Yesa saat ini. Dia tahu apa yang terjadi pada Yesa.

Ia menatap wajah cantik nya yang tertutupi sebagian rambut kirinya, tatapan nya kosong dengan hati yang tak ada harapan.

"Apa yang elo ucapkan gak mesti sama dengan hati" kesimpulan Alice tentang mimpi yang dialami oleh Yesa.

"Maksud lo?"

"Maksud gue lo ngomong berusaha memaafkan memaafkan tapi hati dan pikiran elo masih belum terima perlakuan mereka"

"Gak tau gue, gue kudu gimana"

Di tengah rasa kebingungan yang Yesa rasakan Alice segera beranjak dari ranjang mengambil sebuah buku yang ada di dalam laci meja belajarnya. Buku Harian dengan motif Bunga Sakura yang kemudian ia sodorkan kepada Yesa bersama dengan tempat pensil yang Alice ambil dari dalam tas.

Dia paham apa maksud Alice memberikan ia buku dan tempat pensil, gadis itu kembali duduk di sampingnya.

Kembali mengambil buku itu dan membuka lembaran pertama, lembaran pertama dan mempersilahkan Yesa untuk menuliskan semuanya.

"Gue tahu... elo berusaha kuat tapi bisa berdampak sama mental lo sekarang. Nah, mendingan elo nulis tentang apa yang elo rasakan.."

Yesa mengangguk dan menyeka air matanya, dia segera mengambil pulpen nya untuk menulis kan kata demi kata di dalam buku harian nya. Buku harian nya masih kosong dan baru.

Semuanya tuliskan disini. Dia menuruti semua apa perintah Alice, dia menuliskan tentang semua apa yang ia alami untuk membuat perasaan nya lebih lega dari segala yang membebani perasaan nya. Ia lampiaskan semuanya pada buku ini.

Satu hal yang ia ingat saat mereka berdua mengobrol kemarin sore tentang si pembully yang merusak mental nya.

Apapun itu, sejahat mereka, sejahat jahatnya orang yang bahkan ada dari anggota keluarganya sendiri dia masih memegang prinsip sampai saat ini yang harus Alice ingat baik-baik.

Disini Alice bisa menilai tentang sosok Yesa yang sesungguhnya bahwa dia tidak ingin menjadi seorang pendendam, dia ingin mempertahankan Yesa yang sekarang dan tak akan pernah berubah.

Hanya saja, entah mengapa rasanya begitu sesak sulit untuk memaafkan. Ketika Alice menyuruhnya untuk membalas itu bukan termasuk hal yang tepat dalam menyikapi hal tersebut, ya setidaknya untuk dirinya sendiri sampai membuat teman nya greget karena Yesa yang diancam memilih bungkam tak pernah melaporkan tindak pembullyan yang diterimanya.

BULLYING. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang