Urusan rumah sakit

308 57 5
                                    

💐

"Bu," sapa Raffa setelah sampai. Ia menyalim punggung tangan Gendis lalu menghampiri Adinda yang masih sedikit pucat. "Kamu nggak apa-apa?" bisiknya. Adinda mengangguk.

"Raf, kenapa nggak bilang Dinda mau operasi kista?!" Langsung semprot. Raffa berbalik badan perlahan mengarah pada Gendis. Raut wajahnya langsung berubah sendu.

"Bukan gitu, Bu, Raffa cuma nggak mau Ibu pusing. Mikirin masalah Bang Daffa aja udah bikin Ibu naik tensi."

"Sembarangan," protes Gendis seraya berkacak pinggang, ia juga memakai celemek karena sedang masak. "Urusan Bang Daffa udah Ibu serahin ke sang khalik! Terserah itu anak mau galau atau apalah. Yang penting cerai!" Gendis diam, menunggu sanggahan Raffa.

"Yaudah, maaf, Bu. Ibu masak apa? Wangi amat?" Raffa mengeluarkan kemeja kerja dari dalam celana. Ia mendekat ke Gendis.

"Sop ayam kampung. Kaldunya bagus buat kondisi Dinda, sama Ibu bikin tumis selada air pakai teri, biar sedep makannya. Ayahmu nanti ke sini juga." Gendis mengaduk sop ayam lagi.

"Raja di rumah sama siapa?"

"Kan ada susternya. Jangan kayak orang susah, deh!" lirik Gendis judes, padahal bercanda. Ia memang menyewa jasa suster, karena dirinya tak mungkin full urus Raja karena ia sibuk apalagi Daffa. Semenjak kembali tinggal di rumah Gendis, lebih banyak diam. Ke Raja juga biasa aja. Padahal anak salah apa, tapi kena imbasnya.

"Susternya dari mana, Bu? Udah ditatar?" Raffa bersandar pada pinggiran meja makan.

"Tentu saja! Macem-macem sama cucu Ibu, pulang kampung Ibu suruh jalan kaki sampe tujuan!" Tetap saja nada bicara Gendis ketus, memang sudah cetakan pabrik.

Adinda hanya bisa tersenyum. Ibu mertuanya memiliki watak unik karena ketus tapi perhatian. Act of servicenya diatas rata-rata.

"Dinda, kamu makan duluan aja, nggak usah nunggu Ayah, ya," ujar Gendis sambil menyendokkan sop ayam ke dalam mangkuk untuk sang menantu.

"Bareng aja, Bu, biar seru. Adinda ganti pembalut dulu, ya, Bu." Ia beranjak, berjalan pelan ke dalam kamar. Setelah dirasa aman, barulah Gendis memukul pelan lengan Raffa.

"Istri sakit kok yo meneng wae, Raf ... Raf ...! Menantu Ibu ya anak Ibu," cicitnya kesal. Tak lupa dengan kedua mata melotot.

"Tadi kan udah dikasih tau alasannya. Dokter yang handle, sahabat mamanya Dinda. Kayaknya jadwal operasi dimajuin aja deh, Bu. Dinda udah datang bulan sepuluh hari ini tapi masih banyak darah keluar, sampai pucat gitu."

"Yaudah. Besok Ibu temenin ke dokter kalau kamu nggak bisa izin. Ayah Ibu suruh cuti. Papa sama Mama Dinda, nanti aja dikabarin. Kasihan kalau sampai ninggalin pasien. Kamu mandi sana, Ibu siapin makanannya sambil tunggu Ayah."

Raffa mengangguk, tapi ia ingat sesuatu.

"Bu. Bang Daffa, kayak gejala depresi. Raffa, Kirana sama Nanda udah bahas, apa kita bawa ke psikiater ya, Bu?" Raffa khawatir dengan kondisi Daffa.

"Repot amat bawa ke psiki ....psikioter .. psiki ... ah! Apalah itu! Daffa harus diruwat. Mandi kembang! Baru sadar."

Raffa cekikikan.

"Namanya baru kecewa karena cinta, Raf. Wajar, lah. Untung aka kerjaannya lagi padet, baru naik jabatan. Biarin aja urusan jodoh dia belakangan. Kirana nggak ada omongan ke kamu kapan mau nikah?" Gendis meletakkan mangkuk ketiga di atas meja makan.

"Lho, emang Ibu nggak tau?!" Raffa terbelalak.

"Nggak. Apa emangnya?"

Raffa menghela napas dahulu. "Kirana kan baru putus, Bu. Tiga minggu ini. Makanya dia potong rambut, buang sial katanya."

Mertua masa gini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang