BAB 16

153 21 3
                                    


Poppy terpaku. Entah karena ucapan Regan, atau karena ibu jari pria itu yang mengusap ujung bibirnya. Dari jarak sedekat ini, Poppy bisa melihat jelas detail wajah Regan di bawah temaramnya lampu dapur. Lesung pipi pria itu tampak dalam saat tersenyum. Sepasang mata tajam itu menatap lurus dirinya, seolah ingin membaca seluruh isi kepala Poppy. Dan bibir itu... bibir yang sudah menciumnya beberapa kali, tapi tetap terlihat sangat menggoda.

"Aku sendiri kaget waktu Dante bilang kamu sekarang udah jadi guru."

Suara Regan berikutnya membuat Poppy akhirnya tersadar. Wanita itu mengerjap, dan buru-buru melap bibirnya sendiri. Mungkin ada sisa kuah soto yang belepotan di sana.

"K-kenapa?" tanya Poppy untuk mengurangi rasa gugupnya.

"Dante manjain kamu banget dari dulu. Walaupun dia selalu bebasin kamu ikut ekskul apa pun sampai pilih jurusan kuliah. Dia sama sekali gak expect kamu mau kerja cari uang sendiri," Regan bercerita.

Memang benar. Dante sangat protektif terhadapnya. Mungkin, kalau Poppy bilang tidak ingin bekerja dan akan terus menumpang hidup dengan Dante, pria itu yang akan bersorak kegirangan.

Mengambil pendidikan guru anak usia dini, lalu menjadi guru memang di luar rencananya. Dante sempat menentang waktu itu, tapi dengan jurus air mata, akhirnya Poppy bisa menandatangani offer letter Serenity Spring School itu.

"Dan...." Regan berucap lagi. Ia kini menyenderkan punggungnya ke kursi sambil bersidekap dada. "Tambah kaget karena kamu punya hobi yang unik."

Mata Poppy membulat dan refleks memukul bahu Regan. "IH! Apaan, sih!"

Regan tertawa, tapi sama sekali tidak menghindari pukulan Poppy. Tentu saja, pukulan Poppy itu pasti tidak terasa apa-apa di tubuhnya yang kekar. Karena kesal sendiri, Poppy kembali memenuhi mulutnya dengan nasi dan potongan daging soto.

"Jangan jadiin orang lain cermin kamu, Poppy," ucap Regan sambil menyelipkan rambut Poppy yang jatuh di pipinya. "Everyone has their own pace, kamu gak perlu terburu-buru."

"Hm." Poppy mengangguk.

Selama ini, Poppy terlalu fokus melihat kesuksesan orang lain. Sedangkan dirinya, sudah menjadi yatim-piatu dari usia muda, dan hanya memiliki kakak laki-laki sebagai keluarga. Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan pria—hanya pernah pacaran 2 bulan waktu kelas 2 SMP. Kariernya hanya begini saja, tanpa ada kenaikan pangkat atau sejenisnya. Ketika teman-teman seusianya sudah banyak pencapaian, menikah, memiliki keluarga, Poppy masih tinggal bersama sang Kakak dan... menulis cerita dewasa.

Namun di satu sisi, Poppy nyaman hidup seperti ini. Dia tidak benar-benar merasa sakit, tidak benar-benar merasa stres, tidak benar-benar merasa sedih. Semua terasa berkecukupan. Ia tanpa sadar melupakan satu nikmat terbesar itu.

"Udah selesai?"

Poppy terkesiap. Ia baru menyadari kalau makanannya sudah habis, hanya tersisa sedikit kuah soto. Dan lebih kagetnya lagi, Regan sudah berdiri dan membereskan peralatan makannya.

"E-eh, Kak, biar aku—"

Cup!

Poppy membeku. Tangannya yang sudah siap mengambil alih mangkuk dari tangan Regan pun hanya melayang di udara. Sebuah kecupan singkat di bibir itu menghentikan seluruh dunia Poppy.

"Kamu masuk aja ke kamar duluan, ya," ucap Regan lembut. "Good night, Sweetheart."

Pria itu pun membawa piring-piring kotor itu ke dapur.

***

Pagi berjalan normal keesokan harinya. Bahkan cukup normal untuk dua orang yang saling berbagi ciuman di sore sebelumnya. Poppy sedang menyajikan sarapan di dapur, sedangkan Regan menunggu seperti biasa di meja makan sambil mengecek tabletnya.

Hari itu Poppy juga baru tahu kalau Regan bermain saham di beberapa tempat. Jadi, selain memeriksa data pasien, membaca berita, dia terkadang mengecek posisi sahamnya setiap pagi. Lihatlah, kurang sempurna apa seorang Regantara Dashar ini?

"Hari ini Dante pulang."

Poppy menoleh saat mendengar perkataan Regan. Entah itu pertanyaan atau pernyataan, pria itu berucap dengan nada datar, bahkan tanpa menatap Poppy.

"Iya, Kak Dante udah ingetin aku tadi," sahut Poppy, menyangka kalau mungkin Regan menyuruhnya untuk menjemput sang kakak nanti.

Regan akhirnya mematikan layar tabletnya dan menatap Poppy yang ada di seberang meja. "Gak perlu, biar aku aja yang jemput."

"Gak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang—"

"Dante yang minta aku jemput."

Poppy tidak bisa menyelesaikan bantahannya karena Regan memotong duluan. Mendengar kalimat pria itu, ia juga tidak punya sanggahan. Satu yang paling sulit ia hadapi adalah ucapan kakaknya sendiri.

Namun, ada satu perasaan aneh untuk permintaan Dante kali ini. Memang, Dante tidak secara jelas menyuruhnya untuk menjemput, tapi dari pesan terakhirnya pun ia tidak memberitahu Poppy kalau Regan yang menggantikannya. Terlebih, Dante itu paling anti berlama-lama dengan Regan—apalagi kalau sudah urusan pekerjaan. Regan di mata Dante tidak lebih dari bos diktaktor yang menginvansi hidupnya sampai sel terkecil.

"Kapan Kak Dante bilang? Dia gak kasih tau aku, kok...." Tanpa sadar, Poppy mengucapkan keraguannya.

Regan meneguk air putih di hadapannya sebelum menggeser kursi ke belakang. "Kemarin, selesai operasi. Kebetulan hari ini aku libur juga, jadi dia gak mau ganggu kamu."

"Tapi, dia jadi ganggu Kakak, kan."

"Udah biasa," dengus Regan. "Ya udah, ayo."

"Hah?"

Secret LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang