BAB 26

196 31 1
                                    

Maaf gengsss. Aku kemarin sibuk banget sama real life gak sempet ngetik panjangggg T-T Aku usahakan minggu ini full upload yaaa. Stay tune~


---------------------------------


Pada hari libur, Poppy dan Dante memang biasa bangun lebih siang. Poppy pun tidak harus membuat sarapan. Dante lebih suka membeli makan di luar setelah pulang berolahraga daripada menyuruh Poppy memasak di hari libur.

Namun, ada yang berbeda pada hari Sabtu ini. Setelah beberapa hari lalu Dante resmi kembali bekerja, pria itu jadi dua kali lebih sibuk. Pekerjaannya menumpuk, sehingga dia terpaksa mengambil lembur setengah hari di Sabtu ini. Jadi, alih-alih membeli sarapan di luar, Dante malah sibuk sendiri di dapur sejak pagi buta. Suaranya sangat berisik sampai-sampai membangunkan Poppy.

"Kenapa gak bangunin aku aja, sih, Kak?" tanya Poppy agak kesal. "Tuh, kan, dapurnya jadi berantakan gini."

Poppy lebih kesal melihat dapurnya berantakan daripada dibangunkan untuk membuat sarapan. Lagi pula ini untuk Dante, bukan orang lain. Kalau saja Dante bilang dari malam, Poppy pasti bangun seperti biasanya.

"Yah... ini, kan, hari libur. Aku gak mau ganggu kamu."

Poppy tidak menjawab lagi. Bukan karena tidak bisa membantah, justru karena terlalu kesal. Untung saja Dante sudah bisa makan selain bubur sekarang. Jadi, Poppy tidak perlu repot-repot menghaluskan nasi hanya untuk kakaknya itu.

"Nanti pulangnya aku beliin macaroon, deh.... Jangan cemberut gitu, dong," rayu Dante ketika Poppy menyajikan telur dan sosis tumis kecap di hadapannya. "Gak sampai sore, kok. Kan, aku janji mau anterin kamu ambil kado."

"Janji, ya?"

Dante mengangguk.

"Dan macaroon-nya seboks."

"Iya."

"Kak Dante gak boleh minta."

Dante menghela napas, terlihat agak tidak rela. "Iya."

Poppy ingin bersorak senang, tapi ia tetap harus jaim karena masih dalam mode kesal. Ia pun hanya mengangguk dan berbalik badan. Senyumnya tertahan di sudut bibir.

Setelah Dante selesai sarapan, Poppy mengantarkannya sampai pintu depan. Pria itu bersikeras membawa motor sendiri, padahal Poppy sudah menyarankan untuk naik ojek online saja. Sekali lagi, walaupun Dante selalu berkata lembut kepadanya, Poppy tidak bisa melawan kata-kata pria itu.

Baru mau berbalik badan dan menutup pintu, Poppy melihat Regan membuka pintu gerbang dengan tubuh penuh keringat. Pria itu memakai celana pendek selutut, yang dipadukan dengan kaus hitam. Lantas, karena keringat membanjiri tubuhnya, kaus itu tampak melekat sehingga membentuk otot perut dan dadanya yang sempurna.

Jadi selama ini.... tubuh sebesar itu yang nempel di aku? Poppy buru-buru menggeleng, mengenyahkan pikiran jorok yang tiba-tiba terlintas.

"Kok, di luar?" tanya Regan, napasnya tampak terengah.

""Baru abis anter Kak Dante," jawab Poppy. Tanpa sadar, ia meneguk air liurnya sendiri begitu melihat bulir keringat Regan dari dekat. "Kak Regan abis jogging?"

Regan mengangguk. "Dante ada kerjaan."

"Iya, katanya urgent." Poppy menggeser pun berjalan masuk ke rumah, baru sadar kalau sedari tadi berdiri menghalangi pintu. "Kak Regan udah sarapan?"

"Belum."

"Mau aku masakin?"

Regan hanya mengangguk. Dari raut wajahnya, terlihat seperti ada yang sedang dipikirkan. Namun, Poppy tidak ingin bertanya lebih jauh—ia khawatir malah membuat Regan tak nyaman. Jadinya, ia hanya bersiap untuk memasak nasi goreng.

"Poppy," panggil Regan dari arah meja makan ketika Poppy memotong sosis. "Mami udah hubungin kamu soal ulang tahun dia?"

"Udah, Kak. Baru aja semalam," jawab Poppy tanpa mengangkat kepala.

Mami—sebutan untuk ibunya Regan—memang masih menganggap Poppy dan Dante sebagai anak kandung mereka sampai sekarang. Selain acara-acara penting seperti itu, Mami juga sering mengajak Poppy berbelanja bersama, bahkan memasak. Mami juga selalu menjadikan Poppy tempat curhat tentang Regan. Termasuk ketika Regan memilih tinggal di rumah Poppy—yang lebih dekat dengan rumah sakit—daripada rumah orang tuanya selama renovasi rumah.

"Kamu udah beli kado buat Mami?"

Pertanyaan Dante yang kedua membuat Poppy mengangkat kepala sejenak. Pria yang tengah duduk di meja makan itu menatap lurus ke arahnya, seolah sangat menantikan jawaban Poppy.

"Udah, aku udah pesen tea set spesial buat Mami. Siang ini bakal aku ambil sama Kak Dante," Poppy menjawab langsung.

"...ang ini, ya...."

"Apa, Kak?"

"Gak." Regan menggeleng sambil bangkit dari kursi. "Aku mandi dulu, ya. Sarapannya taruh aja di meja, nanti aku makan."

Poppy mengerutkan dahi melihat tingkah aneh Regan pagi itu. Dia yakin, tadi mendengar Regan menggumamkan sesuatu dengan wajah aneh. Namun, karena tidak mendapatkan jawaban di kepalanya, Poppy hanya mengangkat bahu dan lanjut memasak.

Walaupun ini hari Sabtu, Regan tetap tidak libur. Pada minggu ini, ia sudah mengambil libur pada hari Rabu. Terlebih, Dante bilang rumah sakit sedang padat belakangan ini karena pergantian musim. Dia saja sampai harus bekerja pada hari Sabtu, apalagi Regan yang posisinya sebagai dokter dan pemimpin di sana.

Poppy sudah selesai memasak, tapi Regan belum keluar dari kamarnya. Akhirnya, seperti ucapan pria itu, Poppy hanya meninggalkan sepiring nasi goreng di atas meja makan. Dirinya pun kembali ke kamar, melanjutkan acara bermalasannya sampai tengah hari—untuk mengambil kado Mami.

Secret LessonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang