Chapter 4

355 6 0
                                    

"Lo nggak dijodohin, tapi elo sendiri yang suka pak Hasan," lanjut Dimas yang membuat Hani sontak melepaskan genggaman tangan sepupunya.

"SIAL*N MAKIN NGGAK MASUK AKAL, BEG*!" teriak Hani semakin tak terima dengan cerita tak masuk akal dari Dimas. Mana mungkin ia suka dengan Hasan?

Hani akui kalau Hasan memanglah tampan, tapi untuk membuatnya jatuh cinta, tampan saja tidak cukup. Lagipula, Hani ingat betul kalau ia begitu tak suka dengan sikap teliti, tepat waktu, dan tegas Hasan selama jadi Dosen. Menyusahkannya sebagai Mahasiswa sering terlambat.

"Tuh kan ... lo lebih syok pas tau kalo nikah karena cinta." Dimas mendengus lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia hampiri meja yang terdapat buah-buahan, lalu mengambil satu apel dan menggigitnya.

Dimas menatap Hani dengan serius. "Kalo gue bilang, elo yang ngejar pak Hasan sampe kalian nikah, kayaknya lo bakal-"

BUGH!

Satu lemparan bantal tepat mengenai wajah Dimas, dan tentu saja pelakunya Hani. Wanita itu merasakan geli hingga badannya merinding saat Dimas mengucapkan hal yang aneh begitu.

Hani tak mungkin mengejar Hasan. Tidak mungkin!

"Bakal mukulin elo!," ucap Hani melanjutkan ucapan Dimas yang terpotong karena lemparannya tadi. "Udah ah! nanya lo malah makin ngaco!"

"Ck, padahal kebenaran harus dibeberkan."

Hani melirik Dimas dengan sebal. "Udah diem!"

Dimas terkekeh, puas melihat kakak sepupunya kelimpungan dengan perkataannya. Dan tepat setelah itu, pintu kamar rawat inap terbuka memperlihatkan Hasan dengan kemeja biru dan celana hitam masuk dengan beberapa kresek yang Dimas yakini adalah jajanan.

"Eh, pagi, Pak Hasan," salam Dimas kepada Hasan.

"Pagi," balas Hasan memberikan kresek hitam itu kepada Dimas dan kemudian mendekati Hani di ranjangnya.

Hani melirik Dimas yang kegirangan mendapat jajan. Tak dapat dipungkiri bahwa cerita Dimas cukup mempengaruhi Hani, membuat wanita itu semakin gugup saat berhadapan dengan Hasan.

"Udah sarapan?"

Hani menggeleng untuk menjawab pertanyaan Hasan, membuat pria tampan itu kemudian menoleh pada Dimas dengan tatapan tajam.

Mendadak tubuh Dimas menegang. Ah, dia lupa tidak mengingatkan Hani untuk sarapan.

"Hehe, maaf lupa, Pak. Kebanyakan cerita seru," ucap Dimas beralasan seraya cengengesan.

Melihat Dimas yang sepertinya akan dimarahi, Hani lantas segera membela sepupunya itu. "Saya juga baru bangun. Dimas nggak salah."

Hasan menatap Hani kembali lalu menghela napas, pria itu lantas mengambil nampan sarapan Hani dan kemudian duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Dimas. "Sarapan dulu, terus minum obat."

Hani mengangguk dengan malas lalu saat tangannya ingin menerima nampan itu, Hasan kembali menariknya. "Saya suapin."

"Hah?" kaget Hani tak menyangka. "Nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri."

"Saya tahu. Tapi saya pengen nyuapin kamu." Hasan kemudian menyodorkan satu sendok berisi nasi bubur kepada Hani. "Mau ya?"

"Biasa cuma ngasih tugas, sekarang mau ngasih perhatian?" gumam Hani yang membuat Hasan tersenyum diam-diam.

Hani melirik Dimas yang berdiri di belakang Hasan, pemuda dengan mulut penuh roti coklat itu mengangguk mantap untuk menjawab tatapan ragu Hani.

"Nurut sama suami," ucap Dimas tanpa suara yang dapat Hani pahami dengan jelas.

Rayuan Gila Dosen DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang