Raffa datang ke rumah Rachel sekitar pukul dua siang, seorang diri dan dia hanya disambut oleh asisten rumah tangga di sana.
"Rumah sepi ya bi, gak ada siapa-siapa ya?" Raffa sudah beberapa kali datang ke rumah ini jadi ia sudah tak canggung lagi.
"Cuma ada Mba Rachel mas, yang lain masih ada kegiatan masing-masing, mungkin pulang sebentar lagi. Nah, mas kalo mau ketemu mba Rachel, Mba Rachel ada di studio. Dari pulang ngampus tadi langsung masuk ke studio dan belum ada keluar."
"Yaudah bi, eh ini buat bibi. Dibagi ya bi sama pak satpam di depan." Ujar Raffa sambil menyerahkan salah satu dari paper bag di tangannya pada asisten rumah tangga itu.
Asisten rumah tangga itu tersenyum. "Terima kasih mas, oh iya bibi hampir lupa. nanti bilangin Mba Rachel suruh makan dulu, dari pulang tadi belum ada makan sama sekali, udah bibi ketok studionya tapi Mba Rachel bilang entar terus."
Mendengar itu Raffa tampak berpikir. "Gini aja bi, gimana bibi siapin makan siangnya, biar Raffa yang bawain makanannya ke Rachel." Ujar Raffa menwarkan idenya.
Asisten rumah tangga itu mengangguk. "Oh yaudah mas, tunggu sebentar, bibi siapkan makanannya dulu." Asisten rumah tangga itu lalu beranjak pergi ke dapur.
Beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa nampan berisikan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya, juga ada potongan buah melon dan segelas air putih.
"Rachel emang gini ya bi, kalau udah masuk studio?" Tanya Raffa ketika asisten rumah tangga itu sedikit lagi berada di hadapannya.
"Akhir-akhir ini iya mas, makanya ibu sering ngomel, padahal Mba Rachel itu suka banget makan."
"Bisa mas bawanya?" Tanya asisten rumah tangga itu ketika melihat tangan Raffa masih memegang sebuah paper bag.
Raffa mengangguk lalu menerima nampan itu dengan menopang di salah satu telapak tangannya tangannya, seperti pelayanan profesional di restoran berbintang.
"Hati-hati ya mas, ngeri kalau jatoh."
Raffa mengangguk dan mulai berjalan ke studio Rachel.
Sedikit lagi sampai di depan pintu studio, bisa Raffa lihat jika pintu itu tertutup rapat.
Sesampainya di depan pintu, Raffa langsung mengetuknya dan itu tidak sulit untuknya meskipun masing-masing tangannya terdapat barang-barang, ia juga memanggil nama Rachel.
Satu, dua kali, tidak ada sautan yang di dengar Raffa, yang ketiga kalinya juga masih tak ada jawaban apa-apa.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Raffa berinisiatif memutar knop pintu dengan tangannya yang memegang paperbag dan mendorong sedikit hingga pintu itu terbuka hingga kepalanya berhasil menyembul di balik pintu.
Raffa tersenyum tipis ketika dilihatnya Rachel sedang asik berdiri di depan canvas sambil mengoleskan bebagai macam warna di permukaannya, dan ada headphone yang menempel di sepasang telinga gadis itu. Pantas saja Rachel tak mendengarnya.
Pria itu memilih masuk dan meletakkan makanan dan paper bag yang ia bawa di atas sebuah meja yang ada di samping sofa. Sementara Rachel masih belum menyadari kehadiran Raffa.
Raffa bergerak perlahan dan memposisikan dirinya berdiri tepat di belakang gadis itu, dan melihat gambar apa yang sedang dilukis Rachel di kanvas yang berukuran tak terlalu besar. Tak sulit untuknya melihat lukisan Rachel kerena ia memang lebih tinggi dari gadis itu.
Raffa berusaha menebak apa yang sedang dilukis Rachel karena lukisannya sudah hampir selesai, namun yang pasti lukisan itu berbentuk suatu kolase yang di bagi dalam tiga tingkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY (on going)
General Fiction"Di dunia ini, ada beberapa hal yang disebut takdir, sisanya adalah pilihan" ~unknow~