💐
Aisyah menyiapkan makan malam untuk ibunya. Ia sendiri beralasan masih kenyang, jadi membiarkan ibunya makan yang banyak.
"Syah, operasinya nanti berhasil nggak, ya?" tukas Laras pelan.
"Berhasil. Yang penting Ibu jangan banyak pikiran. Bu ... tadi Isyah pulang diantar Kak Kirana, dia cerita katanya Mas Daffa cerai, padahal udah punya anak." Aisyah bertopang dagu.
"Ya terus? Kamu kasihan?" Laras tersenyum tipis.
"Nggak, sih. Cuma aneh aja. Ngapain nikah kalau akhirnya ce--" Aisyah diam. Ia tatap Laras yang ternyata menatapnya lekat. "Maaf, Bu, nggak maksud nyindir."
Laras lanjut makan diiringi senyuman.
"Cerai itu pilihan, Syah. Tergantung seberat apa masalahnya. Kalau orang tuamu ini, udah jelas apa masalahnya dan berat. Kalau Daffa, bisa aja sama-sama berat tapi buat dia, buat kita belum tentu. Jangan menilai perceraian selalu karena hal berat atau sepele ya, Syah. Semua kembali ke permasalahannya."
Aisyah mengangguk. Hujan deras kembali turun. Aisyah meletakkan baskom dan ember di beberapa lantai karena langit-langit rumah bocor.
Sambil jongkok, ia menatap air yang jatuh. Di dalam hati berdoa, supaya ada uang untuk merapikan rumah yang jadi satu-satunya harta benda orang tuanya.
"Syah," panggil Laras. "Habis sotonya, enak, Syah," lanjut Laras.
"Alhamdulillah. Sini, Aisyah cuciin piringnya. Besok Aisyah urus surat rujukannya, Ibu nggak usah ikut dulu kalau nggak diminta hadir, ya. Istirahat aja. Cucian baju biar Isyah yang kerjain. Inget, Bu. Mau sehat, kan? Jangan forsir tenaga. Harus sehat lagi pokoknya."
Laras mengangguk. Ia beranjak, masuk ke dalam kamar saat Aisyah membawa piring dan mangkuk kotor.
Di dapur, ia memegang perutnya yang perih karena menahan lapar lalu lanjut cuci piring. Setelah itu merendam baju kotor, esok subuh baru ia cuci dengan tangan.
***
"Bang Daffa! Itu anakmu nangis! Malah baca buku!" omel Gendis sambil menjewet telinga Daffa.
"Aduh! Bu ... kan udah ada suster," keluhnya meringis.
"Suster juga manusia. Capek. Butuh tidur. Seharian jagain Raja. Ibu urus Adinda. Kamu bapaknya! Urus!" omel Gendis lalu melepaskan jeweran di telinga Daffa. Buku ditutup, ia letakkan di atas meja kerja.
Sambil menghela napas panjang, Daffa menggendong Raja dari dalam box bayi. Suster diminta Gendis tidur, biarin Raja nangis, ada bapaknya ini.
"Anaknya dipeluk, usap-usap punggungnya. Bisikin kalimat kamu sayang sama dia apapun yang terjadi. Bikinnya aja doyan. Ngadon melulu! Ngurusnya nggak mau! Hih!" umpat Gendis masih memperhatikan putranya yang menina bobokan Raja.
"Kamu boleh benci Ibunya, tapi jangan Raja. Ibu doainnn, kamu berjodoh sama perempuan baik, tulus, penyayang."
Daffa menoleh. "Daffa nggak akan jatuh cinta lagi, Bu!" bentaknya.
Gendis menganga. "Gitu?! Oke, sisan tak cariin jodoh untuk anak kayak kamu, ya, Bang! Didoain malah gitu nyahutnya!" Kedua mata Gendis melotot. Jam sudah diangka sepuluh malam tapi rumah masih ramai karena suara Gendis.
Nanda mendekat. Ia bersandar pada ambang pintu.
"Bang Daffa, elo mah keterlaluan. Anak lo nggak salah apa-apa, dia ngerasa lo cuekin dari semenjak pindah ke sini. Mending lo jadi TKI sekalian, nggak ketemu anak tau-tau gede. Cukup kirim duit!" Nanda sudah mulai risih dengan sikap abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
Fiksi UmumTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...