Bab 17 : Thruth (1)

26 5 0
                                    

Huftt, bismillah ramee hehe 🤏🏻

"Malam itu aku marah sekali pada Tuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Malam itu aku marah sekali pada Tuhan. Perihal nyawa wanita yang ku cinta, tak berhasil di selamatkan." — Rafa Zefan Shabiru


Flashback on

"Bunda.. Kepala bunda banyak darah. Ayo kita ke rumah sakit bareng Abang," ajak anak lelaki itu. Ia mendekap kepala bundanya kedalam pangkuan. Tangannya gemetar ketika menyentuh darah yg tak kunjung berhenti keluar dari kepala sang bunda.

"Raf... Rafa dengerin Bunda, ka...kamu harus pergi sekarang nak," titah wanita itu dengan suara yang terputus-putus.

Zavia-bundanya menangkup wajah Rafa yang genap berusia 18 tahun hari ini dengan tenaga yang tersisa. Mengelusnya lembut seperti biasa. Tak peduli dengan pakaian yang telah lusuh tak berbentuk, hijab yang sudah di banjiri darah, juga tubuh yang lunglai dan terkapar.

Yang terpenting saat ini baginya adalah memastikan putranya selamat. Pergi sejauh mungkin, sendiri.

Rafa menggeleng cepat, ia menolak permintaan bundanya kali ini. Sudut matanya berair menggambarkan kepedihan yang teramat dalam.

"Nggak Bun nggak!"

"Agghh!"

Rafa terlempar jauh ke belakang, tubuhnya menghantam keras tanah setelah pukulan brutal mendarat tepat di rahangnya. Pukulan dari tenaga yang tidak biasa. Dari gerakan dan presisi yang ia rasakan, Rafa sadar bahwa lawannya adalah seseorang dengan kekuatan terlatih, dan, lebih buruk lagi, pria itu tidak sendirian.

Rafa yang masih terbilang muda jelas bukanlah tandingannya

Pria bersetelan hitam itu sempat lengah dan terjatuh ketika Rafa menendangnya dari belakang tadi. Namun tak lama, nyatanya Rafa tak punya cukup waktu untuk membawa Zavia pergi agar selamat. Ia terlalu lamban.

Niat Rafa yang ingin beringsut untuk mendekati sang bunda gagal kala sebuah tangan kuat mencengkeram lehernya dengan kasar. Ia ditarik paksa hingga berdiri, lalu tanpa ampun, kepalanya dibenturkan berkali-kali ke tiang listrik yang berada disana. Darah segar mengucur deras, membuat Rafa meraung kesakitan. Ini sungguh sadis.

"Jangan, saya mohon....Jangan putran saya," pekik Zavia terluka. Hatinya berdenyut sakit menyaksikan anaknya yang di siksa sedemikian rupa.

Pening, itu yang Rafa rasakan. Tenaganya di renggut habis oleh rasa nyeri di bagian kepala. Rafa sudah sangat hebat karena bertahan sejauh ini dari pukulan serta tendangan yang bertubi-tubi. Namun benturan tadi sungguh menyita habis ketangguhannya.

Ia terjatuh ke aspal. Menatap samar bundanya di bawa pergi dengan cara yang tak wajar. Di seret hingga tubuh yang pernah ia peluk itu bergesekan dengan jalanan penuh bebatuan. Pasti panas, pasti perih, pasti sakit. Rafa juga ikut merasakannya.

ATMA Seluas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang