BAB 24

166 27 7
                                    


Suara itu membuat Poppy mengangkat pandangannya. Ia tidak akan begitu kaget kalau Dante yang bertanya. Namun, di sini Regan-lah yang bertanya—seorang Regantara Dashar yang mempunyai sejuta martabat itu menanyakan nasi kepadanya?!

"Buat?" dengan bodohnya, Poppy malah bertanya balik.

"Aku kayaknya laper juga," jawab Regan sambil menggeser kursinya, lalu berjalan menuju dapur. "Aku boleh minta mi kamu sedikit?"

Terdengar decakan berulang dari Dante. "Gelar doang dokter, kalau laper kepepet tetap aja makan mi instan pakai nasi."

"Dokter juga manusia," sahut Regan dari dapur.

Tak berapa lama kemudian, pria itu kembali dengan semangkuk nasi. Dia pun pindah duduk di sebelah Poppy. Wanita yang masih kebingungan itu pun diam saja saat Regan memindahkan setengah porsi mi-nya ke mangkuk berisi nasi itu.

Regan yang Poppy tahu tidak pernah bertanya soal makanan, apalagi meminta makanan dari Poppy. Kalaupun tidak ada makanan, dia pasti bisa beli sendiri, bahkan sampai membelikan Poppy dan Dante sekalian. Tindakan Regan malam ini sangat aneh baginya. Sampai Poppy ikut menyuap mi-nya dan tersedak kuah yang pedas itu.

Oh, iya! Kan, aku bikinnya pedes!

"Kak, itu ped—"

Poppy terlambat, karena wajah Regan sudah tampak memerah di tengah temaram lampu dapur itu. Regan tidak mengucapkan apa pun, hanya menoleh ke arahnya dengan air berkerut dan mata berair.

Regan tidak bisa makan pedas.

"Pedas, ya?" sekali lagi, Poppy malah bertanya pertanyaan bodoh itu. Padahal potongan cabe rawit merah yang ada di mangkuk mereka adalah saksinya.

Regan berdeham, lalu meminum air putihnya dengan santai. "Kalau pakai nasi, gak terlalu."

Dan, pria itu menyuap lagi, sampai nasi dan mi soto itu tandas dari mangkuknya.

***

Semalam, Poppy tidak bisa tidur. Selain karena perutnya kekenyangan, rasa bersalah karena memberikan Regan makanan pedas pun terus menghantui. Alhasil, Poppy baru tidur pukul 3.30, dan harus bangun lagi pukul 6.00. Kepalanya terasa melayang, tetapi harus tetap memasak sarapan untuk kakaknya yang bawel—dan baru operasi usus buntu itu.

"Dek," panggil Dante yang baru masuk ke dapur.

Dia sudah rapi dengan setelan kemeja dan celana bahan. Tangannya juga menenteng kardigan rajut berwarna biru dongker. Penampilannya persis seperti orang mau berangkat kerja, padahal dokter menyarankan Dante untuk berisirahat beberapa hari lagi.

Poppy yang sedang mengaduk bubur untuk Dante pun menoleh. "Kenapa, Kak?"

"Kamu masih simpan obat diare?"

"Kakak sakit perut?"

"Bukan, buat Regan. Dia mencret." Dante menghela napas.

Deg!

Poppy hampir saja menjatuhkan centong sayur di tangannya. Benar saja, ketakutannya menjadi nyata sekarang. Orang macam mana yang berani membuat seorang dokter bedah mencret?!

Oh, tentu saja Poppy Sofia namanya.

"K-kayaknya habis, Kak. Aku belum cek lagi." Poppy mengingat Dante-lah yang menghabiskan kapsul terakhir obat itu beberapa saat lalu. "Nanti aku beli, deh."

Dante mengangguk. "Ya udah, sekalian kamu anterin sarapan ke kamar dia aja. Gak bisa bangun tuh Pak Dok, lemes."

"K-kenapa gak Kak Dante aja?" Poppy yang masih merasa bersalah tidak sanggup berhadapan dengan Regan sekarang.

"Kakak harus ke kantor, ada berkas masuk hari ini dan harus langsung diperiksa buat dikirim balik," jawab Dante, lalu menyesap teh camomile hangatnya.

"Kakak masih izin sakit, kan? Kok, udah ke kantor aja!" protes Poppy sambil meletakkan mangkuk berisi bubur hangat di hadapan Dante. Dia bukan hanya kesal karena Dante tidak bisa menggantikannya, tetapi juga khawatir usus Dante kembali pecah.

"Sorry, Kakak gak lama, kok. Bakal balik sebelum makan siang."

Poppy pun akhirnya hanya bisa menghela napas. Sangat sulit menghadapi keras kepala kakaknya itu. "Janji, ya?"

"Iya, Sayang," jawab Dante sambil memberikan kecupan di udara yang membuat Poppy meringis. "Sekarang, kamu anterin sarapannya Regan sana."

Poppy tidak bisa membuat alasan lagi karena Dante sudah menyuruh dua kali. Untung saja ia memasak bubur cukup banyak pagi ini. Niat Poppy agar Dante bisa memakannya untuk siang nanti juga. Namun sepertinya, jatah makan siang Dante itu harus diberikan kepada Regan untuk sarapan.

Setelah memindahkannya ke mangkuk, Poppy membawa nampan berisi bubur dan segelas air hangat itu ke kamar Regan. Ia mengetuk dua kali, dan terdengar jawaban lemah dari dalam. Wanita itu kembali meringis karena merasa bersalah.

"Hai, Kak," sapa Poppy sambil membuka pintu. Ia melihat Regan sedang duduk bersandar di atas kasur dengan tablet di pangkuannya.

"Maaf jadi ngerepotin kamu, Pop."

Poppy menggeleng, lalu menaruh nampan itu di nakas samping tempat tidur. "Justru aku yang minta maaf karena buat Kak Regan begini...."

Poppy bisa melihat satu alis Regan terangkat.

"Ini gara-gara mi semalam, kan?" tebak Poppy.

Regan tidak menjawab, hanya terkekeh. Ia pun mematikan tabletnya dan menaruh perhatian penuh kepada Poppy sekarang.

"Lagian, Kak Regan kenapa ikut makan mi aku...." Poppy tahu, tidak seharusnya dia menyalahkan Regan sekarang. Namun, kalau Regan tidak tiba-tiba meminta mi itu, pasti dia tidak akan sakit perut seperti sekarang.

"Kalau aku gak makan, mungkin kamu yang sakit perut."

Poppy menundukkan kepala. "Bukan masalah, kok...."

"Ah, aku tau," Regan tiba-tiba mengubah nada bicaranya, membuat Poppy mengangkat kepala. "Kamu pasti mau sakit, biar bisa aku rawat, kan?"

Mata Poppy membulat. "Gak, ya!"

"Kamu mau aku manjain lagi, kan?"

"Kak Regan!"

Regan tertawa, tetapi tawanya itu tidak lama. Pria itu mengeryit sambil meringis sedikit. Lalu, ia pun turun dari kasur sambil meminta izin untuk ke kamar mandi. Ia melesat begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Poppy.

Kayaknya parah banget, ya.... Poppy menghela napas. Wajah Regan yang biasanya sangat segar di pagi hari, tadi terlihat cukup pucat. Pasti rasanya tidak nyaman harus bolak-balik kamar mandi seperti itu.

Secret LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang