💐
"Cari istri kayak Ibumu, Bang," ucap Agung mencoba membuka pikiran anaknya. Sejak keputusan dibuat Gendis, Daffa langsung murung.
"Nggak bisa, Yah. Jalan hidup kan beda-beda," kilah Daffa.
"Siapa bilang?" jeda Agung terkekeh. "Ada doa. Kamu lupa?" sindirnya. Kursi teras menjadi saksi obrolan ayah dan anak itu hampir larut malam. Daffa masih tak bisa menerima keputusan Gendis, tapi tetap harus dijalankan.
Esok hari. Gendis membahas rencana melamar Aisyah bersama Yuni, Endah dan Soraya. Semua mendukung, tinggal bicara ke Laras saja yang harus tepat waktu.
Namun, setelah sepekan, Laras mendadak tak ada di rumah. Bahkan saat Gendis menemani Adinda operasi, masih menyempatkan diri ke rumah Laras, semua terkunci. Hanya lampu teras menyala.
"Kemana si Laras? Aisyah juga nggak kerja dua hari ini?" gumamnya lantas mengarahkan kemudi ke arah rumah. "Kucing beranak!" lontarnya kaget karena sekuriti RT mendadak muncul sambil menghentikan laju mobilnya.
"Bu Gendis, cari Bu Laras?" kata sekuriti. Gendis manggut-manggut dari balik kaca mobil yang sudah turun setengah. "Buka, Bu, kacanya. Saya mau ngomong tentang Bu Laras."
Gendis justru turun dari dalam mobil. Sekuriti menjelaskan, seketika Gendis kaget sampai memegang dadanya.
Tiba di rumah, ia menunggu Daffa pulang kerja. Sekitar pukul enam putranya sampai. Gendis mencegat dengan merentangkan kedua tangan di depan rumah.
"Bu! Kenapa?!" Kepala Daffa keluar dari kaca mobil. Gendis mendekat.
"Kamu ke rumah sakit Kasih, Tante Laras dirawat di sana. Buruan!" perintah Gendis.
"Nggak, ah, Bu. Mau apa?" keluh Daffa.
"Dia calon mertuamu. Jenguk! Lihat kondisinya, nanti laporan ke Ibu!" pelotot Gendis dengan memakai daster bunga-bunga warna kuning.
"Tapi, Bu ...," keluh Daffa lagi. Gendis semakin melotot. Malas debat, Daffa meluncur ke rumah sakit. Ia sempatkan membeli buah tangan, hanya kue untuk Aisyah makan.
Rumah sakit Kasih besar, banyak lorong dan bangsal-bangsal. Setelah bertanya ke sana ke sini, Daffa tiba di lorong Anyelir. Ia melihat Aisyah duduk sendirian dengan wajah khawatir.
"Syah," sapa Daffa. Aisyah mendongak, tak percaya dengan siapa yang dilihat, ia sampai berkedip beberapa kali. "Tante Laras sakit apa? Boleh aku ketemu?"
Aisyah berdiri.
"Ibu masih di ICU, Mas. Mas Daffa kok tau Ibu di sini, dari siapa, ya?"
Daffa meletakkan bungkusan kue di atas kursi. "Ibu." Jawaban singkat padat jelas. "Tante Laras sakit apa?" Daffa berdiri tegap di depan Aisyah. Pandangannya menghunus tajam ke gadis itu.
"Mas Daffa nggak bisa biasa aja lihatinnya?" dumal Aisyah. Daffa mengerjap, ia memalingkan wajah sebelum kembali ke Aisyah.
"Ibu sakit batu empedu. Harus di operasi." Aisyah ikut berdiri. Ia dipanggil perawat di pintu ruang ICU. Daffa hanya diam memperhatikan. Aisyah membaca secarik kertas, berjalan melewati Daffa begitu saja.
Daffa mengekor, sambil menenteng bungkusan kue yang ia bawa. Ternyata menuju kasir. Aisyah menyerahkan kertas, setelah itu diarahkan ke loket lain. Daffa membaca papan tulisan menggantung, loket jaminan kesehatan dari pemerintah.
"Jadi saya tanda tangan di mana, Mbak?" Aisyah memegang pulpen.
"Di sebelah sini. Setelah dibayar, baru Ibunya dikasih obatnya, ya."
Aisyah mengangguk. Ia tanda tangan, lalu ke kasir membawa nota bayar. Daffa mengekor lagi. Ia melihat Aisyah mengeluarkan uang enam ratus ribu dari dompetnya. Setelah itu, ia kembali ke ruang ICU untuk memberikan bukti bayar ke perawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
Narrativa generaleTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...