***
Laras menolak lamaran yang meminta Aisyah menjadi istri Daffa. Alasannya, Laras merasa tak pantas berbesan dengan Gendis, apalagi latar belakang kegagalan rumah tangga yang didera wanita itu pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti. Laras lupa, yang ada dihadapannya adalah Gendis, wanita keras kepala yang punya insting tepat layaknya peramal tanpa pernah meleset.
"Yang bikin kamu malu apa sebenernya? Kalau masalah tetangga omongin kamu, diemin aja, Ras." Gendis merapatkan duduknya ke arah Laras. "Namanya tinggal bertetangga, mau di gang sempit, komplet elit, komplek kayak kita, pasti akan ada gossip, Ras. Aku yakin Aisyah bisa jadi istri yang memang Daffa mau untuk seumur hidupnya. Anak itu aja masih gendeng, butuh obat dan itu ... Aisyah."
Laras menggeleng tak yakin, "Ndis, Agung ... jangan jadikan anakku tersiksa menikah dengan Daffa. Mungkin Daffa butuh waktu untuk obati hatinya, tapi bukan dengan Aisyah." Laras tetap berusaha menolak.
"Nggak, Ras. Aisyah paling pas. Aku nggak akan larang atau batasi Aisyah urus kamu, boleh ke sini kapan aja. Aisyah juga boleh kerja lagi di toko, mau jadi asistenku ... lebih baik," congkak Gendis bukan maksud sombong, tapi memang ia yakin saja.
Laras menatap bergantian ke arah suami istri itu. "Nilam ... kita tanya pendapat dia, ya, Ndis. Aku nggak--"
Gendis menunjukkan pesan singkat antara ia dan Nilam. "Aman, direstui,dong."
"Hah?! Kamu udah hubungi Nilam?!" Kedua mata Laras terbelalak. Gendis tersenyum sambil mengangkat sebelah alis matanya. Hah ... kalah sudah, Laras menyerah. Agung hanya bisa manggut-manggut, karena ia dan Gendis juga mau Aisyah lah yang menjadi istri Daffa juga ibu sambung untuk Raja.
***
"Minggat! Yaudah sana!" omel Gendis saat melihat Daffa memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper besar.
"Ibu atur hidup Daffa terus, Bu!" bentaknya dengan kedua mata memerah.
"Bang Daffa!" balas Agung. Ia langsung mencengkram kerah kaos putranya. "Berani bentak Ibumu? Durhaka kamu!"
Daffa menjauhkan diri dari Agung, ia begitu geram. "Daffa tau Daffa salah karena Yasmin hamil duluan! Tapi Ayah dan Ibu nggak bisa hukum Daffa dengan harus nikah sama Aisyah yang--"
"Apa? Nggak kuliah? Bodoh? Lugu?" sambar Gendis. Ia tak marah atau sakit hati dibentak Daffa, karena baginya sang putra sedang 'oleng', ia tau anak-anaknya tak berani menyakitinya.
"Daffa kerja jabatan udah tinggi, Bu. Ibu nggak bisa seenaknya atur-atur siapa jodoh Daffa," tunjuknya ke diri sendiri.
Gendis mendesah. Ia bersandar santai pada ambang pintu kamar. "Heh, Bang Daffa. Denger, ya." Gendis maju perlahan, kedua tangan ia lipat di depan dada. Agung berkacak pinggang. "Kamu ... pikir, hidupmu selama ini enak, mudah, atas usaha dan doa siapa? Tukang sayur? Tukang bubur? Tukang ikan di pasar?" Kepala Gendis menggeleng pelan. "Orang tuamu yang tukang atur hidupmu!" pelotot Gendis.
Di ruang tamu, Kirana dan Nanda cekikikan. Keduanya memang puas melihat Daffa terpojok atas sikap Gendis.
"Kamu udah berbuat salah. Coreng nama keluarga yang Ibu dan Ayah jaga mati-matian. Apa susahnya balas budi, hah?" Dagu Gendis terangkat, seperti menantang Daffa. Sedangkan sang putra hanya bisa menggeram marah. Setelah saling diam, Daffa melirik ke kedua orang tuanya.
"Ok. Ini sebagai cara Daffa tebus kesalahan karena Yasmin, tapi Daffa juga bebas atur rumah tangga Daffa tanpa Ibu turut campur!" geramnya tertahan.
"Ok. Nggak masalah. Kamu mau kayak di sinetron-sinetron yang siksa istri, cuekin, bikin sakit hati terus ujungnya jatuh cinta beneran? Silakan... Ibu tunggu setiap episodenya!" Gendis tersenyum remeh, ia lalu pergi dari kamar Daffa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
General FictionTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...