Regan bersiap membantah. Bagaimanapun, usia Claudia dan Poppy hanya berjarak dua tahun. Namun sebelum itu, Claudia sudah memotongnya lebih dulu.
"Oh, whatever." Wanita itu akhirnya melepaskan rangkulan itu, dan merogoh sesuatu dari tas hitam kecil yang dibawanya. "If you bored, you can call me."
Dibanding wanita Indonesia lain yang Regan kenal saat berkuliah, Claudia memang yang paling ekstentrik. Lihat saja sekarang. Sebelum menyerahkan kartu namanya kepada Regan, wanita itu lebih dulu mencium kartu itu hingga meninggalkan bekas lipstik berwarna merah di sana. Tidak hanya itu, Claudia pun langsung menyelipkannya di saku celana Regan sambil memberinya sedikit belaian di paha pria itu.
"Bye, Baby...." Claudia melayangkan ciuman, sebelum menghampiri dua orang wanita lain yang menunggunya di meja yang berbeda.
Regan mendesah sambil memijat keningnya dengan satu tangan, sedangkan satu tangan lain mengambil kartu nama yang Claudia selipkan. Nama lengkap Claudia beserta gelarnya terpampang, juga nomor telepon dengan kode Indonesia terpampang di sana. Ia akan langsung membuang kartu nama itu—
Tak!
Suara sumpit yang membentur ujung piring pun mengalihkan perhatian Regan dari kartu nama itu. Ia mengangkat kepala dan melihat Poppy hanya berfokus pada makanan di depannya. Suasana di antara mereka mendadak menjadi canggung dan sunyi, bahkan David yang sedari tadi mengoceh pun mengunci mulutnya. Pria itu hanya memberikan senyuman miring dan senyum aneh kepada Regan.
Sial! Dia pasti lagi ngejek gue!
Regan akan membiarkan pria itu untuk sekarang karena yang terpenting adalah Poppy. Sinyal di kepala Regan berbunyi ketika wanita itu mendadak jadi pendiam.
"Pop, itu—"
"Kak, aku ke toilet dulu, ya." Sebelum Regan selesai berbicara, Poppy menggeser kursinya ke belakang dan berdiri. Lalu, wanita itu pun beranjak tanpa menoleh sedikit pun.
Regan tidak sempat menahan. Suaranya tertahan di ujung tenggorokan, bahkan tangannya yang masih menggenggam kartu nama Claudia pun tidak bisa digerakan. Hanya telinganya yang mendengar kekehan kecil dari David yang berdiri di balik meja chef.
***
Suara air mengalir dari wastafel tidak membuat pikiran Poppy ikut mengalir. Dadanya terasa sesak tanpa sebab. Ia sudah berusaha menarik napas berulang kali dan mengembuskannya, tetapi tetap perasaan mengganjal itu tidak hilang. Sayangnya, Poppy tidak bisa membicarakan hal ini kepada Regan, ada sesuatu di hatinya yang mengatakan ia tidak boleh melakukan itu.
Poppy pun mengangkat kepala, menatap bayangannya pada cermin di toilet itu. Lagi-lagi pikirannya melayang kepada sosok wanita yang mencium dan memeluk Regan tiba-tiba tadi. Sosok yang sangat anggun bak model. Rambutnya berkilauan dan tubuhnya begitu ramping. Kalau ia tidak salah dengar, Regan memanggilnya dengan Claudia, dan wanita itu akan bekerja sebagai salah satu dokter di Rumah Sakit Dashar minggu depan.
"Bahkan, namanya aja cantik banget...," Poppy bergumam pelan sambil masih menatap dirinya dalam sendiri. Dibandingkan dengan namanya—Poppy—itu terdengar kekanakan dan... seperti nama anak anjing.
Kenapa, sih, Mama sama Papa kasih nama aku begitu? Nama Kak Dante aja lebih bagus. Lihat aja sekarang, kerjaan Kak Dante pun ikut lebih bagus dibanding aku.
Sepertinya, Semesta tahu kalau Poppy sedang mengumpat Dante sekarang. Nama pria itu tiba-tiba muncul di layar ponselnya. Ada tiga pesan berturut-turut, lengkap dengan sebuah foto pria berkemeja putih yang tak Poppy kenali.
Poppy tidak menjawab apa pun pesan terakhir Dante. Akhir-akhir ini, kakaknya jadi semakin kepo dengan percintaannya. Bahkan, baru lima belas menit Poppy berdiam diri di kamar untuk menulis novelnya, Dante sudah menerobos masuk dan menginterogasinya dengan berbagai hal. Mulai dari kenapa diam saja di kamar, Poppy sedang dekat dengan siapa, dan hampir nekat mengintip isi chat di ponsel Poppy.
Untung saja ancaman "Aku bakal kabur dari rumah kalau Kak Dante begitu!" cukup ampuh membuat pria itu meninggalkan kamarnya.
Ya, hal itu juga yang membuat naskah Poppy akhirnya mandek beberapa hari. Dante tidak membiarkan hidupnya tenang semenjak selesai dioperasi.
Poppy kembali ke mejanya lima belas menit kemudian. Regan dan David sedang mengobrol sambil masih menyajikan makanan. Ketika kedua pria itu menoleh, Poppy hanya bisa mengeluarkan senyum canggung. Selama sisa penyajian itu pun Poppy lebih banyak diam dan hanya menjawab kalau ditanya Regan atau David.
Selesai makan, Poppy dan Regan keluar dari restoran. Regan menggandeng tangan Poppy menuju lantai tempat toko fesyen high-end berkumpul. Walaupun jarang memakai barang mewah, Poppy sebenarnya mempunyai ketertarikan khusus terhadap merek-merek kelas atas—seperti wanita pada umumnya. Hanya saja, saat ini semangat itu entah hilang ke mana.
"Menurut kamu, yang ini gimana?" tanya Regan sambil menunjuk tas kulit berwarna hitam yang tampak elegan. Kalau Poppy tidak salah lihat tag harganya, satu tas itu mencapai 15 jutaan.
"Bagus," komentar Poppy singkat.
"Atau yang cokelat itu? Menurut kamu, Mami lebih suka yang mana?"
"Mami pasti suka apa aja yang Kak Regan kasih." Poppy menghela napas dan membuang pandangannya ke arah lain.
Sebagai anak satu-satunya, sudah pasti Regan sangat dimanja. Jangankan tas mewah, Regan hanya datang dengan wajah datar pun maminya pasti melompat kegirangan.
Mungkin Regan menyadari nada bicara Poppy yang terdengar tak bersemangat. Pria itu tiba-tiba saja menundukkan kepalanya, membuat wajah mereka sejajar dalam jarak yang begitu dekat.
"Kamu gak apa-apa?"
---------------------------------
Besok aku up antara 2-3 bab yaaa. Doakan kubisa ketik panjang~
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lesson
Romance"Aku bisa ngajarin kamu lebih jauh. Gimana?" Di tengah keruwetan otaknya untuk menulis cerita dewasa, Poppy mendapat tawaran menarik dari Regan. Ini mungkin kesempatan emas, mengingat Regan katanya memiliki banyak pengalaman saat berkuliah di Amerik...