40. Egois

7 0 0
                                    

Shinki membungkuk rendah penuh penyesalan. "Maaf, Ayah ... aku gagal menjaga Yumiko."

Gaara berdiri tegak di hadapan Shinki, sorot matanya tenang. “Ini bukan salahmu, Shinki. Ada hal-hal di luar kendali kita.” Dia tak berniat menyalahkan anaknya. Dia tahu Shinki sudah berusaha semampunya, dan sebagai seorang ayah sekaligus pemimpin, dia paham bahwa bukan hanya hasil yang penting, tetapi juga usaha yang telah dilakukan.

Gaara memasuki ruangan perawatan Mita, berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan perhatian. Mita—yang kini telah kembali ke wujud kucing—terbaring lemah di petiduran. Napasnya terengah-engah, membuat Gaara tak tega melihat penderitaannya.

Kini, kenyataan tentang Mita yang dapat bertransformasi menjadi kucing, atau sebaliknya, telah terungkap. Para medis dan sesepuh desa telah mengetahui rahasia Gaara tentang kekasihnya, dan dampak dari penemuan ini mulai terasa di seluruh Sunagakure.

Gaara mengepalkan tinjunya kuat, hingga buku jarinya memutih, menahan amarah dan keputusasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Racun yang menjalar di tubuh Mita tak memiliki penawar. Setiap detik, racun itu kian menyebar, merenggut kehidupan Mita perlahan-lahan. 

Berbagai usaha yang dia lakukan bersama para ninja medis berujung sia-sia. Bahkan, memanggil ahli medis dari desa lain tak membuahkan hasil. “Apa yang harus aku lakukan, Mita?” gumamnya pada dirinya sendiri.

***

"Mita." Suara lembut itu menyeruak dalam kesunyian, menembus kepedihan yang menyelimuti Mita. Harapan menatapnya prihatin, seolah ingin menghapus semua rasa sakit yang menghantuinya. "Lo tahu, ada jalan buat ngilangin rasa sakit lo ini?"

Mita membuka matanya perlahan, merasakan kegelapan di sekitarnya mulai pudar. Namun, tatapannya lemah dan napasnya terputus-putus, membuatnya berjuang untuk merespons.  "Meow …?” (Gaara ...?) gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.

"Ini gue, Harapan," balasnya dengan lembut. Mita kembali memejamkan matanya, berusaha mengusir suara itu dari pikirannya, enggan untuk terlibat dalam percakapan yang tidak ingin dia lakukan. Dalam hati, tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan sosok asing itu. Sebab Gaara akan segera menyembuhkannya.

"Jangan keras kepala, Mita," tegur Harapan, suaranya menunjukkan keprihatinan saat melihat Mita mengabaikannya. "Hidup lo lagi diujung tanduk."

Mita hanya bisa mengembuskan napas, tetapi napas itu malah tak sengaja mendorong batuknya keluar, menyebabkan darah kembali meluap dari mulutnya. Dia meringis kesakitan, tubuhnya bergetar, dan rasa putus asa merayap kembali. 

Kenangan akan keluarganya, perselisihan dan ketidakadilan, kembali menghantuinya. Dalam satu detik, semua rasa sakit yang dia alami di dunia nyata melanda dirinya kembali. Dia tidak bisa lari dari kenangan menyakitkan itu.

Harapan memandang pilu keadaan Mita yang semakin menyedihkan. "Kalo lo balik, lo enggak akan ngerasain …."

Dengan sisa tenaganya, Mita menggeleng pelan, air mata mengalir deras di kedua pipinya. Dia tak bisa mengucapkan kata-kata, hanya suara lirih yang terjebak di tenggorokannya. Di tengah kepedihan yang menyiksa, hatinya berteriak menolak semua yang dirasakan, menyadari betapa berartinya cinta dan kebahagiaan yang dia dapatkan di sini. 

Semua harapan yang dibangun dan momen berharga, berputar dalam pikirannya seperti kilatan cahaya di kegelapan. Mita merasa terjebak dalam pergulatan antara harapan dan kepedihan, tak mampu memilih jalan yang harus diambil. 

Di hadapan Harapan, segalanya terasa runtuh; air matanya menjadi simbol perasaannya yang tak terungkap. Dalam keputusasaannya, tubuhnya semakin lemah, napasnya terengah-engah, seakan setiap detik menguras energinya, dan dia hanya ingin mempertahankan cinta yang telah ditemukan di sini, meskipun tak mampu mengatakannya.

"Lo harus balik, Mit. Kalo enggak, lo bakal mati di sini," lanjut Harapan, frustrasi mulai tampak di wajahnya. 

Akan tetapi, Mita hanya bisa memejamkan matanya lagi, menolak realita yang akan menghilangkan semua yang telah dia rasakan di dunia ini. Dia ingin berteriak, ingin mendebat Harapan, tetapi suaranya terperangkap dalam kerongkongannya. Di antara rasa sakit dan ketidakpastian, satu hal yang pasti—dia tidak siap untuk pergi.

"Mita, please. Jangan bikin gue sedih." Harapan menatap Mita dengan intens, matanya menyiratkan permohonan yang tulus. "Lo cuma perlu ngedip sekali buat jawab. Dan gue bakal balikin lo ke dunia nyata."

Akan tetapi, Mita malah menggeleng, tubuhnya gemetar dan terisak, air mata tak henti mengalir. Dalam hatinya, dia tahu—dia tidak ingin kembali. Semua yang dia dambakan ada di sini, bersama Gaara.

Harapan menarik napas panjang, berusaha sabar meskipun rasa frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Kalau lo tetap kekeuh tinggal di sini, lo enggak akan bertahan lama, Mit."

Namun, Mita tetap menggeleng, lalu tatapannya lekat pada Harapan, penuh keputusasaan dan permohonan. Pria itu menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca pikirannya, namun akhirnya hanya menggeleng berulang kali. "Enggak, gue enggak bisa. Gue enggak akan biarin lo gunain permintaan terakhir lo di sini. Permintaan itu gue siapin buat lo pulang ke dunia asal lo."

Akan tetapi, tatapan Mita kian penuh harap, nyaris memohon. Harapan mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya makin tersulut. "Enggak, Mita! Ini enggak masuk akal. Ini cuma dunia fiksi! Lo enggak bisa tinggal di sini. Hidup lo jauh lebih berharga dari ini."

Mita tak bisa berhenti menangis. Dia merasa begitu rapuh, begitu lelah, dan di hadapannya, hanya ada satu harapan terakhir yang dia yakini akan membawa kebahagiaan—tinggal di sini, sembuh, dan hidup bersama Gaara.

"Mita, lo baru tiga bulan tinggal di dunia ini. Tiga bulan dan lo udah ngalamin hal-hal seberbahaya ini. Dunia ini enggak aman buat lo, Mit. Lo harus balik." Suara Harapan melembut, hampir seperti bisikan penuh kekhawatiran. "Gue mohon, Mit, ngerti, ini semua demi kebaikan lo."

Akan tetapi, Mita hanya bisa menangis. Hatinya menjerit menolak untuk pulang, bahkan membayangkannya saja sudah membuat dadanya terasa sesak. Dia tidak ingin kembali ke kehidupan yang penuh dengan orang tua yang hanya tahu menuntut, memaksakan kehendak tanpa pernah benar-benar peduli pada perasaannya. Di sana, semua terasa kosong, dingin, seakan kasih sayang hanya ilusi yang jauh dari jangkauannya. Batin Mita tersiksa memikirkan masa lalu yang begitu penuh luka. Tidak, dia tidak ingin kembali!

Kutukan Malam Gaara (Tamat) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang