17. Merajuk

5 0 0
                                    

“Halo, Mita!” Harapan muncul tiba-tiba di depan Mita, dengan senyum lebar tanpa rasa bersalah, seperti biasa.

Mita mendesah berat, lalu membuang muka tanpa berkata apa-apa. Dia malas melihat wajah menyebalkan Harapan. Namun, pria berambut pirang itu tampak tak peduli, terkekeh, tak terganggu sama sekali oleh sikap dingin Mita. “Halo, Mita, halo!” sapanya riang.

Mita yang merasa muak pun lantas beranjak dari sofa, berpindah ke sofa di sebelahnya, berharap Harapan akan mengerti kode halus itu. Namun, lagi-lagi pria itu tak memedulikan kode tersebut, kembali mengekori Mita. “Mita, Mita!” Dia duduk di hadapan Mita.

“Oh come on! Nih, curut eksim rese banget, sih!” batin Mita mendada jengkel. Dia berpaling, menahan diri untuk tidak meledak. Kemudian memutuskan untuk pindah lagi, kembali ke sofa semula, berharap Harapan bakal menyerah.

Akan tetapi, bukannya menyerah, Harapan malah terus mengikutinya lagi dengan gembira. “Mita, Mita, lo ngapain, sih, pindah-pindah terus? Ngajak main game, ya?” kelakarnya, entah tak menyadari atau tak peduli kalau kehadirannya merusak suasana hati Mita.

Mita mendesah panjang, meremas kedua tangannya dengan frustrasi. "Nih orang beneran gak ngerti atau pura-pura bege, sih?" pikirnya. Mukanya semakin suntuk setiap kali melihat Harapan mendekat. “Dasar sikopet! Hobi banget gangguin gue,” batinnya, sambil berusaha keras untuk tidak meledak di tempat.

Mita masih tak mengacuhkan Harapan, bangkit sekali lagi, pindah ke kursi di sudut ruangan, berharap itu cukup jauh dan Harapan menjadi peka. Namun, sebelum dia bisa benar-benar duduk, Harapan sudah duduk terlebih dahulu di kursi tersebut.

Melihat hal tersebut, Mita yang kehabisan stok kesabaran pun membentak, “Meow?!” (Mau lo apa sih, Njing?)

“Wow! Mita, mulai marah,” goda Harapan seraya mengangkat kedua tangan dengan raut wajah takut yang dibuat-buat.

Mita menatapnya geram. Harapan benar-benar menguji kesabarannya. Sementara Harapan malah tergelak melihat wajah marah Mita yang tetap terlihat imut. Dia memuji pilihannya dalam memilih kucing munchkin sebagai wadah jiwa Mita. Karena mau semurka apa pun, wajah kucing itu selalu tampak menggemaskan.

Mita duduk bersedekap di lantai, membenamkan wajahnya ke lipatan lengan. Dia benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghadapi Harapan. Ingin rasanya dia marah, bahkan memukulnya, tapi ketakutan akan apa yang mungkin dilakukan Harapan—seperti kejadian semalam—membuatnya ragu. Kejadian itu masih terbayang jelas di pikirannya, membekaskan trauma.

“Meow?” (Lo ngapa, sih, nyamperin gue mulu? Mau lo apa?) tanya Mita putus asa. Dia sudah lelah terus dibuntuti Harapan, merasa seperti diteror. Pria itu benar-benar membuatnya jengkel dengan senyumannya yang menyebalkan. Mita sangat tidak suka dengan sikap Harapan yang jahil dan seolah tak peduli.

Harapan menghela napas panjang, ekspresinya berubah lebih serius. “Mita, sebenarnya ada yang harus gue kasih tahu. Di rumah Orochimaru kemarin, lo dibius biar tidur semalaman. Orochimaru ngambil sampel darah dan rambut lo buat diteliti. Semua itu permintaan Gaara. Dia berusaha mencari tahu asal usul lo.”

“Meow?” (Apa?) Mita terkejut, tak menyangka Gaara akan sejauh itu. Hal ini membuatnya curiga bahwa Gaara mungkin sudah mengetahui rahasianya sebagai kucing jadi-jadian. “Tapi, sejak kapan dia tahu?” pikir Mita.

“Meow meow?” (Berarti Gaara udah tahu gue kucing jadi-jadian dari sebelum semalam?) tanya Mita, membuat dahi Harapan mengernyit, bingung.

Kutukan Malam Gaara (Tamat) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang