"Adeeeeek!"
Teriakan itu menyambut Poppy ketika membuka pintu rumah. Poppy melihat Dante berdiri di ruang tengah sambil mengulurkan tangannya. Ya, pemandangan dramatis ini sudah tidak asing di mata Poppy. Wanita itu hanya bisa meringis malu dan berjalan ke arah Dante.
Dante membawa Poppy ke dalam pelukannya. Ia pun mengusap-usap rambut Poppy dengan gerakan agak kasar—sedikit berlebihan. "Adek gak kangen Kakak? Kakak di rumah sakit mikirin kamu... kamu makan gak, kamu kecapekan gak, kamu—"
"Jangan banyak gerak dulu."
Sebelum Poppy menyadari, Regan sudah menarik kaus Dante dan mendorongnya ke sofa di belakang. Entah sejak kapan pria itu sudah ada di sini. Seingat Poppy, Regan masih sibuk menurunkan belanjaannya tadi.
"Elah, lagi melepas kangen juga!"
"Mending lo mikirin wasiat buat Poppy kalau lambung lo gue potong sekalian."
"Ah, itu...." Sepertinya, jawaban Regan membuat Dante ingat soal pesannya tadi kepada Poppy. "Kangen naspad gue, Pak Dok."
"Kata Kak Regan, jangan makan yang berat dulu." Poppy menengahi karena melihat ekspresi dingin Regan. "Aku bikinin sayur bening, ya. Nasinya juga aku bikin yang lembek,"
Poppy berjalan ke dapur ketika mendengar protes Dante sekali lagi, tetapi langsung terputus—entah karena apa. Ia hanya melihat kakaknya sudah kembali mengobrol dengan Regan. Akhirnya, ia hanya mengangkat bahu dan mulai memasak.
Ia membuat sop bayam yang dicampur dengan potongan tahu sutra untuk Dante. Sementara tambahan lauk buat dirinya dan Regan ada telur kecap dan ikan dori goreng. Poppy juga membuat dua versi nasi. Satu yang lebih lembek untuk Dante, dan yang biasa untuk dirinya dan Regan.
Makan malam hari itu terkesan cukup meriah dibanding hari biasanya, walaupun menu makannya sederhana. Dante banyak mengeluh soal makanan rumah sakit yang hambar. Di satu sisi, tidak biasanya Regan terus menyahut. Dia yang terus menjawab dengan ketus ketika Dante merengek kepada Poppy.
Regan tidak habis pikir, kenapa pria berusia 32 tahun itu masih saja bersikap manja. Lebih menyebalkannya lagi ketika melihat Poppy menanggapi. Wanita itu bahkan mau-mau saja saat Dante minta dituangkan sayur lagi, padahal tangan dan kakinya masih bekerja dengan baik.
Hari-hari tenang Regan bersama Poppy berakhir sudah dengan pulangnya Dante hari itu.
Namun, satu yang Regan tidak sangka adalah satu pesan dari Poppy menjelang tengah malam.
Ini sudah pukul 12 malam, keadaan rumah juga sudah sunyi dan gelap. Seperti malam-malam biasanya, Regan memang sedang menyortir beberapa dokumen di meja makan, yang hanya ditemani lampu dapur. Dia sangat terkejut mengetahui Poppy belum tertidur. Padahal beberapa saat lalu, ia melihat lampu kamarnya sudah mati.
Jadi, ia pun membalas.
Tidak ada balasan dari Poppy, walaupun tanda 'dibaca' sudah muncul di sana. Regan berpikir, mungkin wanita itu hanya penasaran dan kembali tidur. Namun, ia malah mendengar langkah kaki kecil di belakangnya.
"Kak Regan."
Suara Poppy di tengah kesunyian ini menimbulkan sensasi aneh di telinga Regan. Suaranya terdengar lebih manis dan menggoda, sampai membuat Regan tanpa sadar menelan air liurnya. Dengan perlahan, ia menoleh, mendapati wanita itu berdiri di sana sambil memeluk laptop hanya dengan memakai kaus oversized dan celana pendek sepaha.
"Ya?" Regan kembali menelan air liurnya.
"Aku mau tanya soal... revisiannya lagi."
Regan jadi ingat, Poppy sudah memberitahu soal bab terbarunya tadi siang. Namun, gara-gara sibuk mengurus kepulangan Dante, ia jadi tidak sempat memeriksanya. Walaupun Regan bukan dari jurusan sastra, sebagai pembaca awam, Regan akui dirinya semakin terhanyut dalam alur cerita.
"Oh iya, sorry. Aku belum baca yang terakhir." Regan menggeser dokumennya dan mulai membuka tablet yang sedari tadi mati.
"Gak apa-apa, Kak," jawab Poppy, terdengar sedikit panik. "Makanya ini sekalian aku mau diskusi."
Poppy membuka laptopnya juga di sebelah Regan. Sebenarnya, bab baru yang ia tulis tidak ada adegan dewasanya. Namun, Poppy merasa kalau saran dari Regan jauh lebih berguna dari editornya, jadi dia ingin meminta saran pria itu sebagai pembaca.
Poppy serius memperhatikan tulisannya sambil sesekali melirik ke arah Regan yang diam saja. Sampai akhirnya, pria itu terkekeh sendiri. Poppy pun kebingungan. Seingatnya, tidak ada adegan lucu dari dua bab terakhir yang ia tulis itu.
"Kenapa, Kak?" tanya Poppy penasaran.
"Aku jadi kepikiran." Regan mengangkat kepalanya, menatap Poppy. "Kenapa kamu bisa nulis cerita genre ini?"
Glek!
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Lesson
Romance"Aku bisa ngajarin kamu lebih jauh. Gimana?" Di tengah keruwetan otaknya untuk menulis cerita dewasa, Poppy mendapat tawaran menarik dari Regan. Ini mungkin kesempatan emas, mengingat Regan katanya memiliki banyak pengalaman saat berkuliah di Amerik...